MEMAHAMI PEMILU INDONESIA TAHUN 1955
Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Sistem Kepartaian dan Pemilu di Indonesia
Disusun oleh:
Kurnia Rellyanti NPM: 170410080005
Kariena Febriantin NPM:
170410080043
Rifaldy Hafiz Ikhwan NPM: 170410080049
Harry
Rachman H NPM: 170410080053
R. Saddam Al Jihad NPM: 170410080095
Ratna
Citra Gumilar NPM: 170410080133
Euis Julaeha NPM: 170410080167
JURUSAN
ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
JATINANGOR
2011
DAFTAR ISI
Halaman
Judul
Daftar Isi
Pendahuluan
Tinjauan Pustaka
Pemilu Tahun 1955 – Segala Hal Mengenai Pemilu Tahun 1955
Kampanye Pemilu Tahun
1955
Lembaga, Hasil,
Jumlah Suara, Alokasi Suara dan Daerah Pemilihan Pada
Pemilu Tahun 1955
Sitem Kepartaian
Dinamika Partai
Berbasis Sosial Islam Versus Partai Nasional
Kesimpulan dan Saran
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Referensi Buku:
-
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dalam bagian menimbang butir a sampai
c.
-
Roy C. Macridis; ”Teori-Teori
Mutakhir Partai Politik” (Editor : Ichlasul Amal); Penerbit : PT. Tiara
Wacana Yogya, tahun 1996, hal 17
-
Miriam Budiardjo; “Dasar-Dasar
Ilmu Politik”; Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991,
hal 160.
-
Rainer
Adam, DPRD dan Partai Politik, FNS dan P3OD-UMM, dalam Sabastian
Salang, Potret Partai Politik di Indonesia, Asesmen Terhadap
Kelembagaan, Kiprah, dan Sistem Kepartaian (Jakarta: Forum
Politisi-Friedrich Naumann Stiftung, Oktober 2007), hlm. 3.
-
FS. Swantoro, Meneropong Sistem Kepartaian
Indonesia 2020, hlm. 122-123, dalam Soegeng Sarjadi dan Sukardi
Rinakit,Meneropong Indonesia 2020 (Jakarta: Soegeng Sarjadi
Syndicate, 2004).
-
Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu
Politik, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 163-164, dalam Jimly
Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan
Mahkamah Konstituusi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 59.
-
Herbert Feith dan Lance Castles, ed., Pemikiran Politik Indonesia : 1945-1965, Alih Bahasa Min
Yubhaar, (Jakarta: LP3ES, 1988)
-
UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, hlm. 6.
Website:
-
Website DPR Republik Indonesia www.dpri.go.id
-
Website Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia www.kpu.go.id
-
http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009042807215742
PENDAHULUAN
Perjalanan sejarah partai-partai di Indonesia sebenarnya
sudah cukup lama jika dibandingkan sejarah bangsa Indonesia. Partai-partai di
Indonesia mulai berdiri hampir bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia, yaitu
mulai muncul sejak dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945 yang
mengimbau agar bangsa Indonesia mendirikan partai-partai dalam rangka
menyongsong pemilihan umum (baik untuk parlemen/KNIP maupun Badan Konstituante)
yang direncanakan akan segera dilaksanakan.
Sejarah mencatat bahwa rencana tersebut baru dapat terlaksana
tujuh tahun kemudian, tahun 1955, ketika bangsa Indonesia pertama kali
melaksanakan pemilihan umum anggota DPR yang menghasilkan adanya 27 partai yang
memperoleh kursi di parlemen dari 36 partai yang mengikuti pemilihan umum.
Sejarah partai politik Indonesia mencatat bahwa inilah
satu-satunya pemilu (yang dapat dilaksanakan dalam kurun waktu kurang lebih 20
tahun masa Orde Lama) yang dapat dipergunakan untuk mengukur kekuatan
partai-partai politik masa Orde Lama. Sampai dengan berakhirnya Orde Lama pada
pertengahan dekade 1960-an, tidak ada lagi pemilihan umum yang dapat
dipergunakan untuk mengukur distribusi kekuatan antarpartai secara nasional.
Hal ini perlu ditekankan karena di luar pemilu secara nasional tersebut,
terdapat beberapa kali pemilu daerah dan lokal yang pernah dilaksanakan di
Indonesia pada masa Orde Lama, yaitu pemilu 1957 (untuk wilayah Jawa dan
Sumatera Bagian Selatan), pemilu 1958 (untuk wilayah Kalimantan), 1948 (pemilu
lokal Yogyakarta), 1951 (pemilu lokal Minahasa dan Sangihe Talaud), 1952
(pemilu lokal Makassar), 1961 (pemilu lokal Papua yang waktu itu masih di bawah
kekuasaan Belanda).
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian
Pemilu
Dari
berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai pemilihan umum. Tetapi
intinya adalah pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan
di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan, ini adalah inti kehidupan
demokrasi.
Pemilu
dapat dipahami juga sebagai berikut:
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
tentang pemilihan umum dalam bagian menimbang butir a sampai c disebutkan:[1]
- Bahwa berdasarkan undang-undang dasar 1945, negara republik indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat;
- Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
- Bahwa pemilihan umum umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan/Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penmyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian juga dalam Bab
I ketentuan umum pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa: "pemilihan umum adalah
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan republik indonesia
yang berdasarkan pancasila dan undang-undang 1945.
Pemilihan Umum, selanjutnya disebut
Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun1945.
Asas Pemilu: Pemilu dilaksanakan
secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, danadil.
Pengertian
Sistem Pemilu Proporsional
Sistem Proporsional adalah seluruh wilayah merupakan satu
kesatuan. Jadi seperti partai kecil yang memiliki suara di Papua, Kalimantan,
dan lain-lain, bisa dijumlahkan, sehingga Sistem Proporsional memungkinkan
partai-partai kecil berkiprah di parlemen. Jika mereka kalah di wilayah
pemilihan tertentu, partai-partai kecil tidak otomatis gugur, karena masih ada akumulasi
suara sisa yang memungkinkan mereka memperoleh kursi di DPR.
Sistem
Proporsinal juga implikasinya adalah mengharuskan adanya koalisi dua partai
atau lebih, hal ini disebabkan karena satu partai sukar sekali untuk
mendapatkan suara mayoritas kursi dalam badan legislatif. Kelemahan lain dari
sistem ini adalah ketika adanya kelompok elit berkuasa dalam sebuah partai
berkuasa, penguasa negara boleh jadi merupakan penguasa partai yang sudah
menjadi mitos tidak bisa tergantikan (absolute power). Untuk
contoh ini misalnya penguasa Partai Golkar di Indonesia, yakni Soeharto
terus-menerus mencengkeram partai ini selama ia menjadi penguasa
negaraIndonesia.
Tentang
sistem pemilihan proporsional juga Herman Finer mengungkapkan dalam sistem
Proporsional, karaktristiknya tumbuh sistem multi partai. Hal ini disebabkan
karena tidak adanya kendala bagi partai-partai kecil ditambah pula dengan
adanya dorongan bagi semua kelompok untuk turut serta dalam pemilihan.
Partai-partai kecil dapat memperoleh perwakilan dalam badan legislatif dalam
sistem ini, padahal dalam sistem pemilihan distrik partai-partai tersebut
harusnya tidak mampu menempatkan calon tunggalnya.
Pengertian Partai Politik
Roy C. Macridis berpendapat bahwa partai politik (parpol) merupakan keharusan
dalam kehidupan politik moderen yang demokratis, pengecualiannya hanya pada
masyarakat tradisional yang sistem politiknya otoritarian yang pemerintahannya
bertumpu pada tentara atau polisi.[2]
Sebagai organisasi, parpol secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan
dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan
kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi
kepemimpinan politik secara absah (legitimate) dan damai. Menurut
Roy C. Macridis, parpol merupakan suatu asosiasi yang mengaktifkan,
memobilisasi rakyat, dan mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan
kompromi bagi pendapat-pendapat yang bersaing, dan memunculkan kepemimpinan
politik. Oleh karena itu, parpol menjadi fenomena umum dalam kehidupan politik
di dalam masyarakat moderen. Parpol adalah alat untuk memperoleh kekuasaan dan
untuk memerintah. Parpol telah digunakan untuk mempertahankan pengelompokan
yang sudah mapan (seperti gereja) atau untuk menghancurkan status quo seperti
yang dilakukan Bolsheviks pada tahun 1917 ketika menumbangkan kekaisaran Tsar.
Sementara itu Miriam Budiardjo berpendapat bahwa Partai politik menurut adalah
suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara
konstitusionil – untuk melaksanakan kebijsaksanaan-kebijaksanaan mereka.[3]
Sistem Kepartaian
Dalam
demokrasi, partai berada dan beroperasi dalam suatu sistem kepartaian tertentu.
Setiap partai merupakan bagian dari sistem kepartaian yang diterapkan di suatu
negara. dalam suatu sistem tertentu, partai berinteraksi dengan
sekurang-kurangnya satu partai lain atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi
regulasi yang diberlakukan. Sistem kepartaian memberikan gambaran tentang
struktur persaingan di antara sesama partai politik dalam upaya meraih
kekuasaan dalam pemerintahan. Sistem kepartaian yang melembaga cenderung
meningkatkan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan.[4]
Untuk
melihat sistem kepartaian suatu negara, ada dua pendekatan yang dikenal secara
umum. Pertama, melihat partai sebagai unit-unit dan sebagai satu kesatuan yang
terlepas dari kesatuan-kesatuan lain. Pendekatan numerik ini pernah
dikembangkan Maurice Duverger (1950-an), ilmuwan politik kebangsaan Prancis.
Menurut Duverger, sistem kepartaian dapat dilihat dari pola perilaku dan
interaksi antarsejumlah partai dalam suatu sistem politik, yang dapat digolongkan
menjadi tiga unit, yakni sistem partai tunggal, sistem dwi partai, dan sistem
multipartai.[5]
Selain
itu, cara lain dapat dijadikan pendekatan yaitu teori yang dikembangkan Giovani
Sartori (1976), ilmuwan politik Italia. Menurut Sartori, sistem kepartaian
tidak dapat digolongkan menurut jumlah partai atau unit-unit, melainkan
jarak ideologi antara partai-partai yang ada, yang didasarkan pada tiga
hal, yaitu jumlah kutub (polar), jarak diantara kutub (bipolar), dan arah
perilaku politiknya. Sartori juga mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi
tiga, yaitu pluralisme sederhana, pluralisme moderat, dan pluralisme ekstrem.
Kedua pendekatan ini bisa digunakan untuk melihat sistem kepartain Indonesia di
masa lalu, kini, dan mendatang.[6]
PEMILU TAHUN 1955
Segala Hal Mengenai Pemilu Tahun
1955
Pemilu 1955 diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1953 dan merujuk pada sistem parlementer UUDS 1950. Pada pelaksanaan
pemilu tahun 1955, Angkatan bersenjata dan Polri juga ikut memilih. Dimana
mereka digilir untuk memilih di daerah-daerah yang rawan sehingga pemilu pada
waktu itu berjalan relative aman. Pemilu dipersiapkan di bawah pemerintahan
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri
dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap.
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem
multi partai yang ditandai dengan
hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945. Isi dari maklumat tersebut adalah himbauan untuk melaksanakan
pemilu. Adapun bunyi Maklumat Pemerintah 3 November 1945 adalah sebagai
berikut:[7]
1. Pemerintah
menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai-partai
itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam
masyarakat.
2. Pemerintah
berharap supaya partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkan
pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat. Pemilihan ini diharapkan dapat
dilakukan pada bulan Januari 1946.
Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal
bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta
perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem
kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres Nomor 7 Tahun 1959
dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan
pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan
hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah
sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan
PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan
Masyumi dibubarkan.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
·
Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih
anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September
1955, dan diikuti oleh 29
partai politik dan individu,
·
Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota
Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember
1955.
Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan
pemilihan DPRD. Pemilu DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu
untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia wilayah
Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR, Konstituante, dan
DPRD, pemilu menjadi fokus. Konstituen pemilih bisa dengan cermat menyimak
materi kampanye dan lebih bisa menilai kualitas calon yang diusung oleh partai
peserta pemilu. Artinya konstituen pemilih memiliki pertimbangan yang lebih
rasional sebelum memilih, tidak sekedar memilih hanya karena kedekatan
emosional. Pemilu diselenggarakan secara sederhana karenanya tidak menyerap
biaya negara terlalu besar. Pemilu tahun 1955 memperkenalkan asas jujur dan
kebersamaan, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Pemilu tahun 1955 menggunakan
sistem proporsional yang mendorong multi partai. Pada pelaksanaannya, pemilu
ini diikuti oleh lebih 30 partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan
dan calon perorangan.
Kampanye Pemilu Tahun 1955
Pemilu tahun
1955 tidak menjamin kelanjutan sistem demokrasi parlementer. Sistem itu malah
dihapuskan hanya beberapa tahun sesudahnya. Hal tersebut memang besar ironi. Kampanye pemilu
yang sangat sengit itu dan berlangsung lama sekali yang memperuncing konflik
sosial di banyak daerah. Ketiadaan konsensus politik yang mencolok pada masa
kamanye itu menjadi jelas lagi pada masa pasca pemilu, yaitu pada masa kabinet
Ali Sastroamidjojo kedua (Maret 1956-Maret 1957). Dari empat partai yang keluar
sebagai pemenang dalam pemilu 1955, PNI, Masyumi, NU dan PKI, semuanya, kecuali
PKI, diwakili dalam kabinet Ali itu. Tetapi, konflik PNI dan Masyumi berjalan
terus di dalam kabinet itu, sehingga kabinet dilihat lemah dan kurang tegas.
Hal itu menyuburkan lahan bagi beberapa aktor politik yang dari dulu merasa
diri dikesampingkan oleh sistem demokrasi parlementer. Yang paling nyata
Presiden Soekarno dan pimpinan tentara.
Lembaga,
Hasil, Jumlah Suara, Alokasi Suara dan Daerah Pemilihan Pada Pemilu Tahun 1955
Pada November tahun 1952, Kabinet Wilopo
mengajukan rancangan undang-undang pemilihan umum baru. Sistem perwakilan proporsional
diajukan kepada parlemen dan disetujui secara aklamasi. Undang-undang tersebut
membagi Indonesia ke dalam 16 daerah pemilihan. Pendaftaran pemilih mulai
dilaksanakan pada Mei 1954 dan baru selesai pada November. Ada 43.104.464
pemilih yang memenuhi syarat masuk bilik suara. Pada
pemilu pertama tahun 1955, Indonesia menggunakan sistem proporsional yang tidak
murni. Proposionalitas penduduk dengan kuota 1; 300.000.
Tidak kurang dari 80 partai politik, organisasi
massa, dan puluhan perorangan ikut serta mencalonkan diri dalam pemilu yang
pertama ini. Pada pemilu ini, anggota TNI-APRI, juga menggunakan hak pilihnya
berdasarkan peraturan yang berlaku ketika itu.
Pada pelaksanaan pemilu pertama, Indonesia
dibagi menjadi 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 daerah kabupaten, 2.139
kecamatan, dan 43.429 desa. Dengan perbandingan setiap 300.000 penduduk
diwakili seorang wakil. Pemilu pertama ini diikuti oleh banyak partai politik
karena pada saat itu NKRI menganut kabinet multi partai sehingga DPR hasil
pemilu terbagi ke dalam beberapa fraksi.
Jumlah anggota DPR hasil pemilu pertama (1955)
adalah 272 orang dan dilantik pada tanggal 20 Maret 1956. Dari jumlah tersebut
60 anggota merupakan Fraksi Masyumi, 58 anggota Fraksi PNI, 47 anggota Fraksi
NU, 32 anggota Fraksi PKI, 11 anggota Fraksi Nasional Progresif, yaitu gabungan
partai/organisasi: Baperki, Permai, Acoma, Murba, PRN, Gerindo, PIR.
Wongsonegoro, dan anggota perorangan R. Soedjono Prawirosoedardjo, 11 anggota
Fraksi Pendukung Proklamasi yang terdiri dari wakil-wakil partai/organisasi:
IPKI, Partai Buruh, PRI, dan PRD, 9 anggota Fraksi PARKINDO, 8 anggota Fraksi
PSII, 8 anggota Fraksi katolik yang bergabung dengan wakil Persatuan Daya, 5
wakil PSI, 4 wakil PERTI, 1 wakil PIR. Hazairin, 11 wakil Nasional Progresif
(merupakan gabungan dari partai/organisasi: Baperki, Acoma, Murba, PRN, Grinda,
PIR. Wongso, dan anggota perorangan R. Soedjono Prawirosoedardjo), 11 wakil Pendukung
Proklamasi (gabungan dari partai/organisasi IPKI, Partai Buruh, PRIM, PRI, dan
PRD), 7 wakil Pembangunan, 2 wakil Gerakan Pembela Pancasila, 2 wakil P3RI, 1
wakil perorangan AKUI, 1 wakil perorangan PPTI, 5 wakil golongan/perwakilan/tak
berpartai dan lain-lain (Budiardjo, 1985:194). Sedangkan anggota konstituante
berjumlah 542 orang dan dilantik secara resmi pada tanggal 10 November 1956.
Dalam prakteknya konstituante dan DPR hasil pemilu pertama tidak dapat
menjalankan tugas dan fungsinya dikarenakan fraksi-fraksi yang ada, lebih
banyak mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan bangsa dan
negara..
Menurut George McTurnan Kahin, pemilu tahun
1955 tersebut begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik
terukur lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga
perwakilan. Sebelum pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan,
terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri.
Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya pemilu karena
kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat
rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh
di dalam menghadapi berbagai persoalan. Karena belum ada lembaga penyelenggara
pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi
tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu
terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat
desa. Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai
jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi
rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk
meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.
Penyelenggaraan Pemilu
tahun 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan
teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia
penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya
terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah
kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban
biaya.
Hasil penghitungan suara dalam Pemilu tahun 1955
menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan
politik pada masa itu. Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai
20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya,
Jawa Barat,
Sumatera
Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera
Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah,
Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur
setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara
nasional tak terjadi. Berikut hasil Pemilu 1955 (Lihat Tabel Daftar Rincian
Partai yang mengikuti Pemilu tahun 1955):
- Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%)
- Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%)
- Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%)
- Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%)
Empat partai besar secara berturut-turut memenangkan kursi:
Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul
Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%) (Kevin
Raymond Evans, 2003: 14).
Tabel. Daftar Rincian Partai yang mengikuti
Pemilu tahun 1955[8]
Hasil
Pemilu 1955 untuk Anggota DPR
No.
|
Partai
|
Jumlah Suara
|
Persentase
|
Jumlah Kurs
|
1.
|
Partai Nasional
Indonesia (PNI)
|
8.434.653
|
22,32
|
57
|
2.
|
Masyumi
|
7.903.886
|
20,92
|
57
|
3.
|
Nahdlatul
Ulama (NU)
|
6.955.141
|
18,41
|
45
|
4.
|
Partai
Komunis Indonesia (PKI)
|
6.179.914
|
16,36
|
39
|
5.
|
Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII)
|
1.091.160
|
2,89
|
8
|
6.
|
Partai
Kristen Indonesia (Parkindo)
|
1.003.326
|
2,66
|
8
|
7.
|
Partai
Katolik
|
770.740
|
2,04
|
6
|
8.
|
Partai
Sosialis Indonesia (PSI)
|
753.191
|
1,99
|
5
|
9.
|
Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
|
541.306
|
1,43
|
4
|
10.
|
Pergerakan
Tarbiyah Islamiyah (Perti)
|
483.014
|
1,28
|
4
|
11.
|
Partai
Rakyat Nasional (PRN)
|
242.125
|
0,64
|
2
|
12.
|
Partai
Buruh
|
224.167
|
0,59
|
2
|
13.
|
Gerakan
Pembela Panca Sila (GPPS)
|
219.985
|
0,58
|
2
|
14.
|
Partai
Rakyat Indonesia (PRI)
|
206.161
|
0,55
|
2
|
15.
|
Persatuan
Pegawai Polisi RI (P3RI)
|
200.419
|
0,53
|
2
|
16.
|
Murba
|
199.588
|
0,53
|
2
|
17.
|
Baperki
|
178.887
|
0,47
|
1
|
18.
|
Persatuan
Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro
|
178.481
|
0,47
|
1
|
19.
|
Grinda
|
154.792
|
0,41
|
1
|
20.
|
Persatuan
Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
|
149.287
|
0,40
|
1
|
21.
|
Persatuan
Daya (PD)
|
146.054
|
0,39
|
1
|
22.
|
PIR
Hazairin
|
114.644
|
0,30
|
1
|
23.
|
Partai
Politik Tarikat Islam (PPTI)
|
85.131
|
0,22
|
1
|
24.
|
AKUI
|
81.454
|
0,21
|
1
|
25.
|
Persatuan
Rakyat Desa (PRD)
|
77.919
|
0,21
|
1
|
26.
|
Partai
Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
|
72.523
|
0,19
|
1
|
27.
|
Angkatan
Comunis Muda (Acoma)
|
64.514
|
0,17
|
1
|
28.
|
R.Soedjono
Prawirisoedarso
|
53.306
|
0,14
|
1
|
29.
|
Lain-lain
|
1.022.433
|
2,71
|
-
|
Jumlah
|
37.785.299
|
100,00
|
257
|
Jumlah kursi anggota Konstituante
dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak
ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan
Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara
Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267
dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR. Peserta
pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai
berikut:
Hasil
Pemilu 1955 untuk Anggota Konstituante
Partai/Nama Daftar
|
Jumlah Suara
|
Persentase
|
Jumlah Kursi
|
|
1.
|
Partai
Nasional Indonesia (PNI)
|
9.070.218
|
23,97
|
119
|
2.
|
Masyumi
|
7.789.619
|
20,59
|
112
|
3.
|
Nahdlatul
Ulama (NU)
|
6.989.333
|
18,47
|
91
|
4.
|
Partai
Komunis Indonesia (PKI)
|
6.232.512
|
16,47
|
80
|
5.
|
Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII)
|
1.059.922
|
2,80
|
16
|
6.
|
Partai
Kristen Indonesia (Parkindo)
|
988.810
|
2,61
|
16
|
7.
|
Partai
Katolik
|
748.591
|
1,99
|
10
|
8.
|
Partai
Sosialis Indonesia (PSI)
|
695.932
|
1,84
|
10
|
9.
|
Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
|
544.803
|
1,44
|
8
|
10.
|
Pergerakan
Tarbiyah Islamiyah (Perti)
|
465.359
|
1,23
|
7
|
11.
|
Partai
Rakyat Nasional (PRN)
|
220.652
|
0,58
|
3
|
12.
|
Partai
Buruh
|
332.047
|
0,88
|
5
|
13.
|
Gerakan
Pembela Panca Sila (GPPS)
|
152.892
|
0,40
|
2
|
14.
|
Partai
Rakyat Indonesia (PRI)
|
134.011
|
0,35
|
2
|
15.
|
Persatuan
Pegawai Polisi RI (P3RI)
|
179.346
|
0,47
|
3
|
16.
|
Murba
|
248.633
|
0,66
|
4
|
17.
|
Baperki
|
160.456
|
0,42
|
2
|
18.
|
Persatuan
Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro
|
162.420
|
0,43
|
2
|
19.
|
Grinda
|
157.976
|
0,42
|
2
|
20.
|
Persatuan
Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
|
164.386
|
0,43
|
2
|
21.
|
Persatuan
Daya (PD)
|
169.222
|
0,45
|
3
|
22.
|
PIR
Hazairin
|
101.509
|
0,27
|
2
|
23.
|
Partai
Politik Tarikat Islam (PPTI)
|
74.913
|
0,20
|
1
|
24.
|
AKUI
|
84.862
|
0,22
|
1
|
25.
|
Persatuan
Rakyat Desa (PRD)
|
39.278
|
0,10
|
1
|
26.
|
Partai
Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
|
143.907
|
0,38
|
2
|
27.
|
Angkatan
Comunis Muda (Acoma)
|
55.844
|
0,15
|
1
|
28.
|
R.Soedjono
Prawirisoedarso
|
38.356
|
0,10
|
1
|
29.
|
Gerakan
Pilihan Sunda
|
35.035
|
0,09
|
1
|
30.
|
Partai
Tani Indonesia
|
30.060
|
0,08
|
1
|
31.
|
Radja
Keprabonan
|
33.660
|
0,09
|
1
|
32.
|
Gerakan
Banteng Republik Indonesis (GBRI)
|
39.874
|
0,11
|
|
33.
|
PIR NTB
|
33.823
|
0,09
|
1
|
34.
|
L.M.Idrus
Effendi
|
31.988
|
0,08
|
1
|
35.
|
Lain-lain
|
426.856
|
1,13
|
|
Jumlah
|
37.837.105
|
514
|
Sumber Data: Website DPR Republik Indonesia www.dpri.go.id dan Website Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia www.kpu.go.id. Terakhir
diakses tanggal 10 April 2011.
Sistem
Kepartaian
Di Indonesia, sistem politik mengalami sejumlah perubahan dari
Demokrasi Liberal tahun 1950 awal hingga 1955. Demokrasi Liberal Pertama di
Indonesia ditandai dengan keluarnya Maklumat No.X Oktober 1945. Maklumat yang
ditandatangani oleh Drs. Moh. Hatta (wakil presiden RI saat itu) mempersilakan
publik Indonesia untuk mendirikan partai-partai politik. Mulai saat itu,
berdirilah beragam partai politik yang sebagian besar berbasiskan ideologi dan
massa pemilih di Indonesia. Oleh sebab masih banyaknya peperangan (revolusi
fisik berupa pemberontakan dan hendak kembalinya kekuasaan asing), pemilu belum
kunjung dilaksanakan hingga tahun 1955.
Pemilu 1955 menandai “resminya” era sistem politik demokrasi
liberal di Indonesia. Aneka partai politik diberi kebebasan untuk memperkuat
organisasi, meluaskan basis massa, dan sejenisnya. Saat itu, sistem kepartaian
yang berlaku di Indonesia adalah Pluralisme Terpolarisasi. Cukup banyak partai
politik yang ikut serta di dalam pemilu pertama dalam sejarah kemerdekaan
Indonesia ini. Namun, partai-partai yang memperoleh suara besar (4 partai)
memiliki garis ideologi yang cukup berseberangan antara satu sama lain.
Dinamika Partai Berbasis Sosial Islam
versus Partai Nasional 1955, 1999, 2004, 2008 (%)
Sumber:
§
Data 1955, 1999, 2004 (KPU)
§
Juni
2008 (Indo Barometer. Catatan data Juni 2008 masih terdapat suara mengambang
atau belum menentukan pilihan sebesar 29,4%)
Dinamika
Partai Berasas Islam Versus Partai Nasionalis 1955, 1999, 2004, 2008 (%)
Sumber:
§
Data 1955, 1999, 2004 (KPU)
§
Juni 2008 (Indo Barometer. Catatan data Juni
2008 masih terdapat suara mengambang atau belum menentukan pilihan sebesar
29,4%)
Dalam konstelasi politik Indonesia, polarisasi partai
politik yang paling menonjol adalah antara partai Islam dan partai
nasionalis. Ada macam-macam definisi tentang partai Islam. Dalam dunia
akademik, biasanya definisi partai Islam itu dibagi menjadi tiga. Pertama, partai yang menganut asas
Islam (dan tentu basis massanya adalah Islam) seperti PPP, PKS, PBB, dan PBR.
Kedua, partai yang tidak menganut
asas Islam tapi berbasis massa Islam seperti PKB dan PAN. Ketiga, definisi yang tidak memisahkan
keduanya. Artinya yang disebut partai Islam mencakup baik yang berasas Islam
maupun tidak berasas Islam namun berbasis massa Islam.
Menuju pemilu 2014, tantangan partai-partai Islam ada
dua. Tantangan pertama adalah seberapa jauh partai Islam mampu bersaing
dengan partai nasionalis. Tantangan kedua, sejauh mana partai Islam bisa
mengejar mitos Masyumi sebagai eks partai Islam dengan pencapaian suara
tertinggi.
Untuk tantangan pertama, untuk sementara situasi belum
berubah banyak dari pemilu demokratis sebelumnya (1955, 1999, 2004 dan 2009).
Gabungan perolehan suara partai Islam masih kalah dengan perolehan partai
nasionalis. Apalagi kalau dibandingkan antara perolehan suara partai yang
khusus berasas Islam dengan partai nasionalis.
Untuk tantangan kedua, prestasi Masyumi tahun 1955
belum tersaingi oleh parpol Islam dalam semua pemilu demokratis, baik dari
segi persentase suara maupun dari segi ranking. Perolehan Masyumi tahun 1955
adalah 20,59%. Perolehan suara partai Islam tertinggi tahun 1999 adalah PKB
dengan 12%. Tahun 2004, kembali PKB dengan 10% dan Juni 2008 PKB dan PKS
masing-masing dengan 7,4%.
Dari segi ranking, posisi Masyumi tahun 1955 adalan
nomor 2. PKB tahun 1999 dan 2004 nomor 3 (dibawah PDIP dan Golkar tahun 1999.
Di bawah Golkar dan PDIP di tahun 2004). Juni 2008, partai Islam justru
melorot ke posisi 4 (diduduki bersama PKB dan PKS masing-masing dengan 7,4%
suara). Meski demikian, bila suara Golkar dan PD terus melorot, serta konflik
PKB tak kunjung selesai dan kenaikan suara PKS berlanjut, ada peluang bagi
PKS untuk meloncat ke posisi 3 atau 2 besar.
Salah satu cara agar partai Islam bisa langsung
meloncat ke no. 1 atau no.2 adalah dengan bergabung menjadi partai Islam
tunggal. Ini mungkin karena gabungan suara partai Islam (Juni 2008) adalah
21,1% atau lebih besar dari pada suara Golkar yang sementara 12% dan hanya berselisih
tipis dengan PDIP yang 23,8%. Masalahnya elit politik partai Islam sulit
bersatu seperti dinyatakan sendiri berbagai tokoh partai Islam yang berkumpul
dalam sebuah seminar tentang partai Islam baru-baru ini (3 Juli 2008).
Padahal publik setuju partai Islam bergabung meski mereka tidak yakin ini
bisa dilakukan.
Pendirian partai Islam, selain didasarkan pada
ideologi politik tertentu, juga didasari asumsi bahwa ada segmen masyarakat
yang melihat partai Islam sebagai entitas yang berbeda dibandingkan partai
nasionalis. Makin berbeda dan lebih baik dibanding partai nasionalis, semakin
besar peluang partai Islam untuk dipilih. Masalahnya ternyata partai Islam
dipersepsi tidak terlalu berbeda dengan partai nasionalis baik dalam hal
partai maupun perilaku elit/pengurusnya. Pemilihan Umum 1955 dianggap
oleh banyak pakar satu-satunya pemilihan umum yang paling dekat dengan
kriteria demokrasi. Pertama jumlah dan pengorganisasian orpol tidak dibatasi.
Kedua, pelaksanaan pemilu luber betul. Ketiga, pluralisme kehidupan politik
agak sama dengan era reformasi sekarang Bagaimana perkembangan sistem
kepartaian di Indonesia menunjukkan kecenderungan semakin matang atau
sebaliknya. Analisis perkembangan sistem kepartaian di Indonesia dengan
mengkaji tiga variabel, yaitu jumlah partai politik, distribusi kekuatan
antarpartai politik (dengan membandingkan kursi yang dimenangkan dalam
pemilu) dan integrasi sistim kepartaian (dengan menganalisis jarak ideologi
antarpartai politik).
|
Jumlah
Partai dan Distribusi Kekuatan
Di muka telah disebutkan bahwa Pemilu 1955 (pemilu untuk
memilih anggota parlemen/KNIP dan Badan Konstituante) diikuti oleh 36 partai
politik. Dari 36 partai yang bersaing, terdapat sepuluh partai yang memperoleh
suara lebih dari 1 (satu) persen, yaitu (berturut-turut nama partai, perolehan
kursi dan persen suara): Partai Nasional Indonesia (57/22,3%), Majlis Syuro
Muslimin Indonesia/Masyumi (57/20,3%), Nahdlatul Ulama/U (45/18,4%), Partai
Komunis Indonesia/PKI (39/15,4%), Partai Syarikat Islam Indonesia/PSII
(8/2,9%), Partai Kristen Indonesia/Parkindo (8/2,6%), Partai katholik/Parkat
(6/2,0%), Partai Sosialis Indonesia/PSI (5/2,0%), Ikatan Perintis Kemerdekaan
Indonesia/IPKI (4/1,4%), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah/Perti (4/1,3%).
Pemilu 1955 menghasilkan perolehan suara empat partai terbesar adalah 77%,
tahun 2004 empat partai terbesar hanya memperoleh sekitar 60%, dan tahun 2009
hanya sekitar 57%.
Integrasi:
Semakin Dekat atau Semakin Jauh?
Ukuran integrasi sistem kepartaian adalah jarak ideologis
partai-partai yang membentuk sistem kepartaian. Berbeda dengan Pemilu 1955 yang
menunjukkan adanya jarak ideolois yang esktrem (antara PKI yang di ujung kiri
spektrum ideologi dan Masyumi yang di ujung kanan), maka pemilu masa reformasi
menunjukkan jarak ideologi antarpartai yang semakin dekat.
Meski terdapat partai-partai yang dapat dikategorikan sebagai
“partai kiri”, yaitu Partai Buruh dan Partai Rakyat Demokratik, tetapi kedua
partai ini tidak mendapat dukungan masyarakat. Sementara itu partai-partai
agama (terutama partai-partai Islam) mengalami degradasi suara sangat drastis,
dari lebih dari 40% pada Pemilu 1955 menjadi hanya sekitar sekitar 20% pada
masa reformasi. Data tentang perolehan suara ini juga konsisten dengan dua
kenyataan: tidak ada lagi partai yang mempersoalkan Piagam Jakarta dan hampir
tidak ada lagi yang menjadikan isu agama sebagai isu utama kampanye pemilu. Isu
yang pada umumnya diusung adalah masalah moral.
Jelas bahwa partai-partai di Indonesia semakin bergerak ke
tengah dalam spektrum ideologi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa preferensi
pemilih juga semakin bergerak ke tengah. Dari sisi ideologi dan potensinya
untuk memunculkan konflik berbasis ideologi, pergerakan ideologi partai dan
preterensi pemilih yang semakin ke tengah ini semakin memperkecil potensi
konflik. Meski demikian, hal ini sangat ironis dengan perkembangan jumlah
partai yang semakin banyak. Semestinya semakin sederhana spektrum ideologi
partai maka tentunya jumlah partai yang bersaing juga semakin sedikit karena
tidak ada beda antara partai satu dengan partai lainnya. Jelas bahwa semakin
banyaknya jumlah partai di Indonesia tidak memiliki landasan teoritik ideologis
yang jelas. Tidak jelas apa yang sedang diperjuangkan oleh partai-partai yang
memiliki ideologi yang sama.
KESIMPULAN
Kunci
keberhasilan Pemilu 1955 sehingga berlangsung demokratis dan relatif aman
dan damai yaitu diwakilinya
semua partai di dalam badan penyelenggara. Memang, ada sejumlah usaha pemaksaan
kehendak oleh pejabat lokal, tetapi itu biasanya diimbangi oleh usaha
partai-partai lain yang melaporkannya kepada instansi yang lebih tinggi atau
kepada wartawan. Praktek intimidasi oleh pemuka partai tidak jarang terjadi,
terutama di daerah-daerah di mana satu desa atau dukuh menjadi monopoli satu partai.
Tetapi, keberhasilan partai-partai besar untuk mendirikan ranting di mana-mana
menjadikan proses saling mengawasi umumnya cukup efektif.
Tujuan utama pemilihan umum adalah
untuk menghasilkan parlemen yang legitimate dan pemerintahan
yang kuat. Hal ini menjadi tidak mungkin terwujud jika pelaksanaan pemilihan
legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan pada saat
yang bersamaan karena isu keduanya berbeda sehingga perilaku pemilih juga tidak
bisa dipastikan. Hal ini akan mengakibatkan tidak terjadinya hubungan yang
signifikan antara parlemen dengan presiden dan wakil presiden sehingga tidak
terwujud tata kelola sistem pemerintahan yang stabil.
Artinya,
pemilihan umum merupakan rangkaian tak terpisahkan antara pemilihan legislatif
dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, adanya sequence (jeda
waktu) antara keduanya, adalah untuk memastikan gambaran riil partai politik
pendukung di parlemen terhadap pemerintahan presiden dan wakil presiden
terpilih. Karena hanya partai politik dan gabungan partai politik yang berhasil
masuk parlemen-lah yang berhak mengusung pasangan calon presiden dan calon
wakil presiden.
Sehingga
keluhan yang menyatakan “presiden terbelenggu” menjadi tidak relevan, karena
persoalannya bukanlah di UUD 1945, tetapi lebih pada produk dari pemilihan umum
yang belum secara signifikan memposisikan dan menempatkan sistem multipartai
pada proporsi yang sebenarnya.
Adalah
hak rakyat untuk membuat partai politik, dan hak partai politik untuk ikut
pemilu. Tetapi untuk masuk ke parlemen ada mekanisme yang harus ditempuh
yaitu Parliamentary Threshold. Agar partai politik dibentuk tidak
hanya sekadar untuk ikut pemilu tapi partai politik dibuat agar fungsi-fungsi
partai politik dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga parpol menjadi
sarana dan wahana dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi
keniscayaan. Dan rakyat pun akan kembali menghargai dan menghormati partai
politik karena sesungguhnya demokrasi tidak akan mungkin tanpa adanya partai
politik.
Inilah
sistem multipartai yang kita bangun untuk diarahkan menuju terbentuknya sebuah
rezim pemerintahan presidensil yang efektif. Karena dalam sistem presidensil
itu tidak dikenal jumlah partai yang banyak. Selain itu, sebuah keharusan bagi
partai politik dan gabungan parpol di parlemen yang mengusung pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden untuk masing-masing menyamakan visi dan
misinya agar selanjutnya dijadikan dokumen negara yang harus
dipertanggungjawabkan dan diumumkan kepada publik.
[1] Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dalam bagian menimbang butir a sampai
c.
[2] Roy C. Macridis; ”Teori-Teori
Mutakhir Partai Politik” (Editor : Ichlasul Amal); Penerbit: PT. Tiara
Wacana Yogya, tahun 1996, hal 17.
[3] Miriam Budiardjo; “Dasar-Dasar
Ilmu Politik”; Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991,
hal 160.
[4] Rainer Adam, DPRD dan Partai Politik, FNS
dan P3OD-UMM, dalam Sabastian Salang, Potret Partai Politik di
Indonesia, Asesmen Terhadap Kelembagaan, Kiprah, dan Sistem Kepartaian (Jakarta:
Forum Politisi-Friedrich Naumann Stiftung, Oktober 2007), hlm. 3.
[5] FS. Swantoro, Meneropong Sistem Kepartaian
Indonesia 2020, hlm. 122-123, dalam Soegeng Sarjadi dan Sukardi
Rinakit,Meneropong Indonesia 2020 (Jakarta: Soegeng Sarjadi
Syndicate, 2004).
[8] Website DPR Republik Indonesia www.dpri.go.id dan Website Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia www.kpu.go.id. Terakhir diakses tanggal 10
April 2011.
wah luar biasa~
BalasHapuskeren.
BalasHapusbanyak bantuin tugas penelitiankuuu, thanks xD
Good. Sangat membantu sekali. Thanks ya :)
BalasHapusnice, its so goods
BalasHapusSelamat Pagi Member Setia SahabatQQ :*
BalasHapusInfomasi Dikit Ini, Untuk Pagi Ini Di Semua Meja Permainan Kartu Sedang Bersahabat Loh...
Yuk Bukti Kan Sendiri Dan Rasakan Sendiri Kemenangan Di Pagi Ini Ya.
Cukup mencoba Nya Dengan Minimal Deposit Rp.20.000 Saja Boss...
Ditunggu Ya Kedatangan nya Kembali Bermain Di Pagi Ini Boss Boss :*
Terimakasih ^^
Salah Hangat Cs SahabatQQ :*
Link Resmi SahabatQQ :
- rajasahabat,com
- rajasahabat,net
- rajasahabat,org
- rajasahabat,info