TRANSPARANSI
DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN
KEUANGAN DAERAH
SEBAGAI
UPAYA PERBAIKAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
SISTEM AKUNTANSI PEMERINTAHAN
Untuk
Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Sistem Akuntansi Pemerintahan
Disusun oleh:
Kariena Febriantin NPM: 170410080043
Taufiq Firdaus Al Muzaky NPM: 170410080025
Wineu Afrilian
Dewi NPM: 170410080010
Meylia Hasiantha NPM:
170410080020
Destriani NPM:
170410080182
JURUSAN
ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2010
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Daftar
Isi
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah
Identifikasi
Masalah
BAB II TINJAUAN
TEORI
Pengertian Akuntansi dan Sistem
Akuntansi Pemerintahan
Isu-isu Akuntansi
Penatausahaan Keuangan
Daerah
Akuntansi Keuangan
Daerah
Pengakuan Pendapatan dan
Belanja
Konsep dan Aplikasi Akuntabilitas
Akuntabilitas Keuangan Daerah dan
Reformasi Keuangan Daerah
Penyusunan Keuangan
Daerah
Sistem Pemeriksaan Keuangan Daerah
Berdasarkan UUD 1945
BAB III
PEMBAHASAN
Pemerintah
Yang Responsif, Transparan, Dan Akuntabel Sebagai
Bagian
Dalam Mewujudkan Good Governance
Akuntabilitas
Publik Dan Transparansi
Value
For Money
Akuntansi
Sektor Publik
Akuntansi
Manajemen Sektor Publik
Sistem
Pengukuran Kinerja
Public
Sector Scorecard
Akuntansi
Keuangan Sektor Publik
Auditing
Sektor Publik
Tabel
1. Motivasi Auditor Independen dalam Melakukan Audit
Pemerintah
Memperkuat
Value For Money (VFM) Audit
Upaya Perbaikan Sistem Pengelolaan
Keuangan Negara
Studi Kasus Mengenai Tidak
Transparan Dan Akuntabelnya Ditjen
Pajak
Masalah Insitusional
Daerah
Reformasi Kebijakan Pemeriksaan
Keuangan Negara
Pertanggungjawaban Keuangan
Daerah
Akuntabilitas Keuangan Daerah:
Masalah yang Dihadapai
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan (UU No. 32/2004). Pemerintahan daerah menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, yang merupakan limpahan
Pemerintah Pusat kepada Daerah. Meskipun demikian, urusan pemerintahan tertentu
seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional
masih diatur Pemerintah Pusat.
Pendelegasian
kewenangan tersebut disertai dengan penyerahan dan pengalihan pendanaan, sarana
dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) dalam kerangka Desentralisasi
Fiskal. Pendanaan kewenangan yang diserahkan tersebut dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri dan mekanisme
perimbangan keuangan Pusat-Daerah dan antar Daerah. Kewenangan untuk
memanfaatkan sumber keuangan sendiri dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli
Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Sedangkan pelaksanaan perimbangan keuangan dilakukan melalui Dana Perimbangan
yang terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus
(Undang-Undang No. 33 tahun 2004).
Implikasi langsung
pendelegasian kewenangan dan penyerahan dana tersebut adalah kebutuhan untuk
mengatur hubungan keuangan antara Pusat-Daerah dan pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah. Undang-Undang No. 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara mengatur antara lain pengelolaan keuangan daerah dan
pertanggungjawabannya. Pengaturan tersebut meliputi penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berbasis prestasi kerja dan laporan
keuangan yang komprehensif sebagai bentuk pertanggungjawaban yang harus
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Untuk merealisasikan
pengaturan pengelolaan dan pertanggunganjawaban keuangan tersebut, pengembangan
dan pengaplikasian akuntansi sektor publik sangat mendesak dilakukan sebagai
alat untuk melakukan transparansi dalam mewujudkan akuntabilitas publik untuk
mencapai good governance (accounting for governance).
Penyusunan APBD
berbasis prestasi kerja atau kinerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja,
indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar
pelayanan minimal. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan
kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan
keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Dalam penyelenggaraannya,
pemerintah daerah dituntut lebih responsif, transparan, dan akuntabel terhadap
kepentingan masyarakat.
Pemerintah Indonesia
telah melakukan reformasi manajemen keuangan negara baik pada pemerintah
pusat maupun pada pemerintah daerah
dengan ditetapkannya paket undang-undang bidang keuangan negara, yaitu UU No. 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.
Peraturan
perundang-undangan tersebut menyatakan bahwa Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan
rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada
DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan, selambat-lambanya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Laporan Keuangan disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan (PP No. 24 tahun 2005).
Disamping Undang-undang
dan peraturan pemerintah tersebut, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan
Permendagri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pada Intinya semua peraturan tersebut menginginkan adanya transparansi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah.
Namun, setelah empat
tahun berlakunya paket undang-undang tersebut, delapan tahun sejak otonomi yang
luas kepada daerah, dan sepuluh tahun setelah reformasi, hampir belum ada
kemajuan signifikan dalam peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan
Negara/Daerah. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dalam tiga tahun
terakhir secara umum masih buruk (Siaran Pers, BPK RI, 23 Juni 2008).
Kondisi ini semakin
memburuk, sebagaimana di ungkapkan dalam siaran pers BPK RI pada tanggal 15
Oktober 2008 yaitu: dilihat dari persentase LKPD yang mendapatkan opini Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP) dan Wajar
Dengan Pengecualian (WDP) selama periode 2004-2007 semakin menurun setiap
tahunnya. Persentase LKPD yang mendapatkan opini WTP semakin berkurang dari 7%
pada tahun 2004 menjadi 5% pada tahun berikutnya dan hanya 1% pada tahun 2006
dan 2007. Sebaliknya, LKPD dengan opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) semakin meningkat dari 2% pada tahun 2004
menjadi 17% pada tahun 2007 dan pada periode yang sama opini Tidak Wajar (TW) naik dari 3% menjadi 19%.
Kondisi yang semakin
buruk ini sangat memprihatinkan mengingat dana yang dikelola oleh pemerintah
adalah dana publik. Disamping itu, kondisi ini merupakan tantangan (tugas
rumah) bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki kualitas laporan keuangan
mereka dengan menerapkan akuntansi menuju transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan.
Perbaikan transparansi dan akuntabilitas
fiskal merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan perombakan sistem sosial
yang kita lakukan selama era reformasi sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998. Di
sektor ekonomi, kita ingin beralih dari sistem perencanaan terpusat kepada
sistem yang lebih banyak menggunakan mekanisme pasar. Dalam bidang politik,
reformasi itu ingin menggantikan sistem politik otoriter masa lalu dengan
sistem demokrasi. Dalam sistem pemerintahan, kita ingin merombak sistem
pemerintahan sentralistis masa lalu diganti dengan memberikan otonomi yang
seluas-luasnya kepada daerah.
Perencanaan terpusat
pada masa Orde Baru telah menciptakan kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Privatisasi dan deregulasi masa itu juga digunakan untuk memindahkan hak milik
negara kepada kroni penguasa politik. Akibatnya, produktivitas dan efisiensi
perekonomian nasional kita menjadi semakin menurun dan berakhir pada krisis
tahun 1997-1998. Sistem politik yang demokratris sekarang ini memberikan
jaminan kebebasan berserikat dan bersuara termasuk mendirikan partai politik.
Dewasa ini, TNI dan Polri tidak lagi memiliki wakil di DPR dan menduduki
jabatan sipil. Presiden dan wakil presiden serta kepala daerah kini dipilih
langsung oleh rakyat berdasarkan platform atau janji politiknya dan tidak lagi
dipilih oleh MPR atau DPRD. Di masa lalu, MPR sekaligus menyusun GBHN.
Pada gilirannya, sistem
ekonomi pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien jika ada
perlindungan hak milik individu serta transformasi informasi pasar yang
simetris. Yang terakhir ini termasuk transparansi dan akuntabilitas keuangan
negara. Sistem politik yang demokratis dan sistem pemerintahan yang didasarkan
pada otonomi daerah juga menuntut adanya transparansi serta akuntabilitas
keuangan negara. Tanpa itu, rakyat tidak akan mau membayar pajak dan investor
tidak mau membeli Surat Utang Negara (SUN) kecuali dengan tingkat suku bunga
yang sangat tinggi. Konflik antar daerah dapat dipicu oleh perasaan curiga
karena tidak transparan dan tidak akuntabelnya keuangan negara. UUD 1945 dan
ketiga UU tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004 serta UU No. 15 Tahun 2006
tentang BPK menugaskan BPK sebagai
satu-satunya auditor untuk memeriksa laporan keuangan ketiga lapis pemerintahan
di Indonesia: Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Oleh karena hal-hal
tersebut di atas, maka dalam makalah ini kami bermaksud membahas mengenai
bagaimana Transparansi Dan
Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah Sebagai Upaya Perbaikan Dan
Pertanggungjawaban Sistem Akuntansi Pemerintahan beserta
tantangan yang masih dihadapinya.
B.
Identifikasi
Masalah
Indentifikasi
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, sebagai berikut:
1. Bagaimana
upaya pemerintah baik pusat maupun daerah dalam peningkatan transparansi dan
akuntabilitas keuangan Negara/Daerah?
2. Apa
saja elemen perbaikan sistem pengelolaan keuangan daerah untuk menjadikannya
transparan dan akuntabel sesuai dengan tuntutan era reformasi saat ini?
3. Bagaimana
penerapan transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah saat ini?
4. Bagaimana
peran Sistem Akuntansi Keuangan Daerah dalam mewujudkan transparansi dan
akuntabilitasnya?
5. Studi
kasus mengenai tidak adanya transparansi dan akuntabilitas di salah satu
lembaga pemerintah, dalam hal ini yang dikaji yaitu dalam tubuh Direktorat
Jenderal Pajak?
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
Pengertian
Akuntansi dan Sistem Akuntansi Pemerintahan
Berikut ini
pengertian-pengertian dari istilah yang dibahas dalam makalah ini, meliputi
akuntansi, transparansi, dan akuntabilitas. Akuntansi menurut American Institute of Certified Public
Accounting dalam Sofyan Syafri Harahap (2003:4) mendefinisikan akuntansi
sebagai berikut: Akuntansi adalah seni pencatatan, penggolongan, dan
pengikhtisaran dengan cara tertentu dan dalam ukuran moneter, transaksi, dan
kejadian-kejadian yang umumnya bersifat keuangan dan termasuk menafsirkan
hasil-hasilnya. Sedangkan pengertian dari transparansi dan akuntabilitas yang
diambil dari kerangka konseptual Standar Akuntansi Pemerintahan adalah sebagai
berikut.
Transparansi adalah
memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat
berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara
terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan
sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan
perundang-undangan (KK, SAP, 2005).
Akuntabilitas adalah
mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang
dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan secara periodik (KK, SAP, 2005). Akuntansi
Pemerintahan menurut Revrisond Baswir (1998,7) adalah sebagai berikut: “Akuntansi Pemerintahan (termasuk di dalamnya akuntansi untuk
lembaga-lembaga yang tidak bertujuan mencari laba lainnya), adalah bidang
akuntansi yang berkaitan dengan lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga yang
tidak bertujuan mencari laba.”
Hasil dari akuntansi
adalah laporan keuangan. Pada dasarnya pembuatan laporan keuangan adalah suatu
bentuk kebutuhan transparansi yang merupakan syarat pendukung adanya
akuntabilitas yang berupa keterbukaan pemerintah atas aktivitas pengelolaan
sumber daya publik (Mardiasmo, 2006).
Isu-Isu
Akuntansi
Isu yang muncul dan
menjadi perdebatan dalam reformasi akuntansi pemerintahan di Indonesia adalah
perubahan single entry menjadi double entry. Single entry pada awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan dengan
alasan utama demi kemudahan dan kepraktisan. Seiring dengan semakin tingginya
tuntutan pewujudan good public governance,
perubahan tersebut dipandang sebagai solusi yang mendesak untuk diterapkan
karena pengaplikasian double entry
dapat menghasilkan laporan keuangan yang lengkap dan auditable (Mardiasmo,2006).
Pada sistem pencatatan single entry pencatatan transaksi
ekonomi dilakukan dengan mencatat satu kali, transaksi yang berakibat
bertambahnya kas dicatat pada sisi penerimaan dan transaksi ekonomi yang
berakibat berkurangnya kas dicatat pada sisi pengeluaran. Sedangkan pada sistem
pencatatan double entry pada dasarnya
suatu transaksi ekonomi akan dicatat dua kali yaitu pada sisi debet dan sisi
kredit (Abdul Hafiz Tanjung, 2008).
Disamping isu sistem
pencatatan di atas, isu penting lainnya dalam akuntansi pemerintahan adalah
basis pencatatan yang digunakan (basis kas atau basis akrual). Dalam Standar
Akuntansi Pemerintahan (PP No. 24/2005) basis pencatatan yang digunakan adalah cash towards accrual. Dengan basis
pencatatan ini, untuk realisasi pendapatan, belanja, penerimaan dan pengeluaran
pembiayaan dicatat berdasarkan basis kas, sedangkan untuk mencatat aset,
kewajiban dan ekuitas dicatat berdasarkan basis akrual. Dalam pelaksanaan basis
pencatatan ini dikembangkan teknik jurnal yang disebut jurnal korolari, dimana
jurnal korolari ini tidak ditemukan dalam akuntansi komersial.
Penatausahaan Keuangan Daerah
Penatausahaan keuangan
daerah berpedomaan kepada Permendagri No. 13/2006 tentang pedoman pengelolaan
keuangan daerah sebagaimana telah diubah dengan Permendagri No. 59/2007.
Penatausahaan keuangan daerah ini meliputi:
1. Penatausahaan
pendapatan pada tingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan tingkat Satuan
Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD).
2. Penatausahaan
belanja pada tingkat SKPD dan pada tingkat SKPKD
3. Penatausahaan
penerimaan dan pengeluaran sebagai pemerintah daerah dan pembiayaan pada
tingkat SKPKD.
Pada SKPKD
penatausahaan ini dilakukan baik sebagai SKPD maupun sebagai pemerintah daerah.
Penatausahaan pendapatan dilakukan oleh bendahara penerimaan SKPD dengan
menggunakan dokumen berupa Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD), Surat
Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Surat Tanda Seoran (STS), surat tanda bukti
pembayaran, dan slip setoran. Selanjutnya, bendahara penerimaan SKPD menatausahakan
penerimaan tersebut ke dalam (Permendagri No. 13/2006, pasal 189):
1. Buku
Kas Umum Penerimaan
2. Buku
Pembantu per Rincian Objek Penerimaan
3. Buku
Rekapitulasi Penerimaan Harian
Pada akhir bulan
bendahara penerimaan membuat Surat Pertanggung Jawaban (SPJ) administratif
maupun fungsional paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Sementara itu,
penatausahaan belanja dilakukan oleh bendahara pengeluaran SKPD dengan
menggunakan dokumen berupa Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar
(SPM), Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) baik UP maupun LS, Nota Pencairan
Dana (NPD), dan bukti-bukti pengeluaran yang sah lainnya. Selanjutnya,
bendahara pengeluaran SKPD menatausahakan belanja tersebut ke dalam
(Permendagri No. 13/2006, Pasal 209):
1. Buku
Kas Umum Pengeluaran
2. Buku
Simpanan Bank
3. Buku
Kas Tunai
4. Buku
Panjar
5. Buku
Rekapitulasi Pengeluaran Per Rincian Objek
6. Register
SPP-UP/GU/TU
Pada akhir bulan,
bendahara pengeluaran membuat SPJ pengeluaran administratif maupun fungsional paling
lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Sedangkan penatausahaan penerimaan dan
pengeluaran sebagai pemerintah daerah, dan pembiayaan dilakukan oleh Bendahara
Umum Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah. Penatausahaan ini dilakukan pada Buku
Kas Umum Penerimaan dan Pengeluaran.
Akuntansi
Keuangan Daerah
Sistem
Akuntansi
Dalam struktur
pemerintahan daerah, satuan kerja (SKPD) merupakan entitas akuntansi yang
mempunyai kewajiban melakukan pencatatan atas transaksi-transaksi pendapatan,
belanja, aset dan selain kas yang terjadi di lingkungan satuan kerja. Proses
pencatatan tersebut dilakukan oleh Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja
Perangkat Daerah (PPK-SKPD) dan pada akhir periode dari catatan tersebut PPK
SKPD menyusun laporan keuangan untuk satuan kerja bersangkutan. Pada SKPKD yang
dapat berupa Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) pencatatan
transaksi-transaksi akuntansi diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
1. Transaksi-transaksi
yang dilakukan oleh SKPKD sebagai satuan kerja yaitu mencatat
transaksi-transaksi keuangan dalam melaksanakan program dan kegiatan pada
bagian atau biro yang ada pada BPKD.
2. Transaksi-transaksi
yang dilakukan oleh SKPKD sebagai pemerintah daerah untuk mencatat
transaksi-transaksi keuangan seperti pendapatan yang berasal dari dana
perimbangan dan pendapatan hibah, belanja bunga, belanja subsidi, belanja
hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan,
dan belanja tidak terduga, serta penerimaan pembiayaan dan pengeluaran
pembiayaan daerah.
Namun pada SKPKD tidak
perlu dibuat laporan keuangan khusus sebagai satuan kerja dan sebagai
pemerintah daerah. Secara teknik akuntansi, laporan keuangan untuk SKPKD ini
dapat disatukan menjadi laporan keuangan SKPKD sebagai kantor pusat (home office).
Pada akhir tahun
penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah dilakukan dengan cara
mengkonsolidasikan laporan keuangan dari setiap SKPD dengan laporan keuangan
SKPKD yang prosesnya dikerjakan oleh fungsi akuntansi SKPKD.
Berdasarkan penjelasan
diatas maka sistem akuntansi yang digunakan dalam akuntansi keuangan daerah
adalah sistem desentralisasi.Pada sistem desentralisasi, digunakan akun
resiprokal baik pada SKPD maupun pada SKPKD. Pada akuntansi keuangan komersial
akun resiprokal yang dimaksud adalah RK Kantor Pusat yang ada pada kantor
cabang, berpasangan dengan RK Kantor Cabang yang ada pada kantor pusat. Sama
halnya dengan akuntansi keuangan komersial, pada akuntansi pemerintahan akun
resiprokal juga ada pada SKPD dan SKPKD yaitu: RK PPKD yang ada pada SKPD
berpasangan dengan RK SKPD yang ada pada SKPKD (Abdul Hafiz Tanjung, 2008).
Pengakuan
Pendapatan dan Belanja
Pendapatan diakui pada
saat diterima pada rekening umum kas daerah (PSAP 02, paragraf 22). Sedangkan
belanja diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari rekening kas umum daerah
(PSAP 02, paragraf 31). Khusus pengeluaran melalui bendahara pengeluaran
pengakuannya terjadi pada saat pertanggungjawaban atas pengeluaran tersebut
disahkan oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan (PSAP 02, paragraf 32).
Konsep
dan Aplikasi Akuntabilitas
Konsep Akuntabilitas
mencakup eksistensi dari suatu mekanisme (baik secara konstitusional maupun
keabsahan dalam bentuknya) yang meyakinkan politisi dan pejabat pemerintahan
terhadap aksi perbuatannya dalam penggunaan sumber-sumber publik dan kinerja
perilakunya. Akuntabilitas membutuhkan keterbukaan dan kejelasan serta
keterhubungan dengan kebebasan media. Aplikasi akuntabilitas atau
bertanggung-jawab/bertanggung-gugat dalam penyelenggaraan pemerintahan diawali
pada saat penyusunan program pelayanan publik dan pembangunan (program accountability), pembiayaannya (fiscal accountability), pelaksanaan,
pemantauan dan penilaiannya (process
accountability) sehingga program tersebut dapat memberikan hasil atau
dampak seoptimal mungkin sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ditetapkan (outcome accountability).
Para penyelenggara
pemerintahan menerapkan prinsip akuntabilitas dalam hubungannya dengan
masyarakat/publik (outwards
accountability), dengan aparat bawahan yang ada di dalam instansi
pemerintahan itu sendiri (downwards
accountability), dan kepada atasan mereka (upwards accountability). Berdasarkan substansinya, prinsip bertanggung-jawab/bertanggung-gugat
mencakup akuntabilitas administratif seperti penggunaan sistem dan prosedur
tertentu (administrative accountability),
akuntabilitas hukum (legal accountability),
akuntabilitas politik antara eksekutif kepada legislatif (political accountability), akuntabilitas profesional seperti
penggunaan metode dan teknik tertentu (professional
accountability), dan akuntabilitas moral (ethical accountability). Apabila
semua yang dikatakan di atas dapat terpenuhi, maka akan tumbuh kepercayaan
kepada aparat dan keandalan lembaga pemerintahan yang ada.
Aparatur pemerintah
harus mampu mempertanggungjawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan di
bidang tugas dan fungsinya. Aparatur pemerintah harus dapat
mempertanggungjawabkan kebijaksanaan, program dan kegiatannya yang dilaksanakan
atau dikeluarkannya termasuk pula yang terkait erat dengan pendayagunaan ketiga
komponen dalam birokrasi pemerintahan, yaitu kelembagaan (organisasi),
ketatalaksanaan, dan sumber daya manusianya.
Konsep akuntabilitas
mensyaratkan adanya perhitungan “cost and
benefits analysis” (tidak terbatas dari segi ekonomi, tetapi juga sosial,
dan sebagainya tergantung bidang kebijaksanaan atau kegiatannya) dalam berbagai
kebijaksanaan dan tindakan aparatur pemerintah. Selain itu, akuntabilitas juga
berkaitan erat dengan pertanggungjawaban terhadap efektivitas kegiatan dalam
pencapaian sasaran atau target kebijaksanaan atau program. Dengan demikian,
tidak ada satu kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang dilaksanakan oleh aparatur
pemerintahan yang dapat lepas dari prinsip ini.
Akuntabilitas
Keuangan Daerah dan Reformasi Keuangan Daerah
“Reformasi”
atau “paradigma baru” dalam Keuangan Daerah adalah paradigma yang menuntut
besarnya akuntabilitas dan transparansi dari penataan keuangan daerah dengan
memperhatikan asas keadilan dan kepatutan, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Dari
Vertical Accountability menjadi Horizontal Accountability. Jika selama
ini pertanggungjawaban atas penataan keuangan negara lebih ditujukan pada pemerintah
yang lebih tinggi (Provinsi atau Pusat), maka dengan reformasi saat ini
pertanggungjawaban lebih ditujukan kepada rakyat (DPR/DPRD). Laporan
pertanggungjawaban keuangan negara disampaikan kepada DPRD secara periodik,
tidak lagi sekedar laporan tentang APBN tetapi mencakup pula laporan Aliran Kas
dan Neraca.
b. Dari
Traditional Budget menjadi Performance Budget. Selam ini penataan
keuangan daerah adalah dengan sistem tradisional. Sistem tradisional, sistem
penyusunannya adalah dengan pendekatan
incremental dan “line item”
dengan penekanan pada pertanggungjawaban pada setiap input yang dialokasikan.
Melalui reformasi, anggaran harus disusun dengan pendekatan atau sistem
anggaran kinerja (performance budgeting),
dengan penekanan pertanggunganjawaban tidak sekedar pada input tetapi juga pada output
dan outcome.
c. Dari
Pengendalian dan Audit Keuangan ke Pengendalian dan Audit Keuangan, dan
Kinerja. Sebelum reformasi terdapat pengendalian dan audit keuangan daerah,
bahkan juga audit kinerja. Namun, oleh karena sistem anggaran yang tidak
memasukan kinerja, maka proses audit kinerja menjadi tidak berjalan dengan
baik. Dalam reformasi ini, oleh karena sistem penganggaran yang mengunakan
sistem penganggaran kinerja (performance
budgeting) maka pelaksanaan pengendalian dan audit keuangan negara dan
audit kinerja akan menjadi lebih baik.
a. Lebih
Menerapkan Konsep Value for Money.
Reformasi penataan keuangan daerah saat ini menghendaki penerapan konsep value for money atau yang lebih dikenal
degan konsep 3 E (Ekonomi, Efisien, dan Efektif). Oleh karena itu dalam
reformasi ini pemerintah diminta baik dalam mencari dana maupun menggunakan
dana selalu menerapkan prinsip 3 E tersebut. Hal ini mendorong pemerintah
berusaha selalu memperhatikan tiap sen/rupiah dan (uang) yang diperoleh dan
digunakan. Perhatian tertuju pada hubungan antara input-output-outcome.
b. Penerapan
Daerah Pertanggungjawaban. Dalam reformasi penataan keuangan daerah ini konsep
daerah pertanggungjawaban diterapkan. Penerapan ini akan memudahkan pengukuran
kinerja setiap unit organisasi. Pada konsep ini unit organisasi dapat
diperlakukan sebagai pusat pertanggungjawaban pendapatan seperti dinas pendapatan,
biaya seperti bagian keuangan. “laba” (profit),
dan investasi seperti BUMD atau Perusahaan Daerah.
c. Perubahan
Sistem Akuntansi Keuangan Pemerintahan. Untuk mendukung perubahan-perubahan
yang telah dikemukakan di atas direformasi pula sistem akuntansi di
pemerintahan. Jika selama ini pemerintah menggunakan sistem pencatatan tunggal
(single entry system) maka dirubah
menjadi sistem ganda (double entry system).
Selain itu, selama ini digunakan pencatatan atas dasar kas (cash-basis) maka dirubah menjadi atas
dasar aktual medication (modified accrual basis). Selain itu,
perubahan dalam akuntansi dan pengelolaan daerah, yang pada gilirannya menuntut
adanya neraca laporan daerah, tidak lagi sekedar laporan perhitungan keuangan
daerah.
Penyusunan
Keuangan Daerah
Dalam rangka
akuntabilitas penataan keuangan daerah, penyusunan keuangan daerah mengacu pada
norma-norma dan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Transparansi
dan Akuntabilitas Keuangan Daerah. Transparansi tentang keuangan daerah
merupakan salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik,
bersih dan bertanggungjawab. Mengingat penanganan pemerintah merupakan salah
satu sarana evaluasi pencapaian kinerja dan tanggungjawab pemerintah
mensejahterakan masyarakat, maka keuangan daerah harus dapat memberikan
informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh
masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Selain itu setiap
dana yang diperoleh, penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
2. Disiplin
Keuangan Daerah. Keuangan daerah yang
disusun harus dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat guna, tepat waktu
dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemilihan antara belanja yang bersifat rutin
degan belanja yang bersifat pembangunan/modal harus diklasifikasikan secara
jelas, agar tidak terjadi percampuradukan kedua sifat anggaran yang dapat menimbulkan
pemborosan dan kebocoran dana. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan
yang terukur secara rasional yang dapat dicari untuk setiap sumber pendapatan,
sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap pos/pasal merupakan batas
tertinggi pengeluaran belanja.
3. Keadilan
Keuangan Daerah. Pembiayaan pemerintah dapat dilakukan melalui mekanisme pajak
dan retribusi yang dipikul oleh segenap lapisan masyarakat, untuk itu
pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara adil agar dapat dinikmati
oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
4. Efisiensi
dan Efektivitas Keuangan Daerah. Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan
sebaik mugkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, untuk dapat
mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas anggaran, maka dalam
perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat
yang akan diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang
diprogramkan.
5.
Format Keuangan Daerah. Pada dasarnya keuangan daerah disusun
berdasarakan format anggaran deficit
(deficit budget format). Selisih
antara pendapatan dan belanja mengakibatkan terjadinya surplus atau deficit
anggaran. Apabila terjadi surplus, daerah dapat membentuk dana cadangan,
sedangkan bila terjadi deficit, dapat ditutupi melalui sumber pembiayaan
pinjaman dan atau penerbitan obligasi negara sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Sistem
Pemeriksaan Keuangan Daerah Berdasarkan UUD 1945
Leo Herbert (1979)
memperkenalkan “Teori Keseimbangan” dalam audit yang menjabarkan adanya
hubungan yang seimbang antara tiga pihak yaitu auditor, audit dan pihak yang
meminta pertanggungjawaban. Dalam Pemerintah sebagai pihak yang diberikan
amanat untuk mengelola keuangan daerah harus melaporkan akuntabilitas
pengelolaan keuangan daerah kepada publik yang diwakili oleh Pemerintah Daerah.
Informasi yang dimuat
dalam laporan akuntabilitas tersebut harus dapat diyakini keandalannya. Oleh
karena itu, dibutuhkan pihak yang independen untuk memberikan atestasi atas
informasi tersebut, dengan cara melakukan pemeriksaan (audit) terhadap pihak
yang mempertanggungjawabkan pengelolannya. Pemeriksaan atas pengelolaan dan
akuntabilitas keuangan daerah dilaksanakan oleh BPK Daerah, sebagai auditor
eksternal yang independen dari pemerintah. Hasil pemeriksaan BPK Daerah kemudian
disampaikan kepada DPRD. Di samping itu, apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan
ditemukan adanya indikasi tindak pidana atau kerugian negara, maka BPK Daerah wajib
melaporkan hal tersebut kepada aparat penegak hukum seperti kepolisian,
kejaksaan, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
BAB
III
PEMBAHASAN
Pemerintah
Yang Responsif, Transparan, Dan Akuntabel Sebagai Bagian Dalam Mewujudkan Good
Governance
Bank Dunia memberikan definisi governance sebagai
cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan
pembangunan masyarakat, sedangkan United Nation Development Program (UNDP)
lebih memfokuskan pada cara pengelolaan negara dengan mempertimbangkan aspek
politik yang mengacu pada proses pembuatan kebijakan; aspek ekonomi yang
mengacu pada proses pembuatan keputusan yang berimplikasi pada masalah
pemerataan, penurunan kemiskinan, serta peningkatan kualitas hidup; dan yang
terakhir aspek administratif yang mengacu pada sistem implementasi kebijakan.
Dengan demikian, orientasi pembangunan sektor publik
dimaksudkan untuk mewujudkan good governance. Lebih jauh, UNDP
memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good governance, antara
lain transparency, responsiveness, consensus orientation, equity,
efficiency dan effectiveness, serta accountability. Dari
karakterikstik tersebut, paling tidak terdapat tiga hal yang dapat diperankan
oleh akuntansi sektor publik yaitu terwujudnya transparansi, value for
money, dan akuntabilitas.
Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, pemerintah daerah
dituntut lebih responsif atau cepat dan tanggap. Terdapat 3 (tiga) mekanisme
yang dapat dilaksanakan daerah agar lebih responsif, transparan, dan akuntabel
serta selanjutnya dapat mewujudkan good governance yaitu: (1)
mendengarkan suara atau aspirasi masyarakat serta membangun kerjasama
pemberdayaan masyarakat, (2) memperbaiki internal rules dan mekanisme
pengendalian, dan (3) membangun iklim kompetisi dalam memberikan layanan
terhadap masyarakat serta marketisasi layanan. Ketiga mekanisme tersebut saling
berkaitan dan saling menunjang untuk memperbaiki efektivitas pengelolaan
pemerintahan daerah.
Manajemen risiko (risk management) merupakan salah
satu aspek pengelolaan keuangan penting lainnya dalam pewujudan good
governance. Manajemen risiko dilakukan untuk meminimumkan kerugian yang
mungkin terjadi akibat dari adanya ketidakpastian (uncertainty) masa
depan.
Resiko yang terjadi akibat ketidakpastian masa depan tidak
saja dialami oleh sektor swasta, namun juga oleh organisasi sektor publik,
termasuk pemerintahan, menghadapi hal yang sama. REsiko akibat ketidakpastian masa depan yang
dihadapi oleh organisasi sektor publik terkait dengan: (1) kemungkinan terjadi
perubahan politik yang tidak menguntungkan, misalnya terjadi instabilitas
politik nasional dan lokal, (2) kemungkinan terjadi perubahan politik dan
ekonomi regional dan internasional, seperti krisis ekonomi dan mata uang,
depresi ekonomi, konflik antar negara, perang, dan sebagainya, (3) kemungkinan
terjadi kriminalitas ekonomi tingkat tinggi sehingga mengganggu perekonomian
negara, seperti money laundering, white collar crime, mafia perbankan,
pajak, bea cukai, dan sebagainya, (4) kemungkinan terjadi kegagalan hukum yang
berimplikasi pada keuangan negara, seperti munculnya mafia peradilan, dan (5)
kemungkinan terjadi bencana alam maupun bencana kemanusiaan.
Akuntabilitas
Publik Dan Transparansi
Fenomena yang terjadi dalam perkembangan sektor publik di
Indonesia dewasa ini adalah menguatnya tuntutan akuntabilitas atas
lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah. Akuntabilitas dapat
diartikan sebagai bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan atau
kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang
telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang
dilaksanakan secara periodik (Stanbury, 2003).
Pada dasarnya, akuntabilitas adalah pemberian informasi dan
pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja finansial kepada
pihak-pihak yang berkepentingan (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Pemerintah,
baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi subyek pemberi informasi dalam
rangka pemenuhan hak-hak publik yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi
informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya.
Dimensi akuntabilitas publik meliputi akuntabilitas hukum dan
kejujuran, akuntabilitas manajerial, akuntabilitas program, akuntabilitas
kebijakan, dan akuntabilitas finansial. Akuntabilitas manajerial merupakan
bagian terpenting untuk menciptakan kredibilitas manajemen pemerintah daerah.
Tidak dipenuhinya prinsip pertanggungjawaban dapat menimbulkan implikasi yang luas.
Jika masyarakat menilai pemerintah daerah tidak accountable,
masyarakat dapat menuntut pergantian pemerintahan, penggantian pejabat, dan
sebagainya. Rendahnya tingkat akuntabilitas juga meningkatkan risiko
berinvestasi dan mengurangi kemampuan untuk berkompetisi serta melakukan
efisiensi.
Manajemen bertanggung jawab kepada masyarakat karena dana
yang digunakan dalam penyediaan layanan berasal dari masyarakat baik secara
langsung (diperoleh dengan mendayagunakan potensi keuangan daerah sendiri),
maupun tidak langsung (melalui mekanisme perimbangan keuangan). Pola
pertanggungjawaban pemerintah daerah sekarang ini lebih bersifat horisontal di
mana pemerintah daerah bertanggung jawab baik terhadap DPRD maupun pada
masyarakat luas (dual horizontal accountability). Namun demikian, pada
kenyataannya sebagian besar pemerintah daerah lebih menitikberatkan pertanggungjawabannya
kepada DPRD daripada masyarakat luas (Mardiasmo, 2003a).
Governmental Accounting Standards Board (GASB, 1999)
dalam Concepts Statement No. 1 tentang Objectives of Financial
Reporting menyatakan bahwa akuntabilitas merupakan dasar pelaporan
keuangan di pemerintahan yang didasari oleh adanya hak masyarakat untuk
mengetahui dan menerima penjelasan atas pengumpulan sumber daya dan
penggunaannya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa akuntabilitas memungkinkan
masyarakat untuk menilai pertanggungjawaban pemerintah atas semua aktivitas
yang dilakukan. Concepts Statement No. 1 menekankan pula bahwa laporan
keuangan pemerintah harus dapat membantu pemakai dalam pembuatan keputusan
ekonomi, sosial, dan politik dengan membandingkan kinerja keuangan aktual
dengan yang dianggarkan, menilai kondisi keuangan dan hasil-hasil operasi,
membantu menentukan tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang
terkait dengan masalah keuangan dan ketentuan lainnya, serta membantu dalam
mengevaluasi tingkat efisiensi dan efektivitas.
Pembuatan laporan keuangan adalah suatu bentuk kebutuhan
transparansi yang merupakan syarat pendukung adanya akuntabilitas yang berupa
keterbukaan (opennes) pemerintah atas aktivitas pengelolaan sumber
daya publik. Transparansi informasi terutama informasi keuangan dan fiskal
harus dilakukan dalam bentuk yang relevan dan mudah dipahami (Schiavo-Campo and
Tomasi, 1999). Transparansi dapat dilakukan apabila ada kejelasan tugas dan kewenangan,
ketersediaan informasi kepada publik, proses penganggaran yang terbuka, dan
jaminan integritas dari pihak independen mengenai prakiraan fiskal, informasi,
dan penjabarannya (IMF, 1998 dalam Schiavo-Campo and Tomasi, 1999). Pada saat
ini, Pemerintah sudah mempunyai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang
merupakan prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan
menyajikan laporan keuangan (PP No. 24 Tahun 2005).
Value
For Money
Value for money (VFM) merupakan konsep pengelolaan
yang mendasarkan pada tiga elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan
efektivitas. Ekonomi adalah pemerolehan input dengan kualitas dan
kuantitas tertentu pada harga yang terendah. Ekonomi terkait dengan sejauh mana
organisasi sektor publik dapat meminimalisir inputresources yang
digunakan dengan menghindari pengeluaran yang boros. Efisiensi merupakan
pencapaian output yang maksimum dengan input tertentu atau
penggunaan input yang terendah untuk mencapai output
tertentu. Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil program dengan target
yang ditetapkan. Secara sederhana, efektivitas merupakan perbandingan outcome
dengan output.
Ketiga hal tersebut merupakan elemen pokok value for
money yang saling terkait. Ketiga elemen tersebut perlu ditambah dengan
dua elemen lagi yaitu keadilan (equity) dan pemerataan atau kesetaraan
(equality). Keadilan mengacu pada adanya kesempatan sosial yang sama
untuk mendapatkan layanan publik berkualitas dan kesejahteraan ekonomi. Selain
keadilan, perlu dilakukan distribusi secara merata. Artinya, penggunaan uang
publik hendaknya tidak terkonsentrasi pada kelompok tertentu saja, melainkan
dilakukan secara merata dengan keberpihakan kepada seluruh rakyat (Mardiasmo,
2002a).
Akuntansi
Sektor Publik
Akuntansi sektor publik memiliki kaitan erat dengan penerapan
dan perlakuan akuntansi pada domain publik yang memiliki wilayah lebih luas dan
kompleks dibandingkan sektor swasta atau bisnis. Keluasan wilayah publik tidak
hanya disebabkan keluasan jenis dan bentuk organisasi yang berada di dalamnya,
tetapi juga kompleksitas lingkungan yang mempengaruhi lembaga-lembaga publik
tersebut.
Secara kelembagaan, domain publik antara lain meliputi
badan-badan pemerintahan (Pemerintah Pusat dan Daerah serta unit kerja
pemerintah), perusahaan milik negara dan daerah (BUMN dan BUMD), yayasan,
universitas, organisasi politik dan organisasi massa, serta Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
Jika dilihat dari variabel lingkungan, sektor publik tidak
hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain seperti politik, sosial, budaya, dan historis, yang
menimbulkan perbedaan dalam pengertian, cara pandang, dan definisi. Dari sudut
pandang ilmu ekonomi, sektor publik dapat dipahami sebagai entitas yang
aktivitasnya menghasilkan barang dan layanan publik dalam memenuhi kebutuhan
dan hak publik.
American Accounting Association (1970) dalam Glynn
(1993) menyatakan bahwa tujuan akuntansi pada organisasi sektor publik adalah
memberikan informasi yang diperlukan agar dapat mengelola suatu operasi dan
alokasi sumber daya yang dipercayakan kepada organisasi secara tepat, efisien,
dan ekonomis, serta memberikan informasi untuk melaporkan pertanggungjawaban
pelaksanaan pengelolaan tersebut serta melaporkan hasil operasi dan penggunaan
dana publik. Dengan demikian, akuntansi sektor publik terkait dengan penyediaan
informasi untuk pengendalian manajemen dan akuntabilitas.
Kerangka transparansi dan akuntabilitas publik dibangun
paling tidak atas lima komponen, yaitu sistem perencanaan strategik, sistem
pengukuran kinerja, sistem pelaporan keuangan, saluran akuntabilitas publik (channel
of public accountability), dan auditing sektor publik yang dapat
diintegrasikan ke dalam tiga bagian akuntansi sektor publik, yaitu: Akuntansi
Manajemen Sektor Publik, Akuntansi Keuangan Sektor Publik, dan Auditing
Sektor Publik.
Akuntansi
Manajemen Sektor Publik
Peran utama akuntansi manajemen dalam organisasi sektor
publik adalah memberikan informasi akuntansi yang relevan dan handal kepada
manajer untuk melaksanakan fungsi perencanaan dan pengendalian manajemen.
Fungsi perencanaan meliputi perencanaan strategik, pemberian informasi biaya,
penilaian investasi, dan penganggaran, sedangkan fungsi pengendalian meliputi
pengukuran kinerja. Informasi yang diberikan meliputi biaya investasi yang
dibutuhkan serta identifikasinya, penilaian investasi dengan memperhitungkan
biaya dengan manfaat yang diperoleh (cost-benefit analysis), dan
penilaian efektivitas biaya (cost-effectiveness analysis), serta
jumlah anggaran yang dibutuhkan.
Dalam perkembangannya, kelemahan dan ketertinggalan sektor
publik dari sektor swasta memicu munculnya reformasi pengelolaan sektor publik
dengan meninggalkan administrasi tradisional dan beralih ke New Public
Management (NPM), yang memberi perhatian lebih besar terhadap pencapaian
kinerja dan akuntabilitas, dengan mengadopsi teknik pengelolaan sektor swasta
ke dalam sektor publik.
Penerapan NPM dipandang sebagai suatu bentuk reformasi
manajemen, depolitisasi kekuasaan, atau desentralisasi wewenang yang mendorong
demokrasi (Pecar, 2002). Perubahan dimulai dari proses rethinking
government dan dilanjutkan dengan reinventing government
(termasuk didalamnya reinventing local government) yang mengubah peran
pemerintah, terutama dalam hal hubungan pemerintah dengan masyarakat
(Mardiasmo, 2002b; Ho, 2002; Osborne and Gaebler, 1993; dan Hughes, 1998).
Perubahan teoritis, misalnya dari administrasi publik ke arah manajemen publik,
pemangkasan birokrasi pemerintah, dan penggunaan sistem kontrak telah meluas di
seluruh dunia meskipun secara rinci reformasinya bervariasi. Tren di hampir
setiap negara mengarah pada penggunaan anggaran berbasis kinerja, manajemen
berbasis outcome (hasil), dan pengunaan akuntansi accrual
meskipun tidak terjadi dalam waktu bersamaan (Hoque, 2002; Heinrich, 2002).
Polidano (1999) dan Wallis dan Dollery (2001) menyatakan bahwa NPM merupakan
fenomena global, akan tetapi penerapannya dapat berbeda-beda tergantung faktor localized
contingencies.
Walaupun penerapan NPM bervariasi, namun mempunyai tujuan
yang sama yaitu memperbaiki efisiensi dan efektivitas, meningkatkan
responsivitas, dan memperbaiki akuntabilitas manajerial. Pemilihan kebijakannya
pun hampir sama, antara lain desentralisasi (devolved management),
pergeseran dari pengendalian input menjadi pengukuran output
dan outcome, spesifikasi kinerja yang lebih ketat, public service
ethic, pemberian reward and punishment, dan meluasnya penggunaan
mekanisme contracting-out (Hood, 1991; Boston et al.,1996
dalam Hughes and O’Neill, 2002; Mulgan, 1997).
NPM memberikan kontribusi positif dalam perbaikan kinerja
melalui mekanisme pengukuran yang diorientasikan pada pengukuran ekonomi,
efisiensi, dan efektivitas meskipun penerapannya tidak bebas dari kendala dan
masalah. Masalah tersebut terutama berakar dari mental birokrat tradisional,
pengetahuan dan ketrampilan yang tidak memadai, dan peraturan
perundang-undangan yang tidak memberikan cukup peluang fleksibilitas pembuatan
keputusan (Pecar, 2002).
Penerapan NPM seharusnya didukung dengan penerapan Public
Expenditure Management (PEM) dalam pengalokasian dan penggunaan sumber
daya secara responsif, efektif, dan efisien (Schiavo-Campo and Tomasi, 1999).
PEM tidak hanya dikaitkan dengan pengeluaran, tetapi juga memperhatikan
pendapatan sebagai suatu kesatuan, sehingga kooperasi aparat pajak dengan
aparat penganggaran untuk berbagai hal seperti budget forecasting,
macroeconomic framework formulation, trade-offs between outright expenditures,
dan tax concessions adalah suatu keharusan.
Dalam kerangka desentralisasi, PEM dilaksanakan dengan
memperhatikan kondisi ekonomi, sosial, dan kemampuan daerah serta memperhatikan
local factor endowments, institusi daerah, dan kebutuhan daerah dalam
perspektif jangka panjang. Penerapan PEM dilaksanakan untuk mewujudkan agregate
fiscal discipline, allocative efficiency, dan operational efficiency (Schiavo-Campo
and Tomasi, 1999; Campos, 2001). Hal tersebut dapat dilaksanakan apabila StrategicManagementAccounting
(SMA) diterapkan dalam pemerintahan. SMA membantu penyediaan informasi,
pengendalian, dan evaluasi kinerja meskipun lingkungan dan kebutuhan organisasi
terus berubah karena SMA menekankan continual feedback dan orientasi
jangka panjang dalam membuat keputusan strategis dan menilai efektivitasnya
(Hoque, 2002).
Dalam perkembangannya, konsep value for money diperluas
dengan penerapan best value performance framework yang menunjang
reformasi layanan publik. Reformasi layanan publik meliputi empat hal mendasar
yaitu adanya standar nasional, keleluasaan dalam menyediakan layanan,
fleksibilitas organisasi, dan eksplorasi jenis layanan yang dapat disediakan
(ODPM, 2003). Layanan masyarakat seharusnya mempunyai kriteria seperti adanya
standar yang tinggi dan responsif terhadap kebutuhan masyarakatnya serta dapat
diakses oleh masyarakat yang membutuhkan. Standar yang tinggi dan responsif
merupakan sesuatu yang relatif yang dapat diantisipasi dengan penetapan standar
pelayanan minimal (SPM) atau minimum standard level of public services.
Indonesia saat ini sudah mempunyai PP No. 65 Tahun 2005 yang mengatur tentang
Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Tujuan pokok best value adalah memodernisasi
penilaian pengelolaan pemerintahan sehingga unit kerja yang berwenang
menyediakan layanan yang baik dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat
sehingga layanan yang disediakan bukan berdasarkan dana yang tersedia
(pelayanan merupakan fungsi pendapatan), tetapi lebih pada apa yang dibutuhkan
masyarakat (pelayanan merupakan fungsi kebutuhan). Setiap unit kerja menentukan
target dan tujuan serta merefleksikannya ke dalam suatu performance plan
yang memberikan informasi mengenai jenis layanan yang disediakan, cara
menyediakan layanan, obyek pemakai layanan, kualitas layanan yang diharapkan,
dan tindakan yang diperlukan dalam menyediakan layanan (Jones and Pendlebury,
2000). Best value juga menyelaraskan prioritas dan fokus nasional
dengan prioritas dan fokus daerah sehingga pengembangan layanan publik tidak
tumpang tindih.
Best value menitikberatkan pada pembangunan yang
berkelanjutan, keseimbangan kualitas layanan yang disediakan dengan biaya yang
dikeluarkan, dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah dalam menyediakan
layanan publik.Best value meningkatkan akuntabilitas dengan cara konsultasi
dan musyawarah untuk memastikan adanya komunikasi yang efektif dalam komunitas
daerah. Selain itu, best value juga mensyaratkan adanya evaluasi pada
setiap aspek pekerjaan dari berbagai perspektif untuk menilai kinerja unit
kerja tersebut. Best value dapat mengadopsi teknik-teknik manajemen sektor
privat seperti value planning, value engineering, dan value
analysis, serta konsep customer value. Dengan demikian, best
value dapat dikatakan sebagai konsep pengelolaan yang berfokus pada
pelanggan dan kinerja.
Penerapan konsep-konsep di atas seperti value for money,
NPM, dan best value akan lebih nyata apabila sistem manajemen
strategik yang berbasis Balanced Scorecard (BSC). Sistem manajemen
strategik tersebut terdiri dari sistem perumusan strategi, sistem perencanaan
strategi, sistem penyusunan program, sistem penyusunan anggaran, sistem
pengimplementasian, dan sistem pemantauan.
Sistem
Pengukuran Kinerja
Setelah suatu sistem pengelolaan keuangan terbentuk, perlu
disiapkan suatu alat untuk mengukur kinerja dan mengendalikan pemerintahan agar
tidak terjadi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak adanya kepastian
hukum dan stabilitas politik, dan ketidakjelasan arah dan kebijakan pembangunan
(Mardiasmo, 2002a).
Pengukuran kinerja memiliki kaitan erat dengan akuntabilitas,
seperti halnya akuntabilitas memiliki kaitan erat dengan NPM. Untuk memantapkan
mekanisme akuntabilitas, diperlukan manajemen kinerja yang didalamnya terdapat
indikator kinerja dan target kinerja, pelaporan kinerja, dan mekanisme reward
and punishment (Ormond and Loffler, 2002). Indikator pengukuran kinerja
yang baik mempunyai karakteristik relevant, unambiguous, cost-effective,
dan simple (Accounts Commission for Scotland, 1998) serta berfungsi
sebagai sinyal atau alarm yang menunjukkan bahwa terdapat masalah yang
memerlukan tindakan manajemen dan investigasi lebih lanjut (Jackson, 1995).
Fokus pengukuran kinerja terdiri dari tiga hal yaitu produk,
proses, dan orang (pegawai dan masyarakat) yang dibandingkan dengan standar
yang ditetapkan dengan wajar (benchmarking) yang dapat berupa anggaran
atau target, atau adanya pembanding dari luar (Hoque, 2002). Hasil pembandingan
digunakan untuk mengambil keputusan mengenai kemajuan daerah, perlunya
mengambil tindakan alternatif, perlunya mengubah rencana dan target yang sudah
ditetapkan apabila terjadi perubahan lingkungan.
Selama ini, sektor publik sering dinilai sebagai sarang
inefisiensi, pemborosan, dan sumber kebocoran dana. Tuntutan baru muncul agar
organisasi sektor publik memperhatikan value for money yang
mempertimbangkan input, output, dan outcome secara
bersama-sama. Dalam pengukuran kinerja value for money, efisiensi
dapat dibagi menjadi dua, yaitu: efisiensi alokasi (efisiensi 1), dan efisiensi
teknis atau manajerial (efisiensi 2).
Efisiensi alokasi terkait dengan kemampuan mendayagunakan
sumber daya input pada tingkat kapasitas optimal. Efisiensi teknis
terkait dengan kemampuan mendayagunakan sumber daya input pada tingkat
output tertentu (dapat dilihat pada Gambar 1). Kedua efisiensi
tersebut merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat apabila
dilaksanakan atas pertimbangan keadilan dan keberpihakan terhadap rakyat
(Mardiasmo, 2002a).
Kampanye implementasi konsep value for money pada
organisasi sektor publik perlu gencar dilakukan seiring dengan meningkatnya
tuntutan akuntabilitas publik dan pelaksanaan good governance.
Implementasi konsep tersebut diyakini dapat memperbaiki akuntabilitas sektor
publik dan memperbaiki kinerja sektor publik dengan meningkatkan efektivitas
layanan publik, meningkatkan mutu layanan publik, menurunkan biaya layanan
publik karena hilangnya inefisiensi, dan meningkatkan kesadaran akan penggunaan
uang publik (public costs awareness).
Public
Sector Scorecard
Sistem manajemen strategik berbasis BSC yang mengakomodasi
konsep-konsep di atas seperti value for money, NPM, dan best value
meliputi sistem pengukuran kinerja. Scorecard sektor publik berbeda
dengan scorecard sektor swasta, karena sektor publik lebih berfokus
pada pelayanan masyarakat bukan pada profit, tidak mempunyai shareholders,
lebih berfokus pada kondisi regional dan nasional, lebih dipengaruhi oleh
keadaan politik, dan mempunyai stakeholders yang lebih beragam
dibandingkan dengan sektor swasta.
Scorecard merefleksikan ukuran kinerja komprehensif
yang mencerminkan lingkungan kompetitif dan strategi yang digunakan. Scorecard
berfokus pada strategi yang diterapkan bukan pada pengendalian penerapan scorecard
(Hoque, 2002), meskipun pengawasan terhadap scorecard perlu
dilakukan mengingat fokus strategi terus berubah seiring dengan perubahan
kondisi sosial ekonomi masyarakat (Accounts Commission for Scotland, 1998).
Pengukuran kinerja dilakukan dengan mempertimbangkan empat
perspektif BSCyaitu perspektif financial, customer, internal business dan
learning and growth (Kaplan and Norton, 1992 dalam Quinlivan, 2000)
secara proporsional. Dengan demikian, pemerintah seharusnya tidak hanya diukur
dengan kinerja keuangan, tetapi juga kinerjanya dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat secara ekonomis, efisien, dan tepat sasaran.
Akuntansi
Keuangan Sektor Publik
Akuntansi keuangan sektor publik terkait dengan tujuan
dihasilkannya laporan keuangan eksternal. Tujuan penyajian laporan keuangan
adalah memberikan informasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan, bukti
pertanggungjawaban dan pengelolaan, dan evaluasi kinerja manajerial dan
organisasional (IFAC, 2000; GASB, 1999).
Beberapa teknik akuntansi keuangan yang dapat diadopsi oleh
sektor publik adalah akuntansi anggaran, akuntansi komitmen, akuntansi dana,
akuntansi kas, dan akuntansi accrual. Pada dasarnya kelima teknik
tersebut tidak bersifat mutually exclusive. Artinya, penggunaan salah
satu teknik akuntansi tersebut tidak menolak penggunaan teknik yang lain.
Dengan demikian, suatu organisasi dapat menggunakan teknik akuntansi yang
berbeda-beda, maupun menggunakan kelima teknik tersebut secara bersama-sama
(Jones and Pendlebury, 2000).
Isu yang muncul dan menjadi perdebatan dalam reformasi
akuntansi sektor publik di Indonesia adalah perubahan single entry menjadi
double entry bookkeeping dan perubahan teknik atau sistem akuntansi
berbasis kas menjadi berbasis accrual. Single entry pada
awalnya digunakan sebagai dasar pembukuan dengan alasan utama demi kemudahan
dan kepraktisan. Seiring dengan semakin tingginya tuntutan pewujudan good
public governance, perubahan tersebut dipandang sebagai solusi yang mendesak
untuk diterapkan karena pengaplikasian double entry dapat menghasilkan
laporan keuangan yang auditable.
Cash basis mempunyai kelebihan antara lain
mencerminkan informasi yang riil dan obyektif. Sedangkan kelemahannya antara
lain kurang mencerminkan kinerja yang sesungguhnya. Teknik akuntansi berbasis accrual
dinilai dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih komprehensif dan relevan
untuk pengambilan keputusan. Pengaplikasian accrual basis lebih
ditujukan pada penentuan biaya layanan dan harga yang dibebankan kepada publik,
sehingga memungkinkan pemerintah menyediakan layanan publik yang optimal dan sustainable.
Pengaplikasian
accrual basis memberikan gambaran kondisi keuangan secara menyeluruh (full
picture), yang meliputi manajemen sumber daya (resource management)
dan manajemen utang (liability management), dan menyediakan indikasi
kekuatan fiskal jangka panjang dalam reformasi manajemen keuangan dan reformasi
manajemen lainnya (Mellor, 1996).
Penekanan penggunaan accrual basis juga disyaratkan
dalam GASB (1999) dan diterapkan bersama-sama dengan asumsi dasar lainnya
seperti going concern, consistency of presentation, materiality and
aggregation untuk mewujudkan comparative information (IFAC,
2000). Namun demikian, accrual accounting mempunyai beberapa kelemahan
antara lain penilaian dan revaluasi aset yang didasarkan atas taksiran dan
penggunaan estimasi dalam penghitungan depresiasi (Conn, 1996).
Beberapa negara telah mereformasi akuntansi sektor publik
mereka, terutama perubahan dari cash basis menjadi accrual basis.
New Zealand merupakan contoh sukses dalam menerapkannya. Namun, beberapa kasus
menunjukkan bahwa perubahan yang dilakukan tidak seluruhnya menjamin
keberhasilan. Kasus di Italia menunjukkan bahwa perubahan tersebut tidak memberikan
kontribusi signifikan terhadap transparansi, efisiensi, dan efektivitas
organisasi. Oleh karena itu, dalam mereformasi suatu sistem perlu dilakukan
analisis mendalam terhadap faktor lingkungan, salah satunya adalah faktor
sosiologi masyarakat (Yamamoto, 1997).
Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan
selambat-lambatnya tahun 2008. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan
belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran
berbasis kas. Dipertegas dalam PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan yang menyatakan bahwa laporan keuangan untuk tujuan umum disusun
dan disajikan dengan basis kas untuk pengakuan pos-pos pendapatan, belanja,
transfer, dan pembiayaan, serta basis akrual untuk pengakuan pos-pos aset,
kewajiban, dan ekuitas dana.
Auditing
Sektor Publik
Pemberian otonomi daerah berarti pemberian kewenangan dan
keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber
daya daerah secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan,
pemberian wewenang dan keleluasaan harus diikuti dengan pengawasan dan
pengendalian yang kuat, serta pemeriksaan yang efektif. Pengawasan dilakukan
oleh pihak luar eksekutif (dalam hal ini DPRD dan masyarakat); pengendalian,
yang berupa pengendalian internal dan pengendalian manajemen, berada di bawah
kendali eksekutif (pemerintah daerah) dan dilakukan untuk memastikan strategi
dijalankan dengan baik sehingga tujuan tercapai; sedangkan pemeriksaan (audit)
dilakukan oleh badan yang memiliki kompetensi dan independensi untuk mengukur
apakah kinerja eksekutif sudah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan
(Mardiasmo, 2001).
Penguatan fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui
optimalisasi peran DPRD sebagai kekuatan penyeimbang antara eksekutif dengan
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan melalui LSM serta
organisasi sosial kemasyarakatan di daerah. Perlu dipahami oleh anggota DPRD
bahwa pengawasan terhadap eksekutif adalah pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan yang telah digariskan, bukan pemeriksaan (audit).
Pemeriksaan tetap harus dilakukan oleh badan atau lembaga yang memiliki
otoritas dan keahlian profesional, seperti BPK, BPKP, atau Kantor Akuntan
Publik (KAP) yang selama ini menjalankan fungsinya lebih pada sektor swasta
sehingga fungsinya pada sektor publik perlu ditingkatkan.
Harus disadari bahwa saat ini masih terdapat beberapa
kelemahan dalam melakukan audit pemerintah di Indonesia. Kelemahan pertama bersifat inherent
sedangkan kelemahan kedua bersifat struktural. Kelemahan pertama adalah tidak
tersedianya indikator kinerja yang memadai sebagai dasar mengukur kinerja
pemerintah. Kelemahan kedua adalah
masalah kelembagaan audit Pemerintah Pusat dan Daerah yang overlapping
satu dengan lainnya, sehingga pelaksanaan pengauditan tidak efisien dan tidak
efektif.
Sehubungan dengan audit pemerintah, terdapat
penelitian mandiri mengenai pengaruh rewards instrumentalities dan environmental
risk factors terhadap motivasi partner auditor independen untuk
melaksanakan audit pemerintah. Penghargaan (rewards) yang
diterima auditor independen pada saat melakukan audit pemerintah
dikelompokkan ke dalam dua bagian penghargaan, yaitu penghargaan intrinsik
(kenikmatan pribadi dan kesempatan membantu orang lain) dan penghargaan
ekstrinsik (peningkatan karir dan status). Sedangkan faktor resiko lingkungan (environmental
risk factors) terdiri dari iklim politik dan perubahan kewenangan. Rincian
lebih lanjut tentang faktor penghargaan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel
1. Motivasi Auditor Independen dalam Melakukan Audit Pemerintah
Penghargaan Intrinsik
|
Penghargaan Ekstrinsik
|
Kenikmatan Pribadi
Kesempatan membantu orang lain
|
Karir
Status
|
Sumber: Lowehnson and Collins (2001).
Hasil penelitian yang kami dapatkan dari situs Akuntansi
Pemerintahan, menunjukkan bahwa rewards instrumentalities dengan
segenap komponennya (penghargaan intrinsik dan ekstrinsik) berpengaruh positif
terhadap motivasi partner auditor independen untuk melaksanakan audit pemerintah.
KAP melaksanakan audit pemerintah dilandasi keyakinan bahwa dirinya akan
memperoleh kenikmatan pribadi. Kenikmatan pribadi yang dimaksud antara lain
berupa kenikmatan meningkatkan kemampuan intelektualitas, kenikmatan meningkatkan
atau paling tidak membuka kesempatan pengembangan pribadi serta
mempertimbangkan bahwa audit pemerintah merupakan suatu pekerjaan yang
menarik dan memberikan tantangan mentalitas profesional. Partner juga
berkeyakinan bahwa dengan melaksanakan audit dapat meningkatkan karir
dalam arti peningkatan kemapanan, kesempatan berkarir secara lebih luas dan
terbuka di masa mendatang, serta peningkatan kompensasi atau penghasilan yang
diperoleh. Lebih lanjut, partner berkeyakinan akan memperoleh pengakuan positif,
penghormatan, dan nama baik atau prestis dari masyarakat, serta peningkatan
status sosial dalam masyarakat (Mardiasmo, 2002c).
Sedangkan, faktor resiko lingkungan tidak berpengaruh negatif
terhadap motivasi partner untuk melaksanakan audit pemerintah,
meskipun hubungan keduanya negatif. Hasil penelitian memiliki implikasi bahwa
banyaknya perubahan peraturan atau regulasi yang memunculkan kewenangan baru
pemerintah serta iklim politik yang melingkupi kondisi pemerintahan disikapi
secara hati-hati (ragu-ragu) oleh partner ketika akan menerima audit pemerintah
(Mardiasmo, 2002c).
Wallace (1986) menyatakan bahwa lembaga pemerintah memiliki
suatu dimensi politik dalam pengambilan keputusan yang merupakan bagian
integral dari setiap analisis. Persaingan politik terkait dengan persaingan
pemilu maupun persaingan antar kelompok yang berkepentingan (Carpenter, 1991)
meningkatkan permintaan bagi politisi dan atau kelompok yang berkepentingan
atas informasi akuntansi yang sudah diaudit (Baber, 1994) seiring dengan adanya
pertentangan politik atau kegiatan masyarakat (Rubin, 1987 dan Baber, 1994)
untuk menunjukkan ketepatan janji-janji politik mereka sebelumnya (Baber and
Sen, 1984) atau mengungkapkan tindakan kepada pesaingnya (Baber, 1990).
Deis dan Giroux (1992) menyatakan bahwa politisi yang
menghadapi persaingan mungkin mendesak auditor independen untuk mengeluarkan
laporan audit yang diinginkan atau mungkin tindakan auditor dimonitor
oleh pelaku politik yang berpengalaman daripada yang tidak berpengalaman, sehingga
diperkirakan auditor akan menolak lembaga pemerintah yang dibebani politik.
Bentuk-bentuk auditing yang berbeda dengan yang diminta cenderung
menimbulkan konflik dengan auditee dan menciptakan masalah politis
(Power, 1999). Tingginya sorotan media pers terhadap kinerja partner juga
memiliki korelasi terhadap motivasi partner melaksanakan audit pemerintah.
Reposisi lembaga pemeriksa diperlukan untuk menciptakan
lembaga audit yang efisien dan efektif dengan memisahkan tugas dan fungsi
secara jelas ke dalam kategori auditor internal dan eksternal (Mardiasmo,
2003b). Audit internal dilakukan oleh unit pemeriksa yang merupakan bagian dari
organisasi yang diperiksa. Sedangkan, audit eksternal dilakukan oleh unit
pemeriksa yang berada di luar organisasi yang diperiksa dan bersifat
independen. Dalam hal ini yang bertindak sebagai auditor eksternal pemerintah
adalah BPK yang merupakan lembaga independen dan merupakan supreme auditor
sesuai dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003.
Memperkuat
Value For Money (VFM) Audit
Good governance akan tercapai jika lembaga pemeriksa
berfungsi dan tertata dengan baik. Setelah itu, pengembangan pengauditan perlu
dilakukan. Salah satunya dengan memperluas cakupan audit, tidak hanya audit
keuangan (financial audit) tetapi juga value for money audit
atau sering disebut performance audit. Audit kinerja
merupakan suatu proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti
secara obyektif, agar dapat melakukan penilaian secara independen atas ekonomi
dan efisiensi operasi serta efektivitas dalam pencapaian hasil yang diinginkan,
dan kepatuhan terhadap kebijakan, peraturan, dan hukum yang berlaku, serta
menentukan kesesuaian antara kinerja yang telah dicapai dengan kriteria yang
telah ditetapkan sebelumnya, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada
pihak-pihak pengguna laporan tersebut (Malan et al., 1984).
Secara lebih rinci, audit kinerja dibagi menjadi audit
ekonomi dan efisiensi (management audit) dan audit efektivitas
(program audit) (Herbert, 1979). Audit ekonomi dan efisiensi bertujuan
untuk menentukan: (1) apakah suatu entitas telah memperoleh, melindungi, dan
menggunakan sumber dayanya (seperti karyawan, gedung, dan peralatan kantor)
secara hemat (ekonomis) dan efisien, (2) penyebab ketidakhematan dan
ketidakefisienan, dan (3) apakah entitas tersebut telah mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan kehematan dan efisiensi. Sedangkan, audit
efektivitas bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian hasil program,
efektivitas pelaksanaan program, dan ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan program (Malan et al.,
1984).
Tujuan memperkuat pelaksanaan VFM audit adalah
meningkatkan akuntabilitas sektor publik. Hal ini penting untuk mendukung
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Nantinya DPR atau DPRD,
menteri-menteri dan lembaga-lembaga pemerintahan, baik di pusat maupun di
daerah, harus memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat, dan akhirnya
akuntabilitas publik merupakan bagian penting dari sistem politik dan
demokrasi.
Upaya
Perbaikan Sistem Pengelolaan Keuangan Negara
Untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, pemerintah dalam
era reformasi telah melakukan koreksi secara menyeluruh terhadap sistem
keuangan negara yang dipergunakan pada masa Pemerintahan Orde Baru. Koreksi pertama adalah degan mengintegrasikan
anggaran negara dengan meniadakan pembedaan antara anggaran rutin dan anggaran
pembangunan yang terpisah di masa Orde Baru. Kontrol atas APBN kini sepenuhnya
berada di tangan Menteri Keuangan. Tadinya anggaran pembangunan dikendalikan
oleh Bappenas. Sementara itu, tahun anggaran kini dirubah sesuai dengan tahun
kalender dari yang tadinya berakhir tanggal 31 Maret.
Administrasi dan
pertanggungjawaban keuangan negara dirubah secara mendasar. Jenis dan format
laporan keuangan negara kini memberlakukan sistem pembukuan berpasangan,
menggunakan sistem akuntansi terpadu yang dikomputerisasi, serta menerapkan
desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi
baik di kantor pusat maupun di daerah. ICW yang digunakan selama Orde Baru
merupakan warisan kolonial yang menggunakan single entry account dan bukan
sistem pembukuan berpasangan, terpadu, dan berjenjang. Perubahan mendasar atas
struktur APBN dan jenis, format serta cara pelaporannya dimuat dalam ketiga
Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003-2004.
Koreksi
yang kedua adalah dengan
menyosialisasikan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) pada tanggal 13 Juni
2005. SAP ini merupakan yang pertama dikeluarkan oleh pemerintah setelah enam
puluh tahun Republik Indonesia berdiri. Koreksi yang ketiga adalah dengan
menerbitkan UU No. 15 Tahun 2006 yang memulihkan kebebasan dan kemandirian BPK
dan sekaligus memperluas objek pemeriksaannya. Setelah enam puluh tahun kita
berbangsa dan bernegara, pertanggungjawaban keuangan negara yang transparan dan
akuntabel baru dimulai dalam LKPP Tahun 2004. Walaupun masih jauh dari
sempurna, LKPP itu memuat rangkaian perubahan sistem fiskal yang disajikan dalam
bentuk neraca, lebih rinci dan lebih sistematis sehingga lebih mudah dipahami
dan dicerna oleh masyarakat luas. Penyajian keuangan negara dalam bentuk neraca
dan format baru, yang telah diaudit oleh BPK-RI tersebut, merupakan suatu
tonggak sejarah kemajuan dan bagian dari perwujudan demokrasi politik yang juga
menuntut adanya transparansi serta akuntabilitas keuangan negara.
LKPP yang merupakan
pertanggungjawaban keuangan negara dalam bentuk baru seperti sekarang ini
adalah diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Ketentuan peralihan Pasal 36 ayat (2) UU No. 17/2003 tentang
Keuangan Negara itu menyatakan bahwa ketentuan mengenai LKPP dalam bentuk
sekarang ini akan berlaku mulai APBN Tahun 2006. Namun demikian, UU No. 28
Tahun 2003 tentang APBN Tahun 2004 telah memajukan awal mulai berlakunya
penerapan LKPP format baru tersebut. Undang-Undang APBN Tahun 2004 menyebutkan
bahwa laporan pertanggungjawaban APBN oleh Presiden sudah berupa LKPP format
baru.
LKPP format baru
sekarang ini berbeda dengan laporan keuangan Pemerintah Pusat yang disusun
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Sistem Akuntansi Pemerintah dan Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). LKPP yang berlaku sekarang ini terdiri dari
Laporan Realisasi APBN (LRA) Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan LRA
Kementerian Negara/Lembaga, Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas
Laporan Keuangan (CALK) yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan
negara dan badan lainnya. Bagian-bagian LKPP yang lebih rinci, tertib dan sistematis tersebut
merupakan hal yang sangat penting bagi transparansi fiskal dan peningkatan
akuntabilitas publik.
Anggaran nonbujeter,
yang sangat menonjol dalam masa Orde Baru, kini semakin ditertibkan dan
diintegrasikan dengan APBN/APBD. Kini tidak boleh lagi menghimpun penerimaan
nonbujeter dari mark-up pengadaan barang dan jasa. Instansi negara tidak boleh
lagi mendirikan badan usaha, yayasan dan koperasi yang marak pada masa Orde
Baru dan pada hakikatnya merongrong instansi induknya. Sementara itu,
pemungutan Penerimaan Bukan Pajak semakin ditertibkan.
Studi Kasus Mengenai Tidak
Transparan Dan Akuntabelnya Ditjen Pajak
Salah satu alasan BPK
memberikan opini disclaimer pada LKPP
adalah karena tidak adanya transparansi dan akuntabilitas penerimaan pajak yang
merupakan porsi terbesar dari penerimaan negara. UU No. 16 Tahun 2000 tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 1983 dan UU No. 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan menyebutkan bahwa pemeriksaan pajak oleh BPK hanya boleh dilakukan
dengan ijin tertulis dari Menteri Keuangan. Dalam realita, hampir tidak pernah
Menteri Keuangan memberikan ijin untuk melakukan pemeriksaan pajak. Dengan
demikian, Ditjen Pajak merupakan satu-satunya instansi negara yang berada di
luar jangkauan pemeriksaan BPK. Dengan demikian BPK merupakan satu-satunya
lembaga pemeriksa keuangan di dunia yang tidak boleh memeriksa Ditjen Pajak
negaranya sendiri.
Walaupun
sudah menghabiskan biaya yang sangat besar untuk pembangunannya, data base
Ditjen Pajak sangat buruk. Sementara itu statistik perpajakan pun hampir tidak ada. Tidak ada informasi
mengenai jumlah wajib pajak yang telah
memiliki NPWP dan berapa jumlah yang benar-benar membayar pajak. Pada tahun
2006, Ditjen Pajak menyebut adanya kenaikan jumlah pemiliki NPWP sebesar 5
kali lipat dalam masa satu bulan, tapi
yang diberikan nomornya langsung oleh presiden di Istana Negara adalah anggota
TNI, PNS maupun karyawan perusahaan swasta skala besar. Dalam sistem withholding yang digunakan dewasa ini,
pajak mereka itu dipotong langsung oleh kantor di mana mereka bekerja untuk
disetorkan pada Ditjen Pajak. Akibatnya, kenaikan jumlah pemilik NPWP tersebut
belum dapat meningkatkan tax ratio dari tingkat 13,5% dari PDB dewasa ini Tidak
ada informasi distribusi wajib pajak menurut lapis tarif pajak, sektor ekonomi,
skala usaha maupun daerah. Tidak ada informasi mengenai kepatuhan wajib pajak
untuk memenuhi kewajiban pembayaran pajaknya dan apa upaya Ditjen Pajak untuk
menerapkan berlakunya undang-undang pajak untuk meningkatkan tax ratio tersebut. Pengenaan pajak atas
dasar kesadaran sukarela dari wajib pajak untuk menghitung sendiri kewajibannya
(self assessment) merupakan lisensi
untuk penggelapan pajak jika tidak disertai dengan penegakan hukum dan audit
oleh auditor independen. Lebih dari 70% konsultan pajak sekarang ini merupakan
pensiunan karyawan Ditjen Pajak sendiri yang tidak pernah diawasi dan direview pekerjaannya.
Sebagaimana yang
berlaku secara universal, BPK tidak akan melakukan pemeriksaan atas wajib
pajak. Fokus pemeriksaan BPK adalah pada ketertiban petugas pajak untuk
melaksanakan tugasnya melaksanakan Undang-Undang Perpajakan. Pemeriksaan oleh
BPK pun akan dilakukan dengan mengambil sampel yang dipilih secara acak.
Setidaknya ada lima aspek perpajakan yang akan diperiksa oleh BPK. Pertama, pelaporan mengenai penerimaan
pajak menurut daerah, sektor ekonomi, skala usaha. Kedua, menilai kewajaran penetapan perhitungan kewajaran penetapan
perhitungan pajak PPh, PPN, dan Wajib Pajak oleh petugas pajak. Ketiga, menguji dan menilai penyelesaian
keberatan dan peninjauan kembali penetapan pajak yang dilakukan oleh petugas
pajak. Keempat, administrasi
tunggakan dan penagihan pajak termasuk kewajaran penghapusan tunggakan pajak. Kelima, dasar pemberian restitusi pajak
yang dilakukan oleh petugas pajak. Pada gilirannya, hasil pemeriksaan BPK itu
wajib untuk dilaporkannya kepada DPR sebagai pemegang hak bujet.
Masalah
Insitusional Daerah
Kesembilan temuan BPK
yang merupakan kelemahan LKPP yang disebut di atas juga berlaku bagi kedua
lapis pemerintahan daerah. Selama periode 2000-2007, jumlah provinsi di
Indonesia telah bertambah dari 27 menjadi 33 sedangkan jumlah kabupaten/kota
meningkat dari 292 menjadi 4838. Kondisi daerah menjadi semakin parah karena dua hal. Pertama, karena tidak
adanya desain yang jelas tentang otonomi daerah sehingga peraturan sering
berubah selama periode 1999-2007. Alasan kedua adalah karena sebagian dari
pemekaran daerah itu bukan didasarkan atas pertimbangan kelayakan ekonomi yang
rasional, tapi lebih karena ambisi elit politik daerah untuk mendapatkan
kekuasaan dan kekayaan.
Perlu diingat bahwa
pada umumnya LKPD itu belum melampirkan laporan keuangan BUMD. Pada tahun itu
BPK sudah dapat memeriksa LKPD seluruh provinsi dan 306 kabupaten/kota. BPK
memberikan 4 opini “wajar tanpa pengecualian” (WTP), 269 “wajar dengan
pengecualian” (WDP), 47 “tidak memberikan pendapat” (TMP) dan 19 LKPD “tidak
wajar” (TW) pada LKPD. Dari total temuan sebesar 4.352, sebanyak 831 temuan
(dengan nilai Rp5,6 triliun) berindikasi adanya kerugian negara sehingga perlu
dilaporkan untuk disidik oleh penegak hukum. Sebanyak 523 temuan (senilai Rp2,3
triliun) merupakan kekurangan penerimaan, kesalahan administratif sebesar 660
temuan (senilai Rp17 triliun), kekurangpatuhan kepada peraturan sebanyak 2.014
temuan (senilai Rp25,9 triluin) dan ketidakhematan sebanyak 884 temuan (senilai
Rp16,1 triliun).
Di negara-negara lain,
otonomi daerah diberikan kepada pemerintah provinsi. Sebaliknya di Indonesia
diberikan langsung kepada kabupaten/kota. Padahal, kabupaten/kota belum
memiliki perangkat kelembagaan maupun personil untuk mewujudkan pelimpahan
wewenang dan dana bagi peningkatan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan
rakyatnya sesuai dengan tujuan otonomi itu. Lemahnya institusi Pemda tercermin
dalam tiga hal. Pertama, lemahnya
kemampuan untuk merumuskan kebijakan untuk dapat memanfaatkan potensi daerah
bagi sebesar-besarnya kemajuan daerah serta bagi peningkatan kemakmuran maupun
kesejahteraan rakyat di daerahnya. Kedua,
lemahnya kemampuan aparat daerah untuk mengimplementasikan kebijakan yang
diperlukan bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat itu. Ketiga, kurang tersedianya personil
dalam bidang keuangan, teknik, kesehatan, pendidikan maupun dalam bidang
lainnya seperti pertanian dan perikanan. Ahli keuangan diperlukan untuk dapat
mengelola keuangan daerah, meningkatkan penerimaan, menghemat dan
mengefektifkan pengeluaran anggaran serta mengelola hutang. Diperlukan ahli
teknik untuk memelihara dan membangun
prasana ekonomi. Diperlukan dokter dan perawat untuk mengelola Puskesmas
dan rumah sakit. Guru yang bermutu diperlukan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan.
Sebaliknya dari pihak
Pemerintah Pusat, ada keengganan untuk melimpahkan urusan dan kewenangan kepada
Pemda. Walaupun kewenangan sudah dilimpahkan kepada Pemda (seperti pendidikan,
kesehatan dan pemeliharaan serta pembangunan infrastruktur), dana dekonsentrasi
masih dikuasai oleh departemen/kementerian pusat dan belum dilimpahkan kepada
Pemda dalam bentuk Dana Alokasi Khusus. Padahal kontrol penggunaan anggaran
Dana Dekonsentrasi dan Dana Alokasi Khusus itu sudah ditetapkan melalui
penetapan SPM (Standar Pelayanan Minimum).
Kekuasaan untuk
memungut pajak di Indonesia adalah terutama berada pada Pemerintah Pusat. Oleh
karena itu, penerimaan negara dari sumber terpenting (pajak pendapatan, pajak
pertambahan nilai, royalti dari eksploitasi sumber daya alam serta pajak atas
bumi dan bangunan) dipungut oleh Pemerintah Pusat. Sebagian dari penerimaan
pajak tersebut (seperti PBB dan royalti dari eksploitasi SDA) dikembalikan
kepada daerah asal pemungutannya. Akibatnya, sumber pendapatan Pemda sangat
tergantung kepada transfer dari Pemerintah Pusat dan peranan Pendapatan Asli
Daerah sangat terbatas. Untuk mengatasi berbagai masalah yang masih dihadapi oleh
Pemda diperlukan kerjasama yang erat antara Pemerintah Pusat, Pemda serta
DPR/DPRD. Pemerintah Pusat (khususnya Departemen Dalam Negeri dan Depkeu) perlu
menetapkan enam langkah kebijakan. Pertama,
menyusun pedoman pelaksanaan sistem akuntansi yang sesuai dengan Paket UU
Keuangan Negara Tahun 2003-2004 dan Standar Akuntansi Pemerintahan Tahun 2005. Kedua, menyusun petunjuk pembuatan APBD
bagi Pemda untuk merasionalisasi pembelanjaan dan menghindarkan pemborosan dan
pembangunan proyek-proyek mercusuar yang tidak ada manfaatnya bagi peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi rakyat. Ketiga, membantu Pemda untuk membangun dan meningkatkan
kapasitasnya dalam pembuatan rencana pembangunan dan melaksanakannya. Keempat, memanfaatkan satelit komunikasi
Palapa untuk menciptakan sistem teknologi informasi yang terpadu dan kompatibel
antara satu dengan lainnya. Kelima,
memindahkan tenaga akuntan terdidik dari BPKP ke Pemda untuk dapat mengatasi
kelangkaan tenaga pembukuan. Keenam,
memperlancar realisasi anggaran, baik Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil, Dana
Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus) maupun Dana Otonomi Khusus dan
Penyesuaian. Dalam kaitan ini, departemen/kementerian negara seyogyanya segera
menyerahkan penggunaan Dana Alokasi Khusus kepada Pemda.
Pemerintah Daerah
sendiri perlu mengambil setidaknya empat tindakan bagi peningkatkan kemampuan
institusionalnya. Pertama,
meningkatkan kualitas pejabat daerah agar mampu mengidentifikasikan potensi
daerah dan menyusun perencanaan serta menetapkan kebijakan pembangunan maupun
dalam melaksanakan kebijakan serta rencana pembangunan tersebut. Universitas
daerah dapat dimanfaatkan untuk keperluan itu. Kedua, peningkatan SDM bukan saja mendirikan bangunan fisik gedung
sekolah dan rumah sakit. Peningkatan SDM juga termasuk penyuluhan bagi petani,
pengrajin, nelayan, dan UKM agar mampu memanfaatkan globalisasi perekonomian.
Pemda harus dapat menyediakan pelayanan umum sesuai dengan SPM yang telah
ditetapkan. Ketiga, meningkatkan
kualitas governance dan iklim usaha di
daerah agar dapat merangsang penanaman modal swasta untuk menciptakan lapangan
kerja, meningkatkan produksi serta ekspor, maupun alih teknologi. Keempat, meningkatkan infrastruktur
perekonomian daerah, khususnya di pedesaan untuk memperlancar pemasaran produksi
rakyat.
Reformasi
Kebijakan Pemeriksaan Keuangan Negara
Untuk lebih memantapkan
koordinasi dan pengembangan audit sektor publik, pada bulan Oktober 2003,
dengan dukungan hibah dari Asian
Development Bank (ADB), Pemerintah menyetujui dimulainya Project State Audit Reform–Sector
Development Program atau lebih dikenal dengan STAR–SDP Project.
Sasaran dari STAR-SDP
adalah meningkatkan pengelolaan serta kehematan, efisiensi, dan efektivitas
audit di sektor publik melalui peningkatan peran lembaga pemerintah, yang
dijabarkan dalam bentuk: (1) perbaikan kebijakan dan kerangka hukum bagi
lembaga-lembaga audit pemerintahan; (2) penataan kerangka operasional lembaga
audit intern dan eksternal supaya lebih kuat dan efisien; (3) peningkatan
akuntabilitas dan pengawasan dari fungsi audit di semua tingkatan pemerintahan;
dan (4) peningkatan kesadaran masyarakat mengenai manfaat dan hasil audit.
Reformasi keuangan
negara dan kebijakan perumusan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara
minimal telah berhasil memancang tiga pilar utama di bidang pemeriksaan
keuangan negara yaitu Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara (SPKN) dan konsep Sistem Pengendalian Intern Pemerintah SPIP.
Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah
Menurut Mustopadidjaja
(2003), Pertanggungjawaban merupakan ujung dari siklus anggaran setelah
perencanaan dan pelaksanaan. Kata-kata kunci dalam pertanggungjawaban dalam
evaluasi, evaluasi kinerja, dan akuntabilitas. Evaluasi kinerja kebijakan pada
hakikatnya dilakukan untuk mengetahui ketepatan dan efektivitas baik kebijakan
itu sendiri maupun sistem dan proses pelaksanaannya, agar dapat dilakukan
langkah-langkah tindak lanjut untuk menghindarkan “biaya” (kemungkinan
kemubaziran) yang lebih besar atau untuk mencapai “manfaat” yang lebih baik.
Essensi evaluasi kinerja adalah perbandingan yang menyangkut kinerja dan
tingkat efektivitas baik kebijakan maupun sistem dan proses pelaksanaan yang
berkembang dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi atau dalam mencapai tujuan
yang ditetapkan.
Evaluasi kinerja yang
dilakukan dalam rangka pemantauan pada pokoknya adalah menyediakan informasi
bagi para pengelola kebijakan dan pembuat kebijakan mengenai ketepatan dan
efektivitas kebijakan dan sistem serta proses pelaksanaannya, agar dapat
dilakukan tindak lanjut dini apabila secara aktual ternyata ada hal-hal yang
perlu dikoreksi baik pada kebijakan atau pun pada sistem dan proses
pelaksanaannya. Langkah dan tujuan serupa juga dilakukan dalam rangka
pengawasan internal, karena sebenarnya pemantauan merupakan bagian dari
kegiatan pengendalian internal yang diperlukan untuk peningkatan efektivitas
manajemen, peningkatan efisiensi pemanfaatan sumber-sumber, dan
perbaikan-perbaikan lainnya ke depan yang dapat meliputi kebijakan dan sistem
serta proses pelaksanaannya, dengan kemungkinan terminasi atau pun ekstensi dan
modifikasi kebijakan yang dilaksanakan.
Evaluasi kinerja pada
pengawasan eksternal, dilakukan dengan tujuan memberikan gambaran obyektif
mengenai ketepatan dan efektivitas kebijakan ataupun sistem serta proses
pelaksanaannya, kondisi biaya dan manfaat aktual dari kebijakan, perkembangan
berbagai unsur dan indikator kinerja yang dicapai, yang diperlukan sebagai
“pertanggungjawaban” atau pun “pertanggunggugatan” (responsibility and or accountability) suatu organisasi dalam
melaksanakan tugas kelembagaannya. Hal terakhir itu menunjukkan maksud (motif)
dilakukannya evaluasi kinerja, yang tentu dipengaruhi pula oleh posisi dan peran
lembaga pengawasan eksternal yang melakukan evaluasi tersebut.
Sistem Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah adalah instrumen pertanggungjawaban yang pada
pokoknya terdiri dari berbagai indikator dan mekanisme kegiatan pengukuran,
penilaian, dan pelaporan kinerja secara menyeluruh dan terpadu untuk memenuhi
kewajiban suatu instansi pemerintah dalam pertanggungjawabkan
keberhasilan/kegagalan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, serta misi
organisasi.
LAKIP adalah media
pertanggungjawaban yang bersisi informasi mengenai kinerja instansi pemerintah,
dan bermanfaat antara lain untuk: (1) Mendorong instansi pemerintah untuk menyelenggarakan
tugas umum pemerintahan dan pembangunan secara baik dan benar (good governance) yang didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebijaksanaan yang transparan dan
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat; (2) Menjadikan instansi
pemerintah yang akuntabel sehingga dapat beroperasi secara efisien, efektif,
dan responsif terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungannya; (3) Menjadi
masukan dan umpan balik bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka
meningkatkan kinerja instansi pemerintah; dan (4) Terpeliharanya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah.
Akuntabilitas
Keuangan Daerah: Masalah yang Dihadapai
Sistem
keuangan negara, masih lemah. Pencegahan korupsi, menurut Anwar Nasution
(15/5/2009) bisa dilakukan dengan memperbaiki sistem keuangan negara (termasuk
di daerah), misalnya dengan mencegah bagaimana agar tidak terjadi pungutan di
setiap instansi, bagaimana jangan terjadi rekening liar, dan menghindari upah
pungut. Pengelolaan aset pemerintah juga lemah sehingga ada peluang korupsi
dari lemahnya pengelolaan aset pemerintah ini. Selain itu, juga muncul aturan
yang simpang siur, seperti aturan pajak, upah pungut, serta UU migas dan
perminyakan. Kesimpangsiuran tersebut juga memicu perbedaan persepsi dan
berujung pada korupsi.
Masalah yang dihadapi
khususnya dalam keuangan negara. Rendahnya kualitas administrasi keuangan negara: (1) Tersendat-sendatnya pengajuan
anggaran; (2) Rendahnya daya serap anggaran; (3) Kelambatan melaporkan keuangan
serta tidak sesuai standar akuntansi pemerintah; (4) Buruknya komunikasi
politik antara Pemda dan DPRD menjadi penyebab keterlambatan penetapan anggaran;
(5) Dana APBN menumpuk di rekening Bank Pemda, yang selanjutnya disimpan dalam
bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI); (6) Proses perencanaan di daerah juga
masih lemah, sehingga program atau proyek tidak bisa diselesaikan dalam satu
tahun anggaran; (7) Pelaksanaan anggaran buruk, kesejahteraan bangsa juga
merosot. Hal ini terlihat dari APBN yang terus meningkat, tetapi kemiskinan dan
pengangguran tetap besar; (8) Hingga saat ini ketimpang anggaran pusat dan
daerah masih sangat besar (70 persen berbanding 30 persen), dan seharusnya
relatif berimbang; (9) Belanja aparatur di Provinsi ataupun Kabupaten/Kota saat
ini sangat tinggi, mencapai 71 persen dan belanja publik hanya 29 persen; (10)
Pembangunan tidak benar-benar berdampak langsung pada pemberantasan kemiskinan.
BAB
IV
KESIMPULAN
Akuntansi manajemen harus dapat memberikan informasi yang
relevan dan handal melalui strategic planning, strategic cost
management, dan strategic management accounting untuk dapat
menerapkan NPM, melaksanakan value for money untuk penentuan biaya dan
harga layanan publik, serta pengukuran kinerja pengelolaan dalam kerangka best
value performance dan public sector scorecard.
Laporan Keuangan yang dihasilkan organisasi publik, sebagai
bentuk akuntabilitas publik, seharusnya mengambarkan kondisi yang komprehensif
tentang kegiatan operasional, posisi keuangan, arus kas, dan penjelasan (disclosure)
atas pos-pos yang ada di dalam laporan keuangan tersebut. Laporan Keuangan memerlukan
perangkat yang berupa standar akuntansi pemerintahan dan sistem akuntansi yang
menggunakan sistem pencatatan berpasangan.
Laporan keuangan
pemerintah daerah yang dihasilkan melalui proses akuntansi merupakan bentuk
transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan publik. Untuk dapat
menghasilkan laporan keuangan yang semakin baik (tantangan) dibutuhkan
tenaga-tenaga akuntansi terampil pada pemerintah daerah, hal ini dapat
dilakukan melaui kegiatan bimbingan teknis akuntansi bagi pegawai pemerintah
daerah yang ditugaskan sebagai pengelola keuangan atau melalui rekrutmen
pegawai baru yang memiliki kemampuan akuntansi keuangan daerah.
Disamping tenaga-tenaga
akuntansi terampil tersebut, juga dibutuhkan adanya sistem dan prosedur
pembukuan yang memadai dan kebijakan akuntansi sebagai pedoman pegawai dalam
mengelola keuangan daerah.
Audit terhadap pertanggungjawaban pengelolaan keuangan
seharusnya tidak terbatas pada audit kepatuhan, tetapi juga audit keuangan
(agar dapat memberikan pendapat atas kewajaran Laporan Keuangan), dan diperluas
lagi dengan audit kinerja. Audit kinerja tersebut merupakan suatu bentuk
evaluasi pertanggungjawaban kinerja sebagai sarana untuk memastikan bahwa value
for money benar-benar telah diaplikasikan.
Telah diuraikan mengenai Transparansi Dan Akuntabilitas
Pengelolaan Keuangan Daerah
sebagai Upaya Perbaikan Dan Pertanggungjawaban
Sistem Akuntansi Pemerintahan yang meliputi uraian tentang konsep
dan aplikasinya, “reformasi, penyesuaian, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban
keuangan daerah”. Tuntutan untuk mewujudkan konsep dan aplikasi keuangan daerah
tersebut di atas, dan juga untuk mewujudkan “good governance”, membutuhkan
profesionalitas dan akuntabilitas yang semakin tinggi, kejujuran,
konsistensi, komitmen yang tinggi, dan berupaya keras meningkatkan citra dan kinerja aparatur dalam
penyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan.
Dengan demikian, akuntansi sektor publik, yang
diartikulasikan melalui akuntansi manajemen, akuntansi keuangan, dan auditing
sektor publik sudah sangat mendesak pengembangan dan pengaplikasiannya sebagai
alat untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas publik dalam mencapai good
governance.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Tim Sosialisasi UU BPK Tahun 2006. Buku
Kumpulan UUD 1945, Ketiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004 dan UU No. 15
Tahun 2006 Tentang BPK. Jakarta. 30 Nopember 2006.
-
Abdul Hafiz Tanjung. 2008. Akuntansi Pemerintahan Daerah: Konsep dan
Aplikasi. Cetakan kedua. Alfabeta. Bandung.
-
Abdul Hafiz Tanjung. 2008. Penatausahaan dan Akuntansi Keuangan
Daerah. Cetakan pertama. Alfabeta Bandung.
-
Mardiasmo. 2006. Pewujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi
Sektor Publik: Suatu Sarana Good Governance, Jurnal Akuntansi Pemerintahan.
Vol. 2, No. 1. Mei 2006. Hal 1 – 17 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005
Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
-
Permendagri
13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
-
Sofyan Syafri Harahap. 2003. Teori Akuntansi. Edisi Revisi. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
-
Siaran
Pers BPK RI. 23 Juni 2008
-
Siaran
Pers BPK RI. 15 Oktober 2008
-
Abdul Hakim. 2006. Reformasi Penglolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM.
-
Bappenas. 2002. Public Good Governance: Sebuah Paparan Singkat. Jakarta:
Sekretariat Pengembangan Public Good Governance.
-
I Gusti Ayu Rina Kusuma Dewi. 2006. Pendapatan Daerah sebagai Salah satu
Masalah pada Pengelolaan Keuangan Daerah. Badung – Bali.
-
Nurdjaman Arsjad Bambang Kusumanto, dan
Yuwono Prawirosetoto. 1992. Keuangan
Negara. Jakarta: Intermedia.
-
Suparmoko. 2003. Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: BPFE. Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jurnal
Bisnis dan Akuntansi. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Trisakti. Jakarta. Edisi
Agustus.
-
———-, 2002a. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit
Andi. Yogyakarta.
-
———-, 2002b. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah.
Penerbit Andi. Yogyakarta.
-
———-, 2002c. Pengaruh
Rewards Instrumentalities dan
Environmental Risk Factors terhadap
Motivasi Partner Auditor Independen untuk Melaksanakan Audit Pemerintah, Penelitian Mandiri.
-
———-, 2003a. Reformasi
Pengelolaan Keuangan Daerah, Makalah Seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis
ke-8 MEP UGM Yogyakarta.
-
———-, 2003b, Tantangan
Akuntansi Sektor Publik dalam Mewujudkan Good Governance dalam Perspektif Otonomi Daerah dan
Desentralisasi Fiskal Menuju Indonesia Baru, Makalah Seminar Nasional Ikatan Akuntan
Indonesia Sulawesi Selatan.
-
———-, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
-
———-, Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah.
-
———-, Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
-
———-, Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal.
-
Tabel 1. Motivasi Auditor Independen dalam
Melakukan Audit Pemerintah dari sumber penelitian Lowehnson and Collins. 2001.
Website:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar