PERBANDINGAN CIVIL
SOCIETY, ETNISITAS DAN NEGARA DI INDONESIA DAN MALAYSIA
MAKALAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Individu Pengganti
UAS
Mata Kuliah Civil Society.
Disusun oleh:
Kariena Febriantin
170410080043
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Daftar Isi
Daftar Isi
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
1.2.Kajian Pustaka
A.
Civil Society
B.
Etnisitas:
Sebuah Konsep
C.
Etnis dan
Konflik
BAB II. PEMBAHASAN
A.
Etnis dan
Konflik di Indonesia dan Malaysia
B.
Civil Society
di Indonesia dan Malaysia
C. Hubungan Civil
Society, Negara dan Etnisitas
D. Arah dan Prospek Civil
Society dalam Wacana Etnisitas
BAB III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
-
Alfian. 1985.
“Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia”. Jakarta: LP3ES.
-
Barth,
Fredrik, 1988, ”Kelompok Etnik dan
Batasannya”, Jakarta:UI‑Press, Diterjemahkan oleh Nining I. Soesilo.
-
Coppel,
Charles A., 1994. Tionghoa Indonesia
dalam Bisnis, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
-
Daliman, A.
1999. “Reorientasi Pendidikan Sejarah melalui Pendekatan Budaya Menuju
Transformasi Masyarakat Madani dan Integrasi Bangsa”, Cakrawala Pendidikan.
Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.
-
Farkan, H.
1999. “Piagam Medinah dan Idealisme Masyarakat Madani”. Bernas, 29
Maret.
-
Gellner, E.
1995. “Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan”. (Terjemahan
Hasan, I) Bandung: Mizan.
-
Graaf, H.J. de & Th. Pigeaud, 1998. “Cina
Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos”. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
-
Greif,
Stuart W. 1991. “WNI: Problematik Orang
Indonesia Asal Cina”, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
-
Habibie, B.J. 1999. Keppres No. 198 Tahun 1998
Tanggal 27 Februari 1999. Jakarta.
-
Hamim, Thoha. 2000. “Islam dan Civil Society
(Masyarakat madani): Tinjauan tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan
Religious Tolerance. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam,
Demokratisasi dan Masyarakat Madani”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-
Harsoyo,
1988, “Pengantar Anmtropologi”, Bandung:
Bina Cipta.
-
Hefner, R.W.
1998. “Civil Society: Cultural Possibility of a Modern Ideal Society”,
Vol.35, No, 3 Maret/April.
-
Hikam, A. S.
1999. “Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society”. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
-
In Guan, Lee Hock (ed.), 2004. “Civil Society in South East Asia”. NIAS
Press.
-
Kartodirjo,
S. 1999. “Multi-Dimensi Pembangunan Bangsa: Etos Nasionalisme dan Negara
Kesatuan”. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
-
Kleden, I.
1986. “Sikap Ilmiah dan Kritik dan Kebudayaan”. Jakarta: LP3S.
-
Kompas,
14 Maret 2001, “Asimilasionisme vs
Multikulturalisme”.
-
Kubitscheck, Hans Dieter (Ed.), 2004. “Ethnic Minorities and Politics in Southeast
Asia”. Berlin: Peter Lang.
-
Ling,
Tan Swie, 2000, “Peran Tionghoa di
Indonesia Dahulu dan Sekarang”, Makalah dalam Seminar Paguyuban Sosial
Marga Tionghoa Indonesia di Jakarta.
-
Magnis-Suseno,
F.1998. “Mencari Makna Kebangsaan”. Yogyakarta: Kanisius.
-
Mangunwijaya,
Y. B. 1998. “Menuju Republik Indonesia Serikat”. Jakarta: Gramedia.
-
Mitakda, J.
2000. “Etnosentrisme: Akar dan Tantangannya”. Basis. Np.6-10. Mei.
-
Möller, Frida, DeRouen, Karl,
Bercovitch, Jacob, Wallensteen, Peter, 2007. “The Limits of Peace: Third Parties in Civil Wars in Southeast Asia”,
1993-2004. Negotiation Journal. Vol. 23, No. 4, pp. 373-391.
-
Nordholt, N.
S. 1999. “Civil Society di Era Kegelisahan”. Basis. Np. 3-4. Maret.
-
Paris, Roland, 2004. At War’s End.
Building Peace After Civil Conflict. London: Cambridge University Press.
-
Ramasamy, P, 2004. “Civil Society in Malaysia – An Arena of contestations?”
-
Reynal-Querol, Marta, 2002. “Ethnicity, Political Systems, and Civil
Wars. Journal of Conflict Resolution”. Vol.46, No.1, pp.29-54.
-
Rüland, Jürgen, 2005. “The Nature of Southeast Asian Security
Challenges. Security Dialogue”. Vol. 36, No. 4, pp. 545-563.
-
Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur.
Kompas Online. 5 November 1999.
-
Suharto,
E. 2002. “Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers
dalam Mewujudkan Masyarakat yang Berkeadilan”. (http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm). Diakses pada tanggal 13 Desember 2011.
-
Verma, Vidhu, 2002. “Malaysia – State and Civil Society in transition”. London: Lynne
Rienner.
-
Wahid, Abdurrahman. 1999. “Universalisme Islam dan
Kosmopolitanisme Peradaban Islam”.
(http:/artikel.isnet.org/Islam/Paramadina/Konteks/Universalisme.html). Diakses
pada tanggal 13 Desember 2011.
-
Wahid, Abdurrahman. 2000. “Tuhan Tidak
Perlu Dibela”. Yogyakarta: LkiS.
(http://rivafauziah.wordpress.com/2007/06/02/masyarakat-madani-dialog-islam-dan-modernitas-di-indonesia/).
Diakses pada tanggal 13 Desember 2011.
-
Welsh, Bridget – Suffian, Ibrahim –
Aeria, Andrew, 2007. “Malaysia Country
Report. Working Paper Series: No. 46. Asian Barometer: A Comparative Survey of
Democracy, Governance and Development”. Global barometer: Working Paper
Series.
-
Wilmott,
Donald E., 1960, The Chinese of Semarang:
A Changing Minority in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press.
-
Wiriadinata, Debora, 1998, Chinese Indonesian Dilema: The Younger
Generation of Chinese Indonesia, Search for Identity, Thesis Ohio
University.
-
Yaapar, Salleh, 2005. “Negotiating Identity in Malaysia:
Multi-Cultural Society, Islam, Theatre and Tourism in Asian Journal of Social
Science”. Vol. 33, No. 3 pp. 473-485.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai buntut dari perang bersenjata Dingin konflik
antar negara menurun secara global, sementara bersenjata konflik intra-negara meningkat
secara dramatis. Selama tahun 1990-an lebih
dari 90% dari semua konflik bersenjata yang ada digolongkan
sebagai perang saudara (Paris, 2004:1). Dengan meletusnya perang etnis di Eropa,
Asia dan Afrika, peran etnis juga dipilih sebagai faktor sentral bagi konflik bersenjata di
pasca era perang Dingin
(Joireman, 2003:1). Dalam perkembangan ini,
masyarakat internasional dan spektrum yang luas dari
bidang penelitian, ternyata perhatian mereka terhadap intra-negara resolusi konflik dan manajemen.
Dengan jatuhnya komunisme dan sejumlah perubahan lain, seperti munculnya
demokrasi baru, interaksi global yang meningkat di dunia yang semakin tidak aman, dan
peningkatan yang signifikan dari LSM global, fokus secara
luas berpaling ke arah peran masyarakat sipil sebagai unsur penting atau mitra dalam
intra-negara membangun proses perdamaian (Edwards, 2004:2). Singkatnya, berbagai, politisi dan
cendekiawan praktisi di seluruh dunia diantisipasi bahwa civil society akan menjadi pusat penting untuk inisiasi dan keberlanjutan proses
perdamaian. Sebagai sebuah konsep civil society dapat digambarkan sebagai suatu bidang sosial, diposisikan antara individu
dan negara non-pemerintah dan non-profit dimana kegiatan
dan nilai-nilai kesopanan dipraktekkan (Belloni, 2001:168).
Civil
society secara luas telah
disahkan sebagai suatu bidang yang vital untuk proses demokratisasi, supremasi
hukum, dan menghormati hak asasi manusia itu demikian diantisipasi bahwa
masyarakat etnis terpecah akan mencapai perdamaian yang berkelanjutan meskipun civil
society (Belloni, 2001:163).
Selama sejarah pentingnya dan karakteristik civil society telah diperiksa dan diperdebatkan oleh para filsuf Barat banyak
dan ilmuwan sosial. Pentingnya masyarakat sipil dalam masyarakat di dunia
Barat namun belum dihasilkan jumlah yang sama dari penelitian (Edwards, 2004:10). Asia
adalah benua
terpadat di planet, dan perang sipil di Asia sebagian besar ditemukan di
Asia Tenggara (Möller, DeRouen, Bercovitch, Wallensteen,
2007:376). Dengan pengembangan Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang
kemungkinan konflik bersenjata antara bangsa-bangsa di
wilayah itu secara signifikan berkurang (Rüland, 2005:546). Kemajuan serupa belum
tercapai tentang intra-negara resolusi konflik (Vatikiotis, 2006:29), seperti perang sipil
di Asia Tenggara cenderung berkepanjangan dan bermunculan (Möller et al, 2007:376). Misalnya, munculnya kekhawatiran dan intensifikasi
konflik internal di Indonesia. Di negara tetangga seperti Malaysia intra-konflik belum
pernah meletus. Malaysia bukannya telah berhasil menghindari berkepanjangan
namun
malah muncul kembali konflik kekerasan
etnis (Reynal-Querol, 2002:29-30).
Berangkat
dari sebuah sejarah. Sejarah bangsa Indonesia telah banyak melukiskan berbagai
kenyataan dan pengalaman yang bisa menghadirkan sebuah kedewasaan bangsa. Sejak
gerakan reformasi digulirkan, wacana tentang perubahan bangsa mulai
dikampanyekan. Satu hal yang menjadi wacana publik adalah civil society. Pemikiran ke arah civil society semakin gencar digelar dan dapat disimpulkan bahwa
ini lahir dari semacam frustasi sosial akibat tekanan kebijakan pemerintah yang
kurang berpihak dengan rakyat.
Terlepas
dari persoalan ini kita mungkin bisa menyimak, mengingat, bahkan mengalami
sendiri sebagai rakyat apa yang terjadi saat ini. Mungkin pemerintah benar
dengan Undamg-undang Otonomi Daerah, dimana setiap daerah diberikan peran
tendensial yang memungkinkan adanya kekuatan rakyat untuk berperan sendiri
dalam mensejahterakan hidupnya. Namun kenyatan berbicara lain. Pilkada di
daerah rusuh, korupsi di daerah, pencabutan hak sebagai gubernur, pemecatan
terhadap anggota DPRD tanpa mengacu pada konstitusi, pemberontakan laten
terhadap kelompok tertentu dan lain sebagainya telah menjadi berita di hampir
semua channell televisi dan mass
media lainnya.
Wacana
diatas mungkin bisa memberikan satu gambaran tentang bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Saat ini ketika demokrasi diagungkan, kebebasan sebagai rakyat
mulai dimanfaatkan. Kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat
akhirnya menjadi sebuah pergerakan yang menunjukkan identitas sebagai “rakyat”.
Banyak kelompok yang terbentuk, entah itu kelompok etnik maupun kelompok massa
lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok itu berada dalam sebuah
kendali, cita-cita, dimana tatanan nilai yang diperjuangkan berdasarkan budaya
sendiri bahkan akhirnya membentuk sebuah kekuatan frontal yang mengagungkan
kelompoknya sendiri.
Kita
boleh percaya dan boleh tidak akan adanya kemerosotan moral humanistik yang
kini menampilkan dirinya. Tragedi
Ambon, Poso, Aceh terjadi berdasarkan hal-hal tragis bisa saja terjadi kembali
tetapi peristiwa-peristiwa tersebut terlalu cepat berlalu dan terlupakan. Namun
perlu disadari bahwa kita ditegur untuk terpaksa bertanya tentang motor
penggerak kemanusiaan kita. Disini juga realitas jati diri sebagai bangsa yang
merdeka dan demokratis dipertanyakan.
Bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang besar terkadang bisa menghancurkan kesatuan
bangsa ini. Keragaman budaya yang telah dipersatukan dalam kompleksitas
kebudayaan nasional bukan tidak mungkin telah menjadi bagian yang sulit bahkan
menjadi tantangan dalam pembentukan civil
society. Etnosentrisme, primordialisme, rasisme bahkan menjadikan segenap
rakyat Indonesia berpola pikir sempit dan tidak mau peduli dengan bangsanya
sendiri.
Perwujudan
sebagai satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa memang sejak tahun 1928 telah
dikumandangkan. Bahkan sebelum itu, ketika era kebangkitan bangsa bergulir,
hakikat sebagai satu bangsa menjadi landasan perjuangan para pahlawan
intelektual masa itu. Memang hal ini bukanlah semudah membalikkan telapak
tangan. Banyak sengketa atau konflik dalam kenyataan sehari-hari yang terjadi
didasarkan oleh adanya prasangka budaya dan keagungan primordialisme yang membentuk
sebuah aliran etnosentris yang negatif (sebuah aliran yang non-univesality).
Mengkaji
akan banyaknya keragaman suku bangsa dan budaya Indonesia maka dihadirkan
sebuah wacana sebagai pemecahan masalah yang menjadi tolok ukur dalam
pemberdayaan civil socety. Bukanlah
hal yang mustahil pemberdayaan civil
society dibangun dari adanya kesatuan konsep budaya, yang menunjukkan bahwa
ini bukan ras tertentu atau etnis tertentu tetapi segenap bangsa Indonesia yang
menghadirkan sebuah label sebagai satu etnis bangsa atau satu ras atau satu
suku yakni Indonesia. Konsep ini bukanlah sebuah konsep baru tetapi hanya
merupakan iktisar dari wacana tentang kebudayaan nasional, kebudayaan yang
merupakan rangkuman dari kebudayaan daerah dalam rangka persatuan dan kesatuan
bangsa yang dilandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
Keragaman
budaya Indonesia dimanifestasikan dalam keragaman pola pikir dan perilaku
masyarakat. Masing-masing manusia Indonesia memang berbeda. Namun perbedaan itu
bisa disatukan dalam sebuah konteks rasa, pola pikir, dan perilaku sebagai satu
kesatuan. Demokrasi yang berkembang di Indonesia memberikan andil untuk
perumusan kesamaan persepsi sebagai bangsa. Kajian demokratisasi yang bertolok
ukur dari pemberdayaan masyarakat yang beradab memang berjalan sesuai dengan frame yang ada. Namun terkadang para
pelaku demokrasi termasuk rakyat sendiri melupakan sebuah identitas bangsa
bahwa bangsa Indonesia ini terdiri dari bermacam-macam suku bangsa.
Rakyat
Indonesia masih sulit melepaskan tradisi kesukuan di atas pamor primordialisme
dan etnosentrisme yang sempit. Logikanya ketika tradisi itu diagungkan maka
keangkuhan identitas suatu suku menjadi awal malapetaka sengketa nasional entah
itu secara laten maupun terbuka.
Pembentukan
civil society dimanifestasikan dalam
sebuah aktivitas dan partisipasi masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Disini masyarakat dapat dikatakan beradab. Namun terkadang keadaan ini malah
menghancurkan masyarakat itu sendiri. Generalisasi ini bukannya tanpa fakta. Sterotype dan prasangka masing-masing
etnik atau suku atau ras bisa menciptakan chaos.
Kenyataan
yang dipaparkan di atas memang bukanlah sesuatu yang baru. Tetapi bagi penulis
ini adalah sebuah permasalahan yang faktual sepanjang masa sebelum bangsa ini
merasa, berpikir, dan berperilaku sebagai satu bangsa. Memang ini sangat sulit
ketika pemberdayaan civil society
dibentengi oleh sebuah tradisi kesukuan antar satu dengan yang lainnya. Akan
tetapi itu semua bukanlah sebuah ‘sad
ending’. Pergerakan demokrasi yang dilabeli oleh pemberdayaan civil society masih berada dalam sebuah
usaha ke arah pemberdayaan dan pertumbuhan. Dengan dilatarbelakangi oleh
permasalahan diatas, maka penulis mencoba membuat makalah dengan tema “Civil
Society, Etnisitas dan Negara”, yakni mengenai pemberdayaan civil society yang dipertemukan oleh
kesatuan bangsa/negara dalam kerangka kebudayaan yang beragam ini.
Etnosentrisme dan rasisme yang menjadi tantangan dalam sebuah pemberdayaan civil society bisa dihindari. Konsep
etnosentrisme dan rasisme bukanlah sesuatu yang negatif, mengandaikan
bangsa/negara ini memahami benar apa itu sebuah kesatuan bangsa/negara. Dalam
hal ini kesatuan pandangan budaya sebagai satu bangsa/negara, satu tanah air,
satu bahasa, dalam wacana etnisitas nasional.
Ini
bukanlah sesuatu yang mustahil yang menghadirkan keberadaan konsep sebagai
sebuah bangsa di antara beribu bangsa lain yang ada di muka bumi ini.
Pemberdayaan civil society dalam
kesadaran etnis sebagai satu bangsa akan meningkatkan daya juang bangsa ini.
Wacana etnisitas yang terlepas dari etnosentrisme sempit memberikan prospek dan
arah pada pemberdayaan peradaban manusia Indonesia dalam meningkatkan peran
serta untuk berkompetisi secara sehat menanggapi perkembangan global dengan
negara lain.adapun makalah ini akan membandingkan bagaimana perkembangan civil society, etnisitas dan negara
antara Indonesia dengan Malaysia, yang dilandasasi oleh pemikiran, bahwa
makalah ini dapat menjelaskan
peran civil
society dalam kaitannya
dengan konflik etnis di Indonesia dan Malaysia.
1.2 Kajian Pustaka
A. Civil
Society
A.1 Terminologi Civil Society
Kata civil
society sebenarnya berasal dari konsep Yunani yakni koinia politika yang
menjelaskan sebuah komunitas politik dimana warga citizen terlibat langsung dengan pemerintahan polis. Orang yang
pertama kali mencetuskan istilah civil
society ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani Kuno. Civil society menurut Cicero ialah suatu
komunitas politik yang beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota
yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity
(budaya kota), maka kota dipahami bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk,
melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan (Hikam, 1999). Terlepas dari
akar kata di atas, Adam Ferguson memahami civil
society sebagai sebuah visi etis dalam sebuah solidaritas sosial. Demikian
juga Hegel mendefenisikan civil society
sebagai sebuah lembaga sosial yang berada di antara keluarga dan negara, yang
dipergunakan oleh warga sebagai ruang untuk mencapai pemuasaan kepentingan
individu dan kelompok. Alexis de Tocqueville menyatakan civil society dapat dimengerti sebagai wilayah kehidupan sosial
yang terorganisasi dalam ciri-ciri kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan,
dan kemandirian berhadapan dengan negara. Tocqueville juga menekankan di sini
adanya dimensi kultural yang membuat civil
society dapat berperan sebagai kekuatan penyeimbang, yakni semacam
keterikatan dan kepatuhan terhadap norma-norma dan tradisi yang ditanamkan
dalam masyarakat tertentu (Hikam, 1999).
Hefner
(1998) menyatakan bahwa civil society
merupakan masyarakat modern yang bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam
berinteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen. Dalam keadaan seperti
ini, masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran
diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan
berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan, dan perbedaan.
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa civil society merupakan suatu
kehidupan sosial yang menjamin kesinambungan interaksi dan solidaritas sosial
yang dilandasi oleh keberadaan kultur atau tradisi atau norma dalam masyarakat
tersebut. Disini pluralitas dalam suatu masyarakat memberikan satu kebebasan
dalam partisipasinya terhadap suatu kondisi global untuk menjamin sebuah
peradaban.
Konseptualisasi masyarakat sipil telah
terlibat sejak filsuf klasik jaman dahulu, namun konsep masyarakat
sipil hanya baru-baru mencapai
internasional pusat panggung. Sebagaimana disebutkan di atas
beberapa perkembangan menjelang akhir perang dingin dan berbagai
aliran di era pasca perang
Dingin berikut luas kembali kepentingan bagi masyarakat sipil. Meskipun ambiguitas yang masyarakat sipil
ditegakkan di kalangan sangat
berbeda dan keadaan politik
di spektrum (Kaldor, 2003:2). Hari ini masyarakat sipil umumnya dijelaskan sebagai lingkup kegiatan kolektif sukarela
mencakup kepentingan bersama, tujuan,
dan
nilai-nilai peradaban (Pouligny, 2005:497).
Lingkup ini selanjutnya dibedakan dari lembaga negara, pasar,
dan keluarga. Batas-batas yang kabur, kompleks dan dinegosiasikan
dalam realitas masyarakat sipil mengelilingi suatu cakupan luas ruang, aktor dan bentuk kelembagaan (Pouligny, 2005:497). Setelah
semua, orang dapat sekaligus menjadi warga negara, konsumen, pekerja dan
pemilih (Edwards,
2004:24). Meskipun masyarakat sipil adalah sebuah fenomena multifaset
organisasi
"CIVICUS" (Dunia Aliansi untuk Partisipasi Masyarakat) telah berhasil melakukan jalan melanggar penelitian masyarakat
sipil dalam lebih dari dua puluh negara (Keane, 2003:4).
Menurut organisasi ini masyarakat
sipil dapat didefinisikan sebagai
"lingkup lembaga, organisasi dan individu terletak di antara
keluarga, negara
dan pasar, di mana orang mengasosiasikan secara sukarela untuk memajukan umum kepentingan" (Holloway, 2001:6). Selain itu juga perlu untuk sekali lagi ulangi bahwa baik masyarakat sipil maupun sektor masyarakat yang berbeda terisolasi fenomena (lihat Gambar 1). Mereka agak saling terkait dalam upaya mereka untuk mempromosikan kesopanan (Holloway, 2001:7).
dan pasar, di mana orang mengasosiasikan secara sukarela untuk memajukan umum kepentingan" (Holloway, 2001:6). Selain itu juga perlu untuk sekali lagi ulangi bahwa baik masyarakat sipil maupun sektor masyarakat yang berbeda terisolasi fenomena (lihat Gambar 1). Mereka agak saling terkait dalam upaya mereka untuk mempromosikan kesopanan (Holloway, 2001:7).
Gambar 1. Civil society as an overlapping
and interconnected sphere within the sectors of society. (Source:
Holloway, 2001:7)
Persepsi masyarakat sipil multifaset selanjutnya berasal dari
konseptual variasi dari masyarakat sipil dari waktu ke
waktu (Kaldor, 2003:16). Sejak klasik filsuf zaman kuno telah disebut masyarakat sipil dalam
wacana seputar sifat dari masyarakat yang baik, hak dan kewajiban warga negara,
praktek
politik dan pemerintah, dan bagaimana individu otonomi harus seimbang
dengan kebutuhan kolektif (Edwards, 2004:6). Filsuf Hegel berpendapat bahwa G.W.F masyarakat sipil bukanlah pra-diberikan "alami" ekspresi kebebasan, melainkan historis dibangun lingkup kehidupan etis yang mencakup ekonomi, sosial kelas, korporasi dan institusi (Keane, 1998:50).
politik dan pemerintah, dan bagaimana individu otonomi harus seimbang
dengan kebutuhan kolektif (Edwards, 2004:6). Filsuf Hegel berpendapat bahwa G.W.F masyarakat sipil bukanlah pra-diberikan "alami" ekspresi kebebasan, melainkan historis dibangun lingkup kehidupan etis yang mencakup ekonomi, sosial kelas, korporasi dan institusi (Keane, 1998:50).
Menurut Hegel sipil masyarakat tidak dapat memberikan stabilitas dan harmoni
sosial otonom, sebagai banyak interaksi dan pertarungan dalam masyarakat sipil
bisa juga menyebabkan konflik kekerasan. Hegel dengan demikian menggarisbawahi
bahwa negara modern adalah diperlukan pengatur masyarakat sipil (Keane, 1998:50). Hegel
memisahkan negara dan keluarga dari masyarakat sipil, tapi dia tidak membedakan ekonomi
pasar dari sipil masyarakat. Filsuf Antonio Gramsci dalam dibuat kontras perbedaan ini, dan
lebih lanjut berpendapat bahwa masyarakat sipil adalah bola antara negara dan kelas-terstruktur ekonomi (Keane, 1998:15). Menurut Gramsci masyarakat sipil dijunjung tinggi oleh budaya lembaga, seperti asosiasi sukarela, sekolah dan universitas, media dan gereja-gereja. Melalui lembaga-lembaga masyarakat sipil, Gramsci berpendapat, negara mempertahankan posisi hegemonik dengan sosialisasi ideologi dan nilai-nilai di kalangan kelas pekerja, dan dengan demikian mendapatkan persetujuan populer (Kaldor, 2003:21). Pada saat yang sama Gramsci ditegakkan bahwa masyarakat sipil tidak selalu merupakan lingkup kontrol negara hegemonik, tetapi juga sebagai sebuah situs yang kuat potensi untuk memberontak terhadap koersif negara. Pemberontakan ini dapat dilakukan oleh aktivisme melalui budaya lembaga dalam masyarakat sipil (Kaldor, 2003:21; Edwards, 2004:8). Hegel dan dengan demikian digarisbawahi Gramsci keuntungan serta risiko dengan masyarakat sipil.
lebih lanjut berpendapat bahwa masyarakat sipil adalah bola antara negara dan kelas-terstruktur ekonomi (Keane, 1998:15). Menurut Gramsci masyarakat sipil dijunjung tinggi oleh budaya lembaga, seperti asosiasi sukarela, sekolah dan universitas, media dan gereja-gereja. Melalui lembaga-lembaga masyarakat sipil, Gramsci berpendapat, negara mempertahankan posisi hegemonik dengan sosialisasi ideologi dan nilai-nilai di kalangan kelas pekerja, dan dengan demikian mendapatkan persetujuan populer (Kaldor, 2003:21). Pada saat yang sama Gramsci ditegakkan bahwa masyarakat sipil tidak selalu merupakan lingkup kontrol negara hegemonik, tetapi juga sebagai sebuah situs yang kuat potensi untuk memberontak terhadap koersif negara. Pemberontakan ini dapat dilakukan oleh aktivisme melalui budaya lembaga dalam masyarakat sipil (Kaldor, 2003:21; Edwards, 2004:8). Hegel dan dengan demikian digarisbawahi Gramsci keuntungan serta risiko dengan masyarakat sipil.
Dalam era pasca perang dingin konsep yang lebih kontemporer masyarakat sipil terutama peningkatan aspek menguntungkan masyarakat sipil.
Sebagian besar konsep-konsep ini mengacu pada
karya sejarawan Alexis de Tocqueville. Sebagai Edwards
(2004:10) menulis: "Ini adalah Alexis de Tocqueville hantu yang berkeliaran di
lorong-lorong Dunia Bank ...". Menurut de Tocqueville dan kebebasan
individu masyarakat yang baik hanya bisa dilindungi melalui apa yang disebut
"expedients demokratis" (Kaldor,
2003:19). Ini termasuk pemerintahan sendiri-lokal,
pemisahan gereja dan negara, pers bebas, pemilu tidak langsung, peradilan yang
independen dan disebut asosiasional hidup. De Tocqueville disebut kehidupan
asosiasional sebagai jaringan di sipil kehidupan yang orang bisa bergabung untuk
memberikan layanan yang berbeda dan kegiatan budaya.
Kegiatan-kegiatan sipil akan mengurangi pengaruh lembaga-lembaga
sentralisasi dan memungkinkan cek pada kekuasaan negara, yang pada
gilirannya akan melindungi
pluralisme dan kesetaraan (Kaldor, 2003:19-20). Akun-akun filosofis yang disebutkan dalam berbagai cara
mengintegrasikan atau membedakan masyarakat sipil dalam kaitannya dengan struktur negara.
Peneliti Mary Kaldor
(2003) dan John Kean (2003) namun berpendapat bahwa
semakin pentingnya globalisasi harus dimasukkan dalam konseptualisasi saat
sipil masyarakat.
Otonomi individu, self-organisasi dan ruang swasta tidak
hanya menjadi nilai penting dan gol selama berakhirnya
komunisme di Eropa, namun di seluruh dunia negara-negara otoriter ditantang
(Kaldor, 2003:4). Sebagai global keterkaitan tumbuh selama era ini batas-batas masyarakat
sipil sehingga mulai mengikis (Kaldor, 2003:5). Sebagai contoh, jumlah LSM internasional
telah meningkat secara dramatis dan diperkirakan bahwa
organisasi ini menyalurkan lebih modal daripada PBB (Keane, 2003:5).
Gagasan peradaban selanjutnya bervariasi
lintas budaya. Ini tidak hanya menggarisbawahi bahwa
masyarakat sipil global secara sosial dibangun, tetapi interaksi sosial, dimensi dan dampak
masyarakat sipil jauh melampaui konseptualisasi negara Barat sentris masyarakat sipil
(Keane, 2003:12;19-21).
A.2 Esensi dan Karakteristik Civil Society
Munculnya
eksperimen demokrasi melalui pemberdayaan civil
society setidaknya perlu dipahami esensi dari makna civil society itu sendiri. Hikam (1999) memaparkan beberapa esensi
makna civil society, sebagai berikut:
1.
Adanyai ndividu dan kelompok mandiri
dalam masyarakat. Kemandirian itu diukur terutama mereka berhadapan dengan
negara.
2.
Adanya ruang publik bebas sebagai tempat
wahana dan kiprah politik bagi warga negara.
3.
Kemampuan masyarakat dalam mengimbangi
kekuatan negara, kendati tidak melenyapkannya secara total.
Esensi
ini kemudian dilengkapi oleh Bahmueller (dalam Suharto, 2002) yang
mengemukakan, ada beberapa karakteristik civil
society, di antaranya:
1.
Terintegrasinya individu-individu dan
kelompok-kelompok ekslusif ke dalam masyarakat melalui kontrak sosial dan
aliansi sosial.
2.
Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan
yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan
alternatif.
3.
Dilengkapinya program-program
pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang
berbasis masyarakat.
4.
Terjembataninya kepentingan-kepentingan
individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu
memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5.
Tumbuh kembangnya kreatifitas yang pada
mulanya terhambat oleh rezim-rezim totaliter.
6.
Meluasnya kesetiaan dan kepercayaan,
sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak
mementingkan diri sendiri.
7.
Adanya pembebasan masyarakat melalui
kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
A.3 Tantangan Civil society
DuBois
dan Milley (dalam Suharto, 2002) mengemukakan ada beberapa tantangan dalam
civil society. Tantangan-tantangan tersebut hendaknya menjadi sebuah
kewaspadaan dalam terbentuknya civil
society yang berkesinambungan. Tantangan-tantangan tersebut dapat
dideskripsikan seperti di bawah ini.
1)
Sentralisme versus Lokalisme. Masyarakat
pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan
desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam paham
lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip
nasionalisme dan keadilan sosial.
2)
Pluralisme versus Rasisme. Pluralisme
menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan
penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang
memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan
permusuhan dibandingkan dengan upaya untuk mengeliminasi kharakter etnis,
pluralisme budaya, dan berjuang untuk memelihara integritas budaya. Sebaliknya,
rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras
tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu
klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari
ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual,
organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras
berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi
ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya
menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat
dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan
larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3)
Elitisme versus komunalisme. Elitisme
merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial
berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang
yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan
potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai
kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat. Sementara itu komunalisme
adalah perasaan superioritas yang berlebihan terhadap kelompoknya sendiri dan
memandang kelompok lain sebagai lawan yang harus diwaspadai dan kalau perlu
dibinasakan.
B. Etnisitas:
Sebuah Konsep
B.1 Etnosentrisme, Primordialisme dalam Wacana
Etnisitas
Webber
(dalam Mitakda, 2000) membedakan antara etnik grup dari ethnic membership. Grup etnik adalah kelompok yang terikat oleh
kesamaan turunan, sosok fisik, adat istiadat, ataupun suatu memori atas
penjajahan dan migrasi. Pertalian darah bagi Webber tidak terlalu mendasar
untuk merekatkan tali ikat kelompok etnik. Tanpa hubungan darah kelompok etnik
bisa terbentuk. Juga tindakan-tindakan sosial yang nyata tidak sekaligus
menciptakan dan menciri khaskan grup etnik ini. Hal ini berbeda dengan corak
etnik lain yakni keanggotaan etnik yang hanya memberikan peluang untuk
mengorbankan kelompok saja khususnya kelompok partai. Ciri utamanya adalah
komunitas politik. Webber tidak menggubris soal cara membentuk dan bentuk
komunitas politik ini. Nyata bahwa kesadaran atau kesukuan tidak dibentuk untuk
pertama-tama oleh pertalian leluhur yang sama, tetapi justru oleh pengalaman-pengalaman
politik. Hal ini kini tampak telah menjadi sumber keyakinan yang menetap dalam
suku pada umumnya.
Webber
menggarisbawahi kombinasi corak subyektif dan obyektif dari etnisitas. Webber
memang berayun di antara dua kutub yang membentuk suatu kelompok etnik. Baginya
naluri pemersatu kelompok etnik itu diayun oleh faktor-faktor politis dan
peristiwa masa lampau tetapi sekaligus juga oleh kesatuan budaya dengan
perbedaan-perbedaan biologis yang sekaligus memberikan batas afiliasi etnik.
Dalam konteks ini bahasa menjadi penting. Bahasa bukan saja dipandang sebagai
satu perekat kuat dari kelompok etnik dan keanggotaan kelompok etnik. Bahasa
juga adalah pembawa dan pemelihara kepemilikan budaya yang khusus dari kelompok
yang menyebabkan sikap saling memahami menjadi mungkin dan mudah. Hilang dan
lemahnya salah satu faktor akan mengancam daya kekuatan etnik bahkan
menyebabkan satu etnik hilang dari muka bumi. Tentang daya kekuatan etnik
ditentukan oleh beberapa faktor. Webber menulis:
…mengambil bagian dalam memori
politik, atau bahkan lebih penting lagi pada masa-masa awal dimana ada tautan
erat dengan kultur lama ataupun juga pemberdayaan pertalian keluarga dan
kelompok lain baik dalam komunitas yang baru maupun tua atau hubungan-hubungan
lain yang masih bertahan (Mitakda, 2000).
Salah
satu unsur pengendapan dari analisis Webber tentang asal-usul kelompok etnik
adalah corak pasifitas individu dibentuk oleh suatu daya di luar dirinya
sendiri. Pandangan ini mengingatkan kita akan concience collective-nya Emille Durkheim. Tali pertautan yang
mengikat kelompok etnik ini disebut oleh Clifford Gerth dengan istilah
keterlekatan primordial. Dengan ikatan Primordial menunjukkan ada suatu ikatan
yang diberi tanpa dikehendaki sang individu. Individu adalah bagian darinya.
Individu justru lahir dalam komunitas yang partikular dimana dia berbicara dari
dialek yang bersangkutan dan mengikuti adat istiadat setempat (Mitakda, 2000).
Apa
yang masyarakat rasa sebagai pantas dan bernilai dan tidak bisa ditelusuri
kembali ke keputusan individu atau preferensi. Tidak seorangpun dapat
memutuskan secara otonom sesuatu yang bernilai atau tidak. Penghargaan kita
tidak dapat diciptakan atau dibuat, tetapi tergantung pada sesuatu yang
melampaui kemampuan individu. Ikatan primordial adalah hadiah kebudayaan bagi
seorang individu yang sifatnya tidak terlukiskan. Di dalam lingkungan ini dia
merasa lebih aman pun dalam semua ketidak pastian perubahan yang terjadi di
sekitarnya. Ikatan ini lebih semata-mata tautan natural.
Masih
banyak konsepsi tentang etnisitas yang dibicarakan filsuf-filsuf dan antropolog
sosial tetapi di sini hanya mengacu pada beberapa pembatasan. Enam corak dalam
kelompok etnik (Mitakda, 2000) yakni:
1.
Satu nama diri yang umum untuk
mengidentifikasi dan mengungkapkan esensi dari komunitas atau grup tersebut.
2.
Suatu fakta tentang permoyangan, leluhur
yang lebih dari sekedar fakta yakni suatu mitos yang mengandung ide tentang
asal-usul bersama.
3.
Ada unsur yang turut ambil bagian dalam
memori-memori masa lampau.
4.
Memiliki satu atau lebih unsur-unsur
budaya yang sama yang tidak selalu diklasifikasikan dalam agama, adat istiadat,
dan bahasa.
5.
Ada suatu tautan dengan tanah air.
6.
Ada suatu rasa solidaritas pada
kelompoknya.
Keseluruhan
etnosentrisme dan primordialisme ini mengacu kepada satu konsep yakni
etnisitas. Etnisitas dibedakan dari ras, yang menekankan perbedaan biologis
yang dicirikan oleh warna kulit. Etnisitas mengartikan suatu cita rasa dalam
mana seorang termasuk dalam suatu komunitas khusus yang anggota-anggotanya
memiliki tradisi yang sama. Tradisi mencakup semua makna simbolik seperti seni,
agama, bahasa, dan komponen budaya lainnya. Harus ditekankan di sini bahwa
fenomena etnisitas ini tidak identik dengan ras dan etnosentrisme. Etnisitas
lebih mengacu kepada sebuah kekuatan dalam integritas, suatu keadaan yang
menyatukan beragam komponen etnik dalam satu persepsi.
C.
Etnis dan
Konflik
Pada akhir 1990-an ada 5000 kelompok etnis yang hidup di dunia independen negara
(Kymlicka, 1998:9). Toleransi antara kelompok etnis
dapat menantang atas hal-hal seperti otonomi, hak bahasa,
pendidikan, nasional simbol dan representasi politik (Kymlicka, 1998:9),
tetapi kekerasan etnis konflik jarang terjadi sebagai kelompok yang paling etnis
berjuang untuk hak-hak dan kemajuan tanpa kekerasan berarti (Joireman, 2003:1). Kekerasan etnis
konflik seperti di Rwanda, bekas Yugoslavia dan Irlandia Utara meskipun
menggarisbawahi pentingnya konseptualisasi etnis.
Banyak faktor-faktor subyektif berkontribusi terhadap pembentukan identitas
etnis. Budaya,
kenangan dan rasa solidaritas semuanya memainkan peran dalam etnis
konstruksi, dan faktor-faktor ini bervariasi menentukan
kombinasi variabel identitas yang diprioritaskan dan disosialisasikan (Joireman,
2003:10). Individu dapat bentuk etnis mereka berdasarkan identitas yang berbeda
atau beberapa. Konstruksi etnis dengan demikian dapat didasarkan pada berbagai
identitas seperti agama, bahasa, ras, milik daerah, dan adat istiadat. Etnis tidak
fenomena konstan. Etnis bisa menghilang dari waktu ke waktu dan berasimilasi ke dalam
kelompok yang lebih besar, namun
etnis juga dapat muncul kembali, seperti revitalisasi identitas Maya di
Amerika Tengah (Joireman, 2003:57-58). Kelompok etnis tambahan dapat dibangun karena kategorisasi kelompok lain. Hal ini dapat terjadi ketika kelompok-kelompok yang dipersalahkan karena penyakit-penyakit sosial atau dipilih sebagai "orang lain" dalam rangka untuk mengotorisasi atau mengaktifkan ketidaksetaraan sosial ekonomi, yang secara teratur terjadi selama kolonialisme (Joireman, 2003:64). Etnisitas bukan fenomena yang berbeda, juga tidak secara intrinsik penyebab perang. Kebanyakan konflik etnis dilakukan melalui lembaga-lembaga politik dan saluran. Kekerasan namun dapat menjadi faktor ketika perjuangan ataupersaingan antara kelompok etnis posisinya di luar arena politik (Joireman, 2003:146).
etnis juga dapat muncul kembali, seperti revitalisasi identitas Maya di
Amerika Tengah (Joireman, 2003:57-58). Kelompok etnis tambahan dapat dibangun karena kategorisasi kelompok lain. Hal ini dapat terjadi ketika kelompok-kelompok yang dipersalahkan karena penyakit-penyakit sosial atau dipilih sebagai "orang lain" dalam rangka untuk mengotorisasi atau mengaktifkan ketidaksetaraan sosial ekonomi, yang secara teratur terjadi selama kolonialisme (Joireman, 2003:64). Etnisitas bukan fenomena yang berbeda, juga tidak secara intrinsik penyebab perang. Kebanyakan konflik etnis dilakukan melalui lembaga-lembaga politik dan saluran. Kekerasan namun dapat menjadi faktor ketika perjuangan ataupersaingan antara kelompok etnis posisinya di luar arena politik (Joireman, 2003:146).
Menghubungkan Civil
Society dan Konflik Etnis Masyarakat sipil secara luas ditegakkan sebagai ruang
multidimensi kesopanan dan antikekerasan, tetapi masyarakat sipil juga dapat berisi kantong
ketidaksopanan (Keane, 2003:12-13). Penelitian oleh ilmuwan politik Ashutosh Varshney (2001:362)
dalam masyarakat multikultural di India merupakan upaya pertama untuk
menetapkan penelitian grounded
hubungan antara masyarakat sipil dan konflik etnis.
Varshney (2001:366) membedakan antara konflik etnis dan etnis
kekerasan. Seperti yang telah diperkenalkan di atas
konflik etnis ada di semua masyarakat majemuk karena
untuk pertarungan lebih dari mis hak politik, kebutuhan
materi atau ruang. Etnis konflik yang mengambil bentuk dilembagakan,
misalnya parlemen representasi atau kekerasan
aktivisme, karena itu dibedakan dari kekerasan etnis. Ketika konflik
etnis
bergerak di luar bidang kekerasan institusional dapat meledak dalam berbagai bentuk dan intensitas, misalnya kerusuhan ras, intra-state konflik atau perang saudara. Dari perspektif ini, Varshney (2001:365) menerapkan perdamaian etnis panjang. Perdamaian etnis dengan demikian tidak adanya konflik, tetapi tidak adanya kekerasan etnis.
bergerak di luar bidang kekerasan institusional dapat meledak dalam berbagai bentuk dan intensitas, misalnya kerusuhan ras, intra-state konflik atau perang saudara. Dari perspektif ini, Varshney (2001:365) menerapkan perdamaian etnis panjang. Perdamaian etnis dengan demikian tidak adanya konflik, tetapi tidak adanya kekerasan etnis.
Untuk memperjelas hubungan antara masyarakat sipil dan konflik etnis
Varshney (20001:363) membedakan antara dua bentuk kebalikan dari masyarakat sipil:
antaretnis dan intra-etnis bentuk keterlibatan asosiasional. Antar-etnis keterlibatan dianggap memupuk perdamaian dan toleransi.
Dalam
antar-etnis masyarakat kelompok etnis yang berbeda hidup berdampingan dan berinteraksi secara damai.
antar-etnis masyarakat kelompok etnis yang berbeda hidup berdampingan dan berinteraksi secara damai.
Dalam lingkup toleransi antar-etnis masyarakat diikat bersama melalui
kegiatan sehari-hari dan interaksi, dan dengan demikian kemungkinan kekerasan etnis adalah dikurangi. Intra-etnis bentuk asosiasi Namun kurang berhasil dalam memecahkan bawah stereotip negatif antara kelompok etnis. Dalam komunitas orang-orang ini terutama berinteraksi dalam kelompok etnis mereka sendiri. Hal ini cenderung memperkuat negatifstereotip dan meningkatkan risiko permusuhan antara kelompok-kelompok etnis (Varshney,
2001:375). Probabilitas perdamaian etnis sehingga meningkat jika masyarakat sipil adalah disusun oleh interaksi antar-etnis dan pertunangan.
kegiatan sehari-hari dan interaksi, dan dengan demikian kemungkinan kekerasan etnis adalah dikurangi. Intra-etnis bentuk asosiasi Namun kurang berhasil dalam memecahkan bawah stereotip negatif antara kelompok etnis. Dalam komunitas orang-orang ini terutama berinteraksi dalam kelompok etnis mereka sendiri. Hal ini cenderung memperkuat negatifstereotip dan meningkatkan risiko permusuhan antara kelompok-kelompok etnis (Varshney,
2001:375). Probabilitas perdamaian etnis sehingga meningkat jika masyarakat sipil adalah disusun oleh interaksi antar-etnis dan pertunangan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Etnis
dan Konflik
1) Etnis
dan
Konflik di Indonesia
Tampaknya yang paling
terkena dampaknya dengan adanya program pembauran yang dicanangkan pemerintah
Orde Baru di masa lampau adalah kelompok etnik Tionghoa. Salah satu akibat
cukup fatal yang terjadi pada program pembauran yang tidak dapat berjalan mulus
karena sarat dengan muatan politis itu adalah peristiwa sekitar bulan Mei 1998
yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda khususnya bagi kelompok etnik
Tionghoa.
Siapakah
sebenarnya orang Tionghoa di Indonesia itu? Pertanyaan sederhana ini tidak
mungkin bisa dijawab secara gegabah. Yang jelas bisa dipastikan bahwa mereka ini sudah sangat berbeda dengan orang
Tionghoa yang ada di daratan Cina. Jauh sebelum abad XX, orang Tionghoa yang
datang di bumi Nusantara telah mengasimilasikan diri dengan penduduk asli,
bahkan pernah terjadi pada suatu periode mereka lebur dalam kehidupan penduduk
asli, sehingga ciri-ciri mereka hilang
sama sekali dan mereka larut menyatu
dengan kebudayaan penduduk asli (Coppel,
1994:37).
Kala itu mereka yang datang
kebanyakan laki-laki, yang kemudian menikah dengan wanita pribumi dari kalangan
muslim. Keturunan mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai Cina/Tionghoa
peranakan (Suryadinata, 1994:20), yang
semestinya dibedakan dari Cina Totok. Ciri-ciri
kaum Peranakan ini dapat dengan mudah dibedakan dari Cina Totok dari bahasa yang mereka
gunakan. Kaum Peranakan umumnya mengunakan
bahasa daerah (Jawa, Sunda, Madura sebagainya) sebagai bahasa utama, sedangkan
kaum Totok menggunakan bahasa Cina menurut sukunya, seperti Hokian,
Tio Ciu, Hakka, Kanton, Hinghua, Hoklo, Hainan.
Masalah Tionghoa pada hakekatnya
bukanlah monopoli negara Indonesia. Akan tetapi dibandingkan dengan kejadian di
negeri-negeri Asia Tenggara khususnya
dan dunia umumnya, apa yang dialami orang-orang Tionghoa di Indonesia tergolong
yang paling luar biasa. Berbagai tindak diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa/Cina telah dilakukan oleh pemerintah sejak masa
kolonial hingga sekarang.
Di masa kolonial ada Undang-undang Agraria (1870)
yang melarang orang-orang Asing
(termasuk Cina) bergerak di bidang pertanian. Puncak tragedi orang Tionghoa di Indonesia terjadi dengan
terjadinya Pembantaian orang Cina oleh
Kompeni VOC tahun 1740 di Batavia, yang kemudian meluas menjadi Geger Pacinan atau Perang Cina di Jawa.
Sementara itu, perubahan situasi di Cina Daratan terbukti juga berpengaruh
terhadap sikap dan orientasi orang Cina di Indonesia. Kebangkitan Nasional di
Daratan Cina pada awal Abad XX, telah
mendorong munculnya perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada tanggal
17 Maret 1900, disusul berdirinya sekolah-sekolah dasar Tionghoa dengan sistem
modern, dengan bahasa pengantar bahasa Mandarin. Lembaga-lembaga
ini ternyata begitu efektif untuk “Men-Cinakan kembali” orang-orang yang
disebut Cina Peranakan (Tan Swee Ling, 2000:3).
Pada sisi lain
pengisolasian pemukiman orang Tionghoa oleh pihak Kolonial, sehingga terbentuk
kampung-kampung Cina atau Pecinan (China Town), ditambah stratifikasi sosial
versi kolonial yang membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yakni kelas satu
untuk orang Eropa, kelas dua untuk Orang-orang Timur Asing
(termasuk Tionghoa) dan pribumi sebagai klas terendah, barangkali juga menjadi
salah satu faktor penyebab munculnya
dis-integrasi dan konflik-konflik sosial di masa-masa kemudian.
Setelah
Indonesia merdeka, sikap diskriminatif
terhadap orang-orang Tionghoa nampaknya
masih terus berjalan, misalnya adanya pesetujuan antara Menlu RRC Chou En Lai dan Menlu RI
Soenaryo mengenai penghapusan dwi
kewarganegaraan, PP. No. 10 Tahun 1959 tentang
larangan orang Tionghoa asing
berusaha di luar ibukota kabupaten, juga kebijakan pemerintah di bidang
pendidikan yang “asimilasionis” yang tujuan utamanya adalah berkurangnya
penggunaan bahasa Cina. Contoh lain ialah, adanya peraturan KASAD bulan April
1958 yang menutup semua surat kabar yang
terbit dengan huruf selain Latin dan Arab, juga adanya larangan/pembatasan penggunaan bahasa Cina di tempat-tempat terbuka dan mendesak orang
WNI Keturunan tidak lagi menggunakan bahasa Cina. Di masa Orde Baru, bahkan
keluar Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 yang intinya bahwa agama dan adat
istiadat Tionghoa hanya diijinkan dipraktekkan di lingkungan keluarga. Perayaan
hari-hari besar keagamaan dan adat
kalaupun akan dilangsungkan secara terbuka, tidak boleh dilakukan secara
menyolok. Hal itu akan diatur oleh Departemen Agama dan Jaksa Agung. Baru
dengan keluarnya UU No. 5/1969 maka agama Budha dan Konghucu diakui memperoleh
status resmi, walaupun dalam prakteknya
berbagai pembatasan tetap diberlakukan.
Masalah yang berbau diskriminatif lain, misalnya adanya
larangan iklan dengan tulisan Mandarin,
film dengan bahasa Mandarin, peraturan
tentang perubahan nama (Desember 1966)
dan lain-lain.
Di awal
kemerdekaan, secara umum keberadaan orang Tionghoa dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, adalah kelompok
yang berorientasi ke Indonesia, dari
kelompok ini banyak tokoh yang begitu gigih
memperjuangkan terbentuknya nation and character building di Indonesia. Kedua, kelompok yang
berorientasi ke Tiongkok, diantara mereka ini adalah sekitar 40.000
orang Tionghoa yang di tahun 1949 menolak tawaran kewarganegaraan pemerintah RI dan memilih pulang ke negeri
leluhur. Ketiga, adalah kelompok Tionghoa yang berorientasi ke Barat (Greif, 1991:11).
Walaupun pada saat ini
barangkali sudah amat sulit untuk menemukan orang Tionghoa Indonesia yang masih
merasa bukan sebagai orang Indonesia, namun kenyataannya, keraguan etnik lain,
khususnya kaum pribumi terhadap
ke-nasionalan orang-orang Tionghoa belum juga hilang. Sebaliknya dikotomi pri dan non
pribumi telah menjadi komoditas yang sangat baik bagi isu-isu SARA di masa pemerintahan Orde Baru.
Walaupun banyak upaya telah
dilakukan, baik oleh tokoh-tokoh pribumi ataupun sebaliknya dari kalangan non pri untuk membuktikan
kesungguhan akan ke-Indonesia-annya, namun
nampaknya belum membuahkan hasil yang
diharapkan. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan kebijakan
pemerintah Orde Baru, yang dalam
prakteknya justeru mengetrapkan standar
ganda terhadap orang-orang Tionghoa. Di satu sisi khususnya
sektor ekonomi orang-orang Tionghoa diberi peluang, yang sebenarnya tidak lain
juga demi kepentingan penguasa, pada sisi lain secara politik dan kultural
mereka ditekan. Dampak kebijakan itu adalah adanya perbedaan sosial ekonomi
yang begitu menyolok antara pri dan non pri, yang akhirnya bermuara pada
munculnya kecemburuan sosial dan isu SARA dan berpuncak pada tragedi bulan Mei 1998.
Dengan demikian menjadi tanda
tanya besar bagi kita semua, bagaimana
sebenarnya keberadaan orang-orang Tionghoa di tengah-tengah masyarakat
Indonesia? Apakah peraturan yang diskriminatif dan standar ganda, yang berlaku sejak jaman kolonial hingga masa Orde Baru
masih tepat akan diberlakukan hingga
sekarang ataukah mungkin dihapuskan seluruhnya? Tentunya semua itu memerlukan wacana pemikiran yang
komprehensif. Sejalan dengan era keterbukaan di masa sekarang, barangkali
peraturan yang diskriminatif itu harus dihapuskan, namun yang penting memang
harus ada peraturan umum yang melindungi golongan yang terpinggirkan. Kenyataannya selama ini orang-orang Tionghoa selalu
menjadi korban kebijakan-kebijakan yang
keliru. Masalah inilah yang mendasari ide untuk mereposisi keberadaan etnik
Tionghoa di dalam proses integrasi nasional yang mungkin dapat dilakukan
melalui pendekatan multikulturalisme.
Begitu
pelik dan rumitnya persoalan etnik Tionghoa di Indonesia, sehingga tidak
mengherankan ketika pada tahun 1991 di Cornel University berlangsung simposium dengan tema “The Role of
the Indonesian Chinese in Shaping
Modern Indonesian Life”, muncul pernyataan:
“The
culture identity and the position of the Chinese population group within
Indonesian society is a contentian one. The Masalah Cina
(Chinese problem) issue has been hotly
discussed within Indonesia society itself and has inevitably resulted in such
crucial question as wether the Indonesian Chinese are intitled their own
culture identity or should instead seek integration or even assimilation into
Indonesian culture”.
Di era Indonesia Baru
sekarang, dimana pemerintah jelas-jelas sedang gigih mengupayakan agar Republik
ini menjadi negara yang menjunjung
tinggi supremasi hukum, berkeadilan, demokratis, peduli akan HAM dan
menyikapi perbedaan sebagai rakhmat Tuhan
Yang Maha Esa,
nampaknya kebijakan terhadap
etnik Tionghoa juga ditinjau kembali.
Terbitnya Keppres No. 6 tahun 2000 dan Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 2006
merupakan angin segar bagi orang
Tionghoa yang selama era Orde Baru secara fisik maupun psikis telah menderita,
karena dijauhkan dari segala anasir yang berhulu pada budaya leluhur mereka.
Adanya kebijakan itu diharapkan membuat Naga Nusantara itu bangkit dari tidur
panjangnya.
Dengan demikian era reformasi ini sesungguhnya lebih memberi
peluang bagi semua pihak, tidak terkecuali etnik Tionghoa, untuk membuktikan
diri sebagai pewaris sah Republik tercinta. Akan tetapi peluang baik ini tidak
mustahil bisa menjadi hambatan proses
integrasi, terutama jika kiprah mereka salah langkah sehingga tumbuh kesan bahwa
orang Tionghoa Indonesia justru semakin
eksklusif. Untuk itulah reposisi etnik Tionghoa di Era Indonesia Baru perlu
dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian, agar upaya mensinergikan keanekaragaman
potensi etnik dapat berjalan sesuai harapan.
Tahun 1960 Willmott telah menerbitkan hasil penelitiannya tahun
1954-1955 dengan judul “The Chinese of
Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia’’. Ada banyak yang
bisa dimanfaatkan dari hasil penelitian ini. Masalahnya ialah bahwa profil
masyarakat Tiuonghoa Semarang di tahun limapuluhan ini tentunya berbeda dengan
masyarakat Tionghoa Semarang di masa kini. Di samping itu masyarakat Tionghoa
Semarang tidak bisa dianggap merepresentasikan seluruh orang Tionghoa di Indonesia.
Mengingat kenyataan bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia begitu majemuk, maka
diperlukan upaya untuk memperoleh gambaran (profil) dari mereka.
Sejalan dengan pernyataan Willmott bahwa di wilayah Asia
Tenggara masyarakat Tionghoa terbentuk sejalan dengan atau berdasarkan bahasa
utama mereka, maka Oetomo dalam disertasinya berjudul “The Chinese of Pasuruan: Their Language and Identity” (1987)
menemukan adanya tiga tipe masyarakat Tionghoa Indonesia berdasarkan penggunaan
bahasa keakraban dan bahasa solidaritas sehari-hari mereka. Pertama, mereka yang menggunakan bahasa
daerah, antara lain masyarakat Cina di Jawa, Madura, Sumatera Barat, Bali dan
Ujung Pandang, kedua, mereka yang
menggunakan bahasa Melayu lokal, misalnya orang Tionghoa yang tinggal di
Jakarta, Menado, Kupang dan Sorong, dan ketiga,
mereka yang menggunakan bahasa Cina, misalnya Hakka dan Tio Ciu di Kalbar,
Hokian di Riau Kepulauan, Kreol dengan anasir dilaek Cina yang menonjol di
Bangka dan Belitung.
Mengingat besarnya fungsi bahasa sebagai penanda ciri identitas
atau kebanggaan komunitas dan pengaruh bahasa terhadap kebudayaan, pandangan
serta sikap hidup komunitas penuturnya, maka pemetaan etnik Tionghoa di
Indonesia perlu dilakukan dalam
hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan gambaran lebih rinci mengenai
profil masyarakat Tionghoa Indonesia.
Penelitian yang termasuk mutakhir dilakukan
oleh Debora Wiriadinata berjudul “Chinese
Indonesian Dilema: The Younger Generation of Chinese Indonesian, Search for Identity” yang dilakukan di empat
kota besar, yaitu Surabaya, Bandar
Lampung, Bandung dan Jakarta, telah menemukan dilema yang dihadapi oleh generasi muda Cina Indonesia. Sebagai
orang Tionghoa Indonesia umumnya mereka mengaku kebingungan untuk memilih,
apakah akan tetap mempertahankan ciri kecinaan (keturunan) mereka yang khas,
atau harus meninggalkan samasekali semua yang diperoleh dari leluhur mereka dan
sepenuhnya melebur ke dalam masyarakat mayoritas. Di satu sisi mereka merasa
bahwa sebagai WNI di tengah bangsa yang sebenarnya multi etnik ini, kebudayaan
dan hak politik mereka telah diingkari. Namun di sisi lain, mereka bangga
sebagai orang Tionghoa, antara lain dikarenakan status ekonomi mereka yang
tinggi, sekalipun mereka tidak merasa terlindungi dari agresivitas kelompok
mayoritas yang sewaktu-waktu dapat timbul.
Dari hal di atas dapat dilihat bahwa
mereka itu sebenarnya kuat, sebab berbagai tekanan yang mengecilkan atau
meminggirkan mereka ditanggapi dengan penuh perjuangan sehingga mereka tampak
semakin lebih kuat dan tidak merasa terpinggirkan. Dari sinilah seharusnya
mereka diberikan penghargaan atas prestasi dan jasa-jasanya sejak masa lampau,
serta diberikan kesempatan untuk mengembangkan segala apa yang mereka miliki
bersama-sama dan bahu-membahu dengan etnik lainnya, asal tidak mengarah pada
eksklusifisme dan konservatifisme. Hal yang perlu dihapuskan adalah pandangan
stereotipe terhadap mereka dan sebaliknya, yang tentu sangat tidak kondusif di
masa sekarang dan berpotensi memicu konflik sosial.
2) Etnis dan Konflik di Malaysia
Malaysia adalah masyarakat multikultural yang dibuat oleh
Melayu, Cina, India dan kelompok pribumi. Melayu adalah kelompok mayoritas, Cina
merupakan sekitar 30% Dari populasi, dan India membuat sekitar 12% dari total
populasi (Verma, 2002:9). Masyarakat majemuk di Malaysia saat ini dapat ditelusuri
ke kebijakan
kolonial Inggris di Semenanjung Malaysia. Dalam rangka untuk merangsang
ekonomi penguasa Inggris membawa imigran dari Cina dan India
untuk memasok sektor-sektor tenaga kerja bahwa orang-orang Melayu lokal tidak mampu atau
enggan untuk bekerja dalam (Verma, 2002:25). Orang Cina membawa mis kompetensi
dalam bisnis organisasi, keterampilan teknologi dan kewirausahaan. Para imigran India
pekerja kontras direkrut dari bagian termiskin dari
masyarakat, karena mereka bersedia bekerja untuk upah yang lebih rendah (Verma,
2002:25). Melayu terlibat dalam kegiatan pertanian, sementara Cina memperluas kegiatan mereka dan menjadi
terkemuka dalam perdagangan, perdagangan dan perbankan
(Verma, 2002:26).
Intra-etnis masyarakat muncul, yang terutama dibagi dengan
spesialisasi tenaga kerja dan kegiatan ekonomi. Perpecahan etnis juga merupakan akibat
dari faktor-faktor lain seperti perbedaan bahasa, adat istiadat, dan agama. Komunitas
imigran tidak tidak berinteraksi satu sama lain, atau dengan orang-orang Melayu lokal (Verma, 2002:26).
Menjelang Perang Dunia periode nasionalis Kedua Melayu
semakin mulai menantang ini divisi sosial. Divisi ini telah menciptakan
dasar untuk konflik etnis di masa depan. Konflik antara
kelompok-kelompok etnis meningkat setelah proyek pembangunan bangsa dimulai
setelah kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1957. Pertanyaan seperti bagaimana
negara Malaysia harus terorganisir masih merupakan sumber konflik politik
berulang antara tiga utama kelompok etnis.
Etnisitas dan konflik menjadi isu sentral perhatian
ketika Malaysia konstitusi harus dibuat pada tahun 1957. Tatanan kolonial intra-etnis
perpecahan masyarakat telah sangat terpinggirkan kelompok
mayoritas etnis Melayu. Survei dari 1970-an menunjukkan bahwa 75%
rumah tangga di bawah
garis kemiskinan adalah Melayu (Verma, 2002:62). Orang
Melayu sehingga menuntut perlindungan konstitusional dengan menegaskan hak-hak
khusus (Verma, 2002:29). Ini termasuk hak perlindungan bahasa, agama, dan kuota dan
penerimaan ke pelayanan publik. Sebagai imbalannya kewarganegaraan Malaysia diberikan
kepada semua etnis komunitas. Pada tahun 1957 pemerintah koalisi juga
didirikan yang disebut Front Nasional (NF). Koalisi ini tetap berkuasa sejak
pembentukannya.
Hari koalisi terdiri dari 14 partai, dan sebagian
didasarkan pada etnisitas
(Welsh, Suffian, Aeria, 2007:5). Konflik etnis telah hampir tanpa pengecualian telah dilakukan melalui jalur politik di Malaysia. Etnis konflik hanya memburuk menjadi kekerasan parah selama kerusuhan 13 Mei 1969 antara ras Melayu dan Cina (Verma, 2002:29). Meskipun volatil ketegangan etnis Malaysia belum mengalami konflik intra-negara atau perang saudara, yang posisi Malaysia sebagai kasus yang unik di Asia Tenggara.
(Welsh, Suffian, Aeria, 2007:5). Konflik etnis telah hampir tanpa pengecualian telah dilakukan melalui jalur politik di Malaysia. Etnis konflik hanya memburuk menjadi kekerasan parah selama kerusuhan 13 Mei 1969 antara ras Melayu dan Cina (Verma, 2002:29). Meskipun volatil ketegangan etnis Malaysia belum mengalami konflik intra-negara atau perang saudara, yang posisi Malaysia sebagai kasus yang unik di Asia Tenggara.
B.
Civil Society
1)
Civil Society di
Indonesia
Masyarakat madani sukar tumbuh dan
berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui
korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama
terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah
tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya.
Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan
pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki
kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.
Kebijakan ini juga berlaku terhadap
masyarakat politik (political societies),
sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap
pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi
rakyat. Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial
besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri
sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang
dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof.
Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam
pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki
otoritas dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan
organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang
ada.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto
(1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa
transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta kabinetnya
selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan,
Habibie mengeluarkan Keppres No. 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk
membentuk suatu lembaga dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan
konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk
menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang
terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada
tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan
pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung
oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM).
Presiden Habibie mendapat dukungan dari
ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua
Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam
mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam
politik. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat
dengan Soeharto. Dengan demikian, pengembangan konsep masyarakat madani
merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam
Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari
para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa
berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan
prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM.
Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar
Mas’oed (Republika, 3 Maret 1999), yakin bahwa pengembangan masyarakat madani
memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi
masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat
madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap
demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan
pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan
pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, di
samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan
yang terbuka dan partisipatoris.
Ketegangan di Indonesia tidak hanya dalam
wacana politik saja, tetapi diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa
terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua
merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah
mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya
hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan, kerusuhan
sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak
masyarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani),
di samping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.
Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan
“tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis”
(Rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah
komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan
dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai
masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan
muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil
society, lihat mereka mendirikan LKIS yang arti sebenarnya adalah Lembaga
Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.
Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah
1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus
Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga
ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam
Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai
dasar NU menerima asas tunggal Pancasila.
Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila
berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme,
yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan
adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan
pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat
dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis
bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, di samping
adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999:17).
Dalam pandangan Gus Dur, Islam sebagai
agama universal tidak mengatur bentuk negara yang terkait oleh konteks ruang
dan waktu sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan dirinya sebagai
kepala negara Islam dan Nabi tidak melontarkan ide suksesi yang tentunya
sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000:16). Walaupun Nabi
telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati
tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia
karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru, tapi untuk mendidik manusia
dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan, dan
kesejahteraan (Schacht, 1979:541).
Pandangan pluralisnya didasarkan pada
sejarah kehidupan Nabi sendiri yang terbuka terhadap peradaban lain, di samping
tentunya sifat universalisme Islam. Dalam Islam ada lima jaminan dasar,
seperti yang tersebar dalam literatur hukum agama, sebagaimana dikatakan Wahid
(1999:1) sebagai berikut: (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan
badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing,
tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan
keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur
hukum, dan (5) keselamatan profesi.
Gus Dur memerankan diri sebagai penentang
terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat
membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun
kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yang tidak hanya didasarkan pada
toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat
Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983),
tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998:
xiv). Oleh karena itu, Gus Dur sangat mendukung dialog
antaragama/antarimam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembaga yang
bernama Interfidie, yaitu suatu
lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian
antaragama. Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang
orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan, dan
ketulusannya untuk pengabdian pada sesama.
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden
sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek masyarakat madani di
kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi
kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal
tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan
bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti
yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya
negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas
negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat
dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren (Rumadi,
1999:3). Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang
demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara
hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama
dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).
Setelah
reformasi penerapan civil society
sendiri di Indonesia dapat dikatakan bahwa apa yang disebut dengan civil society di Indonesia masih belum
dapat ditemukan. Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia baru saja atau
tengah menghadapi proses transformasi sosial, di satu pihak dan di pihak lain,
kekuasaan negara sangatlah besar terhadap masyarakatnya. Berbicara masalah civil society selalu akan berbicara
tentang transformasi sosial yang akan membawa masyarakat pada suatu tahap.
Di
Indonesia sendiri praktik-praktik civil
society masih sangat jauh dari indikator ideal. Dalam hal ekonomi
misalnya, masih banyak terjadi ketimpangan kesejahteraan di beberapa wilayah
bagian Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat
pluralistik. Atau lebih tepat disebut masyarakat yang sangat tinggi tingkat
fragmentasi sosialnya.inilah yang menjadi penghambat tumbuh dan berkembangya civil society di Indonesia.
Praktik
civil society diawali dari sejarah
panjang Negara Indonesia pada pilihan strategi pembangunan masa Orde Baru. Pada
saat itu “stabilitas Politik Beku” telah membawa bangsa ini ke dalam
kehidupan politik yang cenderung menjauh dari proses demokrasi. Meskipun
kompensasi dari strategi ini telah ditempuh dengan memaksimalkan pertumbuhan
ekonomi yang menakjuban (rata-rata 7%), namun keadilan dalam pengertian
substansial hamper tidak pernah tercapai. Kemiskinan, ketimpangan, dan
ketidakberdayaan bagi lapisan masyarakat bawah selalu mewarnai dalam setiap
tahapan pembangunan. Nahkan program pemberdayaan masyarakat hanya sekedar
sebagai retorika politik negara dari pada sebagai gerakan nyata dari lapisan
masyarakat. Terbukti ketika kekuatan politik kaum buruh, petani, cendekiawan,
aktivis LSM, dan kelompok professional mengalami marginalisasi.
Pasca
reformasi 1998, terdapat tiga pertanyaan utama yang perlu dirumuskan terkait
kondisi Bangsa pasca reformasi ini. Pertama,
dapatkah bangsa ini memanfaatkan momentum transisi dalam rangka mewujudkan
transformasi sosial menuju kehidupan politik yang lebih demokratis? Kedua, demokrasi sosial cenderung
dibangun atas penguatan civil society,
maka syarat apa sajakah yang harus dipenuhi? Ketiga, manajemen sosial seperti apa yang dapat digunakan untuk
mengelola civil society yang hendak
diciptakan di Indonesia? Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut sebenarnya
pembahasan diawali dengan melihat usaha negara dalam reformasi birokrasi yang
ada. Usaha yang begitu dibanggakan pada saat itu adalah transparansi, yaitu
pembentukan pemerintahan yang bersih melalui kekuatan kontrol publik.
Penguatan
masyarakat madani (civil society)
yang dapat digunakan sebagai kontrol publik secara hakiki dapat dirumuskan
sebagai berikut: pengelompokan anggota-anggota masyarakat sebagai warga negara
yang mandiri dapat dengan bebas dan bertindak secara aktif dalam tataran wacana
maupun praktiknya mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah
kemasyarakatan. Pada masa ini, maka artikulasi kepentingan dapat disalurkan
baik melalui individu ataupun kelompok tanpa ada tekanan dari pemegang
kekuasaan. Manajemen negosiasi akan mewujudkan rekonsiliasi nasional sebab
kekuatan oposisi dapat ikut berperan dalam pemerintahan. Bila ini mampu
terwujud, pemerintahan akan tumbuh kembali dan secara otomatis akan memperbaiki
kondisi ekonomi yang ada. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi akan disertai dengan
pemerataan kesejahteraan sehingga dimensi keadilan mewarnai dalam setiap fase
pembangunan masyarakat. Itulah manfaat dari penguatan civil society dalam negara.
2)
Civil Society di Malaysia
Pembentukan negara Malaysia modern dan dominasi terus
menerus oleh
NF-pemerintah telah berkembang pemeriksaan Malaysia menjadi sebuah sistem politik hibrida terdiri dari kedua fitur demokratis dan otoriter dan lembaga (Welsh, Suffian, Aeria, 2007:4). Negara Malaysia dengan demikian sangat terpusat, dan hal ini telah terkendali dan melemahkan masyarakat sipil (Verma, 2002:135). Kebebasan sipil seperti kebebasan berkumpul, ucapan dan organisasi politik yang terbatas dan diatur (Welsh, Suffian, Aeria, 2007:4). Pemerintah telah terus dirasionalisasikan ini macam kontrol dengan mempertahankan bahwa kebebasan sipil dibatasi diperlukan dalam untuk meminimalkan kemungkinan konflik kekerasan antara kelompok-kelompok etnis.
NF-pemerintah telah berkembang pemeriksaan Malaysia menjadi sebuah sistem politik hibrida terdiri dari kedua fitur demokratis dan otoriter dan lembaga (Welsh, Suffian, Aeria, 2007:4). Negara Malaysia dengan demikian sangat terpusat, dan hal ini telah terkendali dan melemahkan masyarakat sipil (Verma, 2002:135). Kebebasan sipil seperti kebebasan berkumpul, ucapan dan organisasi politik yang terbatas dan diatur (Welsh, Suffian, Aeria, 2007:4). Pemerintah telah terus dirasionalisasikan ini macam kontrol dengan mempertahankan bahwa kebebasan sipil dibatasi diperlukan dalam untuk meminimalkan kemungkinan konflik kekerasan antara kelompok-kelompok etnis.
Metode pemaksaan berat seperti penyiksaan belum
diterapkan oleh pemerintah, meskipun metode penahanan secara periodik telah digunakan
dalam rangka untuk menahan politik oposisi. Negara Malaysia masih terutama
mengandalkan pada sensor diri dan tak terucapkan batas dalam hal organisasi politik
(Welsh, Suffian, Aeria, 2007:4). Meskipun negara latihan pengekangan yang lebih dari
kekuatan-kekuatan oposisi kontrol terhadap masyarakat sipil tidak total (Ramasamy, 2004:210).
Masyarakat isu bahwa negara mengabaikan atau menahan telah semakin dipolitisasi
dihadiri oleh LSM. Organisasi-organisasi ini kritis terhadap negara koersif,
dan suara pendapat mereka di beberapa hal, seperti negara demokrasi, pelanggaran hak asasi manusia,
membatasi kebebasan pers, dan penyangkalan hak-hak budaya
(Ramasamy, 2004:209). "Gerakan kesadaran
Nasional", "Angkatan Belia Islam", dan
"Asosiasi Dewan Sekolah Cina" adalah contoh
dari rezim tersebut kritis LSM. Peran LSM tersebut tidak begitu saja sebagai rezim
telah mencoba untuk negatif label organisasi-organisasi ini sebagai
"anti-pembangunan" atau sebagai organisasi asing yang
disponsori dengan motif tersembunyi (Ramasamy, 2004: 209).
Tidak seperti partai-partai oposisi aktor rezim kritis
dan organisasi sipil
masyarakat tidak memiliki alat politik formal untuk langsung menantang negara dominasi. Kemampuan masyarakat sipil untuk mempengaruhi agenda kebijakan koalisi NF tersebut, atau dukungan elektoral yang populer untuk sistem demokrasi otoriter, telah terhindarkan terbatas. Masyarakat sipil sehingga tidak berhasil menantang posisi hegemonik lembaga negara di Malaysia. Meskipun oposisi partai politik dan fungsi masyarakat sipil dalam lingkup sosial yang berbeda kekuatan-kekuatan Namun telah menemukan dasar umum terhadap rezim dengan advokasi dan mendukung hak asasi manusia dan pengembangan demokrasi. Kenyataan bahwa partai oposisi dan LSM dapat berfungsi dan mencoba untuk menantang hegemoni negara mencerminkan perubahan sosial ekonomi yang cepat bahwa Malaysia telah mengalami selama dua dekade terakhir (Ramasamy, 2004:210). Terutama tiga tren telah memungkinkan bagi masyarakat sipil untuk memperluas peran di Malaysia. Cepat pembangunan ekonomi menciptakan permintaan untuk orang-orang berpendidikan, yang menimbulkan suatu baru kelas menengah. Ini kelas menengah mulai menantang kontrol rezim dan dipengaruhi oleh reli untuk demokrasi dan good governance. Partai-partai oposisi dan beberapa LSM sehingga bisa datang bersama-sama untuk mempromosikan penyebab demokratisasi dan tantangan dominasi negara. Koalisi NF-pemerintah yang dominan juga agregat skandal korupsi, kurangnya pemerintahan yang baik, dan penggunaan hukum yang represif. Dan kegiatan ini tidak populer lainnya telah paradoks juga memperkuat alasan untuk demokratisasi lebih lanjut di Malaysia (Ramasamy, 2004:210). Akhirnya, Malaysia secara alami dipengaruhi oleh perkembangan global, seperti penurunan global rezim demokratis (Ramasamy, 2004:210).
masyarakat tidak memiliki alat politik formal untuk langsung menantang negara dominasi. Kemampuan masyarakat sipil untuk mempengaruhi agenda kebijakan koalisi NF tersebut, atau dukungan elektoral yang populer untuk sistem demokrasi otoriter, telah terhindarkan terbatas. Masyarakat sipil sehingga tidak berhasil menantang posisi hegemonik lembaga negara di Malaysia. Meskipun oposisi partai politik dan fungsi masyarakat sipil dalam lingkup sosial yang berbeda kekuatan-kekuatan Namun telah menemukan dasar umum terhadap rezim dengan advokasi dan mendukung hak asasi manusia dan pengembangan demokrasi. Kenyataan bahwa partai oposisi dan LSM dapat berfungsi dan mencoba untuk menantang hegemoni negara mencerminkan perubahan sosial ekonomi yang cepat bahwa Malaysia telah mengalami selama dua dekade terakhir (Ramasamy, 2004:210). Terutama tiga tren telah memungkinkan bagi masyarakat sipil untuk memperluas peran di Malaysia. Cepat pembangunan ekonomi menciptakan permintaan untuk orang-orang berpendidikan, yang menimbulkan suatu baru kelas menengah. Ini kelas menengah mulai menantang kontrol rezim dan dipengaruhi oleh reli untuk demokrasi dan good governance. Partai-partai oposisi dan beberapa LSM sehingga bisa datang bersama-sama untuk mempromosikan penyebab demokratisasi dan tantangan dominasi negara. Koalisi NF-pemerintah yang dominan juga agregat skandal korupsi, kurangnya pemerintahan yang baik, dan penggunaan hukum yang represif. Dan kegiatan ini tidak populer lainnya telah paradoks juga memperkuat alasan untuk demokratisasi lebih lanjut di Malaysia (Ramasamy, 2004:210). Akhirnya, Malaysia secara alami dipengaruhi oleh perkembangan global, seperti penurunan global rezim demokratis (Ramasamy, 2004:210).
Ini dan tren lainnya telah menjadi hal yang vital dalam upaya demokratisasi lebih lanjut di
Malaysia, tetapi meskipun tren, seperti perubahan rezim koersif di Malaysia
terus untuk menahan masyarakat sipil.
C. Hubungan
Civil Society, Negara dan Etnosentrisme
1)
Hubungan Civil Society, Negara dan
Etnosentrisme dalam Sejarah Indonesia
Menurut
sejarah peradaban (civilization),
etnosentrisme merupakan manuskrip yang universal, antara lain indosentrisme,
sinosentrisme, javanosentrisme, dan sebagainya. Hubungan antar etnik memerlukan
proses mentransendensi kebudayaan etnik satu sama lain. Kerangka yang mencakup
dua atau lebih etnisitas bersifat meta etnik, hal yang baru kita dapati pada
zaman modern, mulai dari masa kolonialisme abad ke-19.
Perjuangan
civil society di Indonesia pada awal
pergerakan kebangsaan dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan
oleh Sultan Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999). Jiwa demokrasi
Sultan Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim orde
lama di bawah pimpinan Soekarno maupun rezim orde baru di bawah pimpinan
Soeharto, tuntutan perjuangan transformasi menuju peradaban bangsa pada era
reformasi ini tampaknya sudah tidak terbendungkan lagi.
Dalam
memasuki milenium III, tuntutan akan masyarakat yang beradab di dalam negeri
oleh kaum reformis yang anti status quo
menjadi semakin besar. Civil society
yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan
desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar (Nordholt, 1999),
jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan
beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan
menghormati hak-hak asasi manusia (Farkan, 1999).
Manfaat
yang diperoleh dengan terwujudnya civil
society ialah terciptanya masyarakat Indonesia yang demokratis. Selain itu
menurut Daliman (1999), dengan terwujudnya civil
society, maka persoalan-persoalan besar bangsa Indonesia, seperti:
konflik-konflik suku, agama, ras, etnik, golongan, kesenjangan sosial,
kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan pembagian "kue bangsa" antara
pusat dan daerah, saling curiga serta ketidakharmonisan pergaulan antarwarga
dan lain-lain yang selama orde baru lebih banyak ditutup-tutupi, direkayasa dan
dicarikan kambing hitamnya; diharapkan dapat diselesaikan secara arif, terbuka,
tuntas, dan melegakan semua pihak, suatu prakondisi untuk dapat mewujudkan
kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, kekhawatiran
akan terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah.
Guna
mewujudkan civil society dibutuhkan
motivasi yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota
masyarakat. Hal ini mendukung pendapat Daliman (1999) yang intinya menyatakan
bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang beradab diperlukan proses dan waktu
serta dituntut komitmen masing-masing warganya untuk mereformasi diri secara
total dan selalu konsisten dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang
tidak terelakan. Tuntutan terhadap aspek ini sama pentingnya dengan kebutuhan
akan toleransi sebagai instrumen dasar lahirnya sebuah konsensus atau kompromi.
Ciri
utama civil society adalah demokrasi.
Demokrasi memiliki konsekuensi luas di antaranya menuntut kemampuan partisipasi
masyarakat dalam sistem politik dengan organisasi-organisasi politik yang
independen sehingga memungkinkan kontrol aktif dan efektif dari masyarakat
terhadap pemerintah dan pembangunan.
2)
Civil
Society vs Etnisitas dalam Sejarah Indonesia: Sebuah Perjalanan
Sudah
disinyalir dan dipaparkan didepan (dalam landasan konseptual) keragaman bangsa
Indonesia telah menjadikan bangsa ini besar. Sejak zaman dahulu perjuangan ke
arah peradaban masyarakat bukan merupakan sebuah adopsi dari barat atau dari
timur tengah. Pergerakan era kebangkitan bangsa yang dicetuskan oleh berdirinya
Budi Utomo menjadi tonggak berdirinya sebuah paradigma kehidupan dalam wacana civil society. Sumpah pemuda 1928
akhirnya mempublisitaskannya dalam kancah pergerakan untuk kemerdekaan bangsa
Indonesia.
Kekuatan
para pemuda di arena kebangkitan bangsa bukan dimotori oleh kesukuan yang
sempit tetapi lebih digerakkan oleh kekuatan nasionalis yang menyuarakan
persatuan dan kesatuan dalam kerangka berbangsa satu, bertanah air satu, dan
berbahasa satu yakni Indonesia. Ini adalah sebuah implikasi dari keberadaan perjuangan
kerajaan masa lalu dan mitos-mitos yang sudah mentradisi. Persatuan dan
kesatuan dalam tatanan kerakyatan yang merdeka menyatupadukan sebuah kekuatan
frontal untuk membentuk identitas sebagai bangsa.
Memang
pembentukan identitas bangsa telah dipengaruhi oleh kolonialisme. Kolonialisme
yang bertahun-tahun menggerayangi wajah Indonesia memberikan identitas baru
dalam jiwa bangsa. Penanaman demokrasi yang pernah diterapkan hanya merupakan
sebuah penjajahan. Kaum kolonial lupa bahwa kesatuan Hindia Belanda terbetuk
dari keragaman dari suku dan bangsa.
Terlepas
dari peran kolonialisme dalam pembentukan sebuah masyarakat, kita melihat jiwa
yang berkembang di antara kaum cendikiawan pra kemerdekaan yang sangat
mengupayakan persatuan. Lahirnya era Kebangkitan Bangsa telah menjadikan
etnosentrime bukanlah etnosentrisme sempit yang mengupayakan keagungan pribadi
rakyat Indonesia dalam identitas sebagai suku Jawa, atau Ambon, atau Flores,
atau Batak, tetapi lebih sebagai satu kesatuan sebagai etnik Indonesia.
Perjalanan
pembentukan civil society dalam
kultur bangsa/negara yang majemuk ini bukanlah sesuatu yang gampang. Konflik
horizontal dan primordialisme yang bermula dari stereotype tetap membuahkan konflik yang secara beruntun terjadi
sejak zaman pra kemerdekaan bahkan sampai sekarang.
Titik
tolaknya adalah bahwa kesatuan bangsa ini belum didasarkan pada sebuah kesatuan
perasaan dan pola pikir sebagai individu ber-etnik Indonesia. Ketiadaan
persepsi ini sehingga dalam perjalanan sejarah bangsa, civil society masih merupakan sebuah konsep tanpa praksis, sebuah
konsep yang masih berada dalam sebuah idealisme yang siap dicetuskan oleh kaum
pintar atau cendekiawan yang punya intensi khusus untuk persoalan ini.
3)
Hubungan Civil Society, Negara dan Etnisitas di Malaysia
Konsep ideal
konsensus politik di Malaysia harus dihasilkan melalui proses pengelolaan musyawarah
masyarakat. Konsensus melalui musyawarah masyarakat lebih holistik
dan mampu mencerminkan dan melayani orang dalam kepentingan, seperti, kebijakan publik dan
politik
budaya. Konsep
atau metode akan menjadi yang terbaik untuk melindungi umum yang baik
dari masyarakat dari manipulasi apapun terutama dari negara. Oleh karena itu, tanggung jawab masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa
jenis konsensus
politik akan
menguntungkan orang-orang dari ras yang berbeda di Malaysia.
Namun, Malaysia
tidak memiliki civil
society yang kuat, yang dapat bersama-sama mengawasi dan menyeimbangkan kekuasaan
pemerintah. Menurut Hassan (2002), sebagian besar masyarakat sipil atau LSM di Malaysia,
kecuali
Angkatan Belia
Islam Malaysia (ABIM) dan Dongjiaozong, tidak memiliki basis massa, yang
meninggalkan
mereka dengan
daya tawar sedikit dengan negara, bahkan jika mereka
vokal dan sampai batas tertentu berpengaruh dalam mereka advokasi dan
penyebaran pendapat atas bidang yang luas hak-hak hukum dan manusia. Beberapa LSM tidak dapat menyadari
bahwa, secara paradoks, penguatan civil
society akan
memperluas
partisipasi politik membutuhkan prasyarat memperkuat negara (Marcussen, 1996). Dari sudut pandang,
karena negara Malaysia terus berkomitmen
melakukan pemilihan umum yang reguler, dengan ruang yang tersedia untuk LSM dan
kelompok-kelompok politik lainnya tetap penanda penting kemungkinan untuk meningkatkan civil society.
Gerakan civil society
Malaysia juga
mencoba
untuk
melaksanakan demokrasi deliberatif dalam melibatkan dengan pemerintah
terutama dalam mempengaruhi kebijakan publik dan proses
pengambilan keputusan. Peran civil
society dan cara-cara
mereka mempengaruhi proses, dapat dilihat dari
Hendriks (2002) argumen atau pemetaan mikro dan makro deliberatif demokrasi. Namun, hubungan negara- civil society di Malaysia tergantung pada isu-isu yang mereka usung dan juga merupakan kemauan pemerintah dalam menerima proses musyawarah dan pandangan kritis dari masyarakat sipil.
Hendriks (2002) argumen atau pemetaan mikro dan makro deliberatif demokrasi. Namun, hubungan negara- civil society di Malaysia tergantung pada isu-isu yang mereka usung dan juga merupakan kemauan pemerintah dalam menerima proses musyawarah dan pandangan kritis dari masyarakat sipil.
Hubungan
masyarakat negara-sipil dapat ditandai, menghubungkan dengan proses
demokrasi
deliberatif mikro
dimana baik
negara maupun masyarakat sipil
berkolaborasi
dalam menangani
isu-isu seperti lingkungan, kesejahteraan, perempuan,
pemuda, dan pengembangan anak. Pemerintah
memiliki organisasi yang terlibat seperti Federasi Asosiasi Konsumen Malaysia (FOMCA), Dewan Organisasi Wanita National, Asosiasi Komite Serikat Cina, dan lain-lain untuk berpartisipasi dalam perdebatan dan musyawarah pada pengembangan dan kebijakan publik. LSM yang berkolaborasi paling berhasil dengan pemerintah adalah non-politik, seperti Dewan AIDS Malaysia, Malaysia Nature Society (MNS), dan World Wide Fund untuk Malaysia (WWF). LSM perjuangan untuk hak asasi manusia seperti SUARAM, aliran, dan Hak Asasi Manusia Persatuan Malaysia (Hakam, Asosiasi Hak Asasi Manusia Malaysia) juga telah diundang dalam pertemuan-pertemuan seperti yang diadakan oleh SUHAKAM. Kadang-kadang, LSM harus menggunakan berbagai cara agar mereka dapat terlibat dalam proses musyawarah. Misalnya, untuk LSM dan lembaga di Sabah, seperti Organisasi Mitra Masyarakat (PACOS), kurangnya kapasitas untuk mempengaruhi kebijakan publik, tetapi, bersama dengan organisasi seperti Pusat Kekhawatiran Orang Asli (COAC) dan Asosiasi Orang Asli Semenanjung Malaysia (POASM), telah mampu mengkomunikasikan ide-ide kepada pemerintah mengenai kondisi Orang Asli (Masyarakat adat) dan budaya mereka (Verma, 2004).
memiliki organisasi yang terlibat seperti Federasi Asosiasi Konsumen Malaysia (FOMCA), Dewan Organisasi Wanita National, Asosiasi Komite Serikat Cina, dan lain-lain untuk berpartisipasi dalam perdebatan dan musyawarah pada pengembangan dan kebijakan publik. LSM yang berkolaborasi paling berhasil dengan pemerintah adalah non-politik, seperti Dewan AIDS Malaysia, Malaysia Nature Society (MNS), dan World Wide Fund untuk Malaysia (WWF). LSM perjuangan untuk hak asasi manusia seperti SUARAM, aliran, dan Hak Asasi Manusia Persatuan Malaysia (Hakam, Asosiasi Hak Asasi Manusia Malaysia) juga telah diundang dalam pertemuan-pertemuan seperti yang diadakan oleh SUHAKAM. Kadang-kadang, LSM harus menggunakan berbagai cara agar mereka dapat terlibat dalam proses musyawarah. Misalnya, untuk LSM dan lembaga di Sabah, seperti Organisasi Mitra Masyarakat (PACOS), kurangnya kapasitas untuk mempengaruhi kebijakan publik, tetapi, bersama dengan organisasi seperti Pusat Kekhawatiran Orang Asli (COAC) dan Asosiasi Orang Asli Semenanjung Malaysia (POASM), telah mampu mengkomunikasikan ide-ide kepada pemerintah mengenai kondisi Orang Asli (Masyarakat adat) dan budaya mereka (Verma, 2004).
Selain itu, LSM
yang memiliki hubungan erat dengan pemerintah seperti Majlis
Belia Malaysia (MBM, Dewan Pemuda Malaysia), Gabungan Penulis Nasional (GAPENA) Gabungan
Pelajar Melayu dan Semenanjung (GPMS)
memiliki kesempatan lebih banyak untuk mendapatkan diundang dalam proses musyawarah. LSM di Malaysia telah menjadi lebih kuat, dan mereka tumbuh advokasi bekerja dalam lingkaran kebijakan dan media telah menyebabkan beberapa keberhasilan penting seperti di lobi untuk memberlakukan UU KDRT dan menyiapkan SUHAKAM. Mereka berlangsungnya partisipasi dan musyawarah di bidang perlindungan konsumen, ekonomi dan sosial pembangunan, hak-hak perempuan, lingkungan, dan hak asasi manusia telah memungkinkan mereka untuk beroperasi secara efektif dan untuk berkomunikasi dengan pemerintah, media dan lembaga-lembaga (Verma, 2004).
memiliki kesempatan lebih banyak untuk mendapatkan diundang dalam proses musyawarah. LSM di Malaysia telah menjadi lebih kuat, dan mereka tumbuh advokasi bekerja dalam lingkaran kebijakan dan media telah menyebabkan beberapa keberhasilan penting seperti di lobi untuk memberlakukan UU KDRT dan menyiapkan SUHAKAM. Mereka berlangsungnya partisipasi dan musyawarah di bidang perlindungan konsumen, ekonomi dan sosial pembangunan, hak-hak perempuan, lingkungan, dan hak asasi manusia telah memungkinkan mereka untuk beroperasi secara efektif dan untuk berkomunikasi dengan pemerintah, media dan lembaga-lembaga (Verma, 2004).
Proses mikro bisa menjadi
yang paling efektif dalam memberikan kontribusi pandangan, saat konsensus dalam
proses pengambilan keputusan, dan menghasilkan kebijakan untuk kebaikan bersama. Namun, ada masalah dengan
pendekatan musyawarah demokrasi mikro dalam kaitannya dengan hubungan negara-civil society
di Malaysia.
Masalahnya adalah ketika pemerintah mengundang masyarakat sipil yang mendukung, tidak ada pandangan yang
kritis dari masyarakat
sipil. Cohen tidak menyebutkan
bahwa deliberatif mikro demo-birokrasi membutuhkan proses gratis
dan sama antara
pihak prosedur deliberatif menghilangkan kesenjangan yang ada.
Oleh karena
itu, ada konsep yang sangat tidak mungkin setuju untuk
tidak menyetujui praktek dalam hubungan negara-masyarakat sipil dimana negara selalu suka untuk menunjukkan otoritas dalam membuat keputusan akhir, meskipun fakta bahwa orang-orang dan masyarakat sipil disfavoured dengan keputusan tersebut, seperti dalam kasus kenaikan harga BBM pada tahun 2008. Kecuali pandangan pemerintah yang kebetulan sama, atau sedikit mirip dengan masyarakat sipil, seperti di penghujatan kasus antara Asosiasi Ulama Muslim Malaysia (MSAM) dan sekuler-liberal, pemerintah tiba-tiba mendukung sekuler-liberal terhadap MSAM. Niat dalam mengundang LSM untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang paling mungkin adalah untuk berkonsultasi saja. Ada juga kekhawatiran bahwa partisipasi civil society dalam proses itu untuk melegitimasi kebijakan yang telah direncanakan.
tidak menyetujui praktek dalam hubungan negara-masyarakat sipil dimana negara selalu suka untuk menunjukkan otoritas dalam membuat keputusan akhir, meskipun fakta bahwa orang-orang dan masyarakat sipil disfavoured dengan keputusan tersebut, seperti dalam kasus kenaikan harga BBM pada tahun 2008. Kecuali pandangan pemerintah yang kebetulan sama, atau sedikit mirip dengan masyarakat sipil, seperti di penghujatan kasus antara Asosiasi Ulama Muslim Malaysia (MSAM) dan sekuler-liberal, pemerintah tiba-tiba mendukung sekuler-liberal terhadap MSAM. Niat dalam mengundang LSM untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang paling mungkin adalah untuk berkonsultasi saja. Ada juga kekhawatiran bahwa partisipasi civil society dalam proses itu untuk melegitimasi kebijakan yang telah direncanakan.
Pada proses,
demokrasi deliberatif
makro, sebaliknya
pendukung bahwa masyarakat sipil berpartisipasi dalam masyarakat dan bekerja di
luar dan menentang negara dalam oposisi politik. Pertarungan non-negara yang diprakarsai oleh sejumlah LSM
yang berpikiran kritis dan sangat dipolitisir. LSM seperti
Suara Rakyat Malaysia (SUARAM), Aliran Kesedaran Negara (aliran), Hak Asasi Manusia Malaysia Asosiasi
(Hakam), ABIM, Jemaah Islah Malaysia (JIM), Dongjiaozong, dan Pusat Inisiatif Perdamaian (CENPEACE)
telah memanfaatkan ruang publik dan telah kritis terhadap kebijakan negara pada berbagai
macam isu-isu. Banyak
dari mereka telah bahagia dengan negara demokrasi di Malaysia, kurangnya hak asasi manusia, membatasi
kebebasan pers, penolakan hak-hak budaya kepada masyarakat etnis tertentu, dan penggunaan represif hukum oleh
rezim (Verma, 2004).
Masyarakat sipil di Malaysia telah menjadi yang sah
sebagai saluran partisipasi
sosial dan politik dan untuk mempengaruhi pembentukan kebijakan dan opini publik.
Tanda-tanda perubahan
mulai muncul selama periode Reformasi menyusul penangkapan Anwar pada tahun 1998. Kontribusi
bahwa masyarakat sipil Malaysia yang baru lahir dibuat
dengan anti-authoritarian
perjuangan tahun 1990-an secara luas diakui
hari ini. Sejak itu, mahasiswa, intelektual, profesional
asosiasi, kelompok agama, dan juga oposisi
pihak telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai otoriter
sifat pemerintah.
Dalam proses ini beberapa kelompok telah mulai mengadopsi sikap yang lebih radikal
pada isu-isu
hak asasi manusia dan reformasi peradilan. Tapi dalam menangani
dengan LSM, pemerintah selalu menyatakan bahwa mereka
tempat keamanan nasional di atas semua kekhawatiran lainnya,
karena pandangan LSM sebagai peleceh pemerintah keluar memicu
ketidakpuasan (Verma, 2004). LSM yang mengadopsi
pendekatan makro demokrasi deliberatif, cenderung
mengasosiasikan dengan partai-partai oposisi.
Sebagai contoh, pada pemilu 2008 umum, politik
analis, James Wong mengatakan bahwa:
Adanya tradisional oposisi yang telah kini bergabung dengan masyarakat
sipil, mahasiswa,
wartawan independen dan LSM (Kuppusamy, 2008). Beberapa aktivis peserta
di bawah bendera Partai Aksi Demokratik (DAP)
dan di antara mereka adalah Charles Santiago, koordinator
Koalisi terhadap Privatisasi yang telah berjuang untuk
mencegah privatisasi air dan menghentikan bisnis besar
dari menaikkan
harga sumber daya alam. Lainnya, seperti Tian Chua dan Sivarasa Rasiah Partai Keadilan Rakyat
(PKR), yang digunakan untuk terlibat dengan SUARAM.
Manusia hak pemimpin melihat keikutsertaan LSM dalam umum
pemilu sebagai penting dan yang menambahkan dimensi baru
ke partisipatif
politik. Yap Swee Seng, direktur eksekutif
dari SUARAM, percaya bahwa "Pemilihan umum adalah
waktu bagi
LSM untuk mendorong agenda masyarakat sipil dan membuat mereka
mendengar suara .... Tujuan utamanya adalah untuk
memastikan yang kuat, multi-partai oposisi yang lebih baik dapat menjaga
konstitusi dan kepentingan rakyat (Kuppusamy, 2008).
Dengan hasil yang baik untuk oposisi di 2008
pemilihan umum, banyak mantan aktivis LSM memenangkan
pemilu seperti Tian Chua dan Sivarasa Rasiah di Parlemen
kursi, dan Elizabeth Wong, mantan Hakam yang
aktivis, memenangkan PKR di kursi negara bagian perakitan dan telah telah ditunjuk sebagai Penasehat Eksekutif di Selangor ini Pakatan Rakyat (PR) pemerintah negara bagian. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan masyarakat sipil sekarang memasuki politik nyata dalam berjuang untuk kekuasaan. Mungkin, ini adalah cara terbaik untuk melayani rakyat dan perjuangan untuk apa yang mereka yakini. Masalah dengan pendekatan deliberatif makro, demokrasi di Malaysia adalah bahwa, perhatian sedikit atau tidak ada telah dibayarkan kepada organisasi-organisasi ini karena keberadaan mereka penting untuk negara. Seringkali pandangan dan argumen LSM tersebut yang berpikiran kritis diberhentikan oleh negara atas dasar bahwa mereka anti-development yang disponsori oleh beberapa lembaga asing untuk mengikut dari beberapa motif tersembunyi (Ramasamy, 2004). Pemerintah mengontrol media mainstream, sehingga ruang dalam ruang publik sangat terbatas untuk LSM kecuali dalam dunia maya Internet (lihat selanjutnya bagian pada media baru). Pemerintah melecehkan kritik dari LSM dengan menggambarkan mereka sebagai marjinal dan keluar dari sentuhan dengan masyarakat massa.
aktivis, memenangkan PKR di kursi negara bagian perakitan dan telah telah ditunjuk sebagai Penasehat Eksekutif di Selangor ini Pakatan Rakyat (PR) pemerintah negara bagian. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan masyarakat sipil sekarang memasuki politik nyata dalam berjuang untuk kekuasaan. Mungkin, ini adalah cara terbaik untuk melayani rakyat dan perjuangan untuk apa yang mereka yakini. Masalah dengan pendekatan deliberatif makro, demokrasi di Malaysia adalah bahwa, perhatian sedikit atau tidak ada telah dibayarkan kepada organisasi-organisasi ini karena keberadaan mereka penting untuk negara. Seringkali pandangan dan argumen LSM tersebut yang berpikiran kritis diberhentikan oleh negara atas dasar bahwa mereka anti-development yang disponsori oleh beberapa lembaga asing untuk mengikut dari beberapa motif tersembunyi (Ramasamy, 2004). Pemerintah mengontrol media mainstream, sehingga ruang dalam ruang publik sangat terbatas untuk LSM kecuali dalam dunia maya Internet (lihat selanjutnya bagian pada media baru). Pemerintah melecehkan kritik dari LSM dengan menggambarkan mereka sebagai marjinal dan keluar dari sentuhan dengan masyarakat massa.
Namun, dalam jangka waktu efektivitas kontribusi dalam pengambilan keputusan
proses, pendekatan makro kadang-kadang lebih efektif
dalam arti tertentu di Malaysia. Misalnya,
Pemerintah mengecam LSM-publik diselenggarakan diusulkan
pengadilan pada penyalahgunaan kekuasaan polisi: Mahathir mengklaim bahwa beberapa LSM sengaja menantang
pemerintah untuk mengambil tindakan terhadap mereka dan
mengancam bahwa ia akan melakukannya, jika mereka telah melanggar hukum (Milne
dan Mauzy, 1999). Namun, melalui kampanye secara
terus-menerus dan dengan tekanan pemerintah, Perdana
Azizuddin 8405 Menteri, Abdullah Ahmad Badawi, menyetujui
pembentukan Komisi Kerajaan untuk Meningkatkan
Operasi dan Manajemen Kerajaan Malaysia
Polisi, yang disetujui oleh Raja pada tanggal 4 Februari,
2004 di bawah Komisi Penyelidikan UU, 1950. Dalam Laporan halaman
576, disampaikan kepada Perdana Menteri pada tanggal 29
April, dan yang dirilis ke publik pada 12 Juni 2005, Komisi
membuat 125 rekomendasi berfokus pada tiga
bidang utama reformasi, pengurangan kejahatan, memberantas
korupsi dan mengamati hak asasi manusia di kepolisian
yang negara
(Amnesty International Malaysia, 2007). Ini adalah
bukti bahwa musyawarah makro konstan dapat mempengaruhi
pemerintah dalam menerapkan kebijakan diprioritaskan oleh
orang, tetapi sebelumnya tidak dalam agenda pemerintah.
Cendekiawan seperti Habermas mengakui bahwa dalam rangka untuk
Pendekatan makro akan berfungsi dengan baik, perlu dibantu oleh media. Masalahnya adalah bahwa Malaysia tidak memiliki media yang bebas. Namun, revolusi saat industri media dan teknologi melalui pengenalan
Internet bertanggung jawab dalam menciptakan ruang publik baru untuk musyawarah umum. Media baru ini mampu memperkuat penggunaan pendekatan makro, ditambah, juga berhasil dimanfaatkan dalam mengubah opini publik, seperti apa yang telah terjadi di Malaysia selama 2008 pemilihan umum (Azizuddin, 2009).
Pendekatan makro akan berfungsi dengan baik, perlu dibantu oleh media. Masalahnya adalah bahwa Malaysia tidak memiliki media yang bebas. Namun, revolusi saat industri media dan teknologi melalui pengenalan
Internet bertanggung jawab dalam menciptakan ruang publik baru untuk musyawarah umum. Media baru ini mampu memperkuat penggunaan pendekatan makro, ditambah, juga berhasil dimanfaatkan dalam mengubah opini publik, seperti apa yang telah terjadi di Malaysia selama 2008 pemilihan umum (Azizuddin, 2009).
Malaysia pasti membutuhkan sebuah gerakan masyarakat sipil yang kuat
yang dapat menjamin keberhasilan musyawarah publik
dan dapat memeriksa dan menyeimbangkan kekuasaan negara.
Dalam Malaysia,
LSM telah berusaha untuk memberikan yang demokratis
masyarakat yang dianggap
politik apatis atau bodoh hak-hak fundamental mereka
dan tugas. Secara khusus, masyarakat Malaysia didesak
untuk menjadi lebih sadar tentang bagaimana dan mengapa
kebebasan dibatasi, yang kepentingannya dilayani oleh curbs pada kebebasan, apa yang
adalah konsekuensi dari konsentrasi kekuasaan dengan
eksekutif, bagaimana orang harus menanggapi pengebirian
yang demokrasi
dan apa alternatif yang tersedia untuk penggunaan mereka yang berkomitmen untuk kebebasan yang
lebih besar dan keadilan (Chandra, 1986). Loh (2003) berpendapat bahwa,
Malaysia kecewa dengan partai politik dan
politik elektoral memiliki pilihan untuk terlibat bukan
dalam resmi
politik. Apa yang telah membuat pilihan ini mungkin, ia
menyarankan, adalah proliferasi dari LSM sejak tahun 1980
dan mereka meningkatkan impor politik sejak akhir
1990-an. Tidak hanya organisasi-organisasi ini menawarkan tempat untuk
partisipasi di luar jalur politik elektoral, tetapi
keterlibatan LSM dengan partai politik oposisi
membantu untuk memperkaya pihak-pihak serta mempercepat
proses reformasi politik.
Kampanye publik oleh civil society adalah salah satu contoh terbaik dari metode musyawarah. Kampanye publik
adalah pendekatan yang lebih sipil dan damai tanpa
kekuatan atau kekerasan berarti dalam berlatih. Sebagian
besar kampanye
adalah untuk publik, mobilisasi pendidikan dan
lobi. Misalnya, kampanye tanda tangan adalah ketika
anggota dan pendukung LSM terlibat dalam pengumpulan
nama, tanda tangan dan kartu identitas (IC) nomor dari
sebagai individu sebanyak mungkin. Petisi yang
kemudian dikirim ke departemen pemerintah terkait. Ini
metode tidak tampaknya sangat berkhasiat, bagaimanapun,
ini adalah tidak terjadi dan kadang-kadang bekerja dalam mempengaruhi publik
kebijakan ketika LSM dikirim lebih dari 70.000 tanda
tangan di 1981 bertentangan dengan amandemen Undang-Undang
Masyarakat. Sementara fakta
bahwa RUU ini dengan yang ditarik dua kali dan
mengalami perubahan substansial menunjukkan bahwa
kampanye secara keseluruhan, apakah karena permohonan atau tidak, memiliki beberapa
efek, pada akhirnya hanya yang paling kontroversial
klausul telah dihapus (Tan dan Singh, 1994; Weiss, 2004).
Masyarakat sipil juga memanfaatkan media cetak dan
Internet untuk menyebarkan pandangan mereka dalam
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, aliran menghasilkan
majalah bernama Aliran Bulanan dan SUARAM menghasilkan
setiap tahunnya Laporan Human Rights. Kedua LSM telah juga menerbitkan banyak buku dan koran. Mereka bahkan memiliki website
mereka sendiri, http://www.aliran.com
dan http://www.suaram.net. Melalui publikasi dan internet, aliran berhasil mempromosikan agendanya
keadilan sosial, reformasi politik dan multi-agama dan
dialog multi-etnis. SUARAM juga dapat melaporkan dan
memantau pelanggaran hak asasi manusia di Malaysia dan
wilayah. Namun, akses kelompok-kelompok di mainstream media
telah diblokir karena kecemasan pada nama pemerintah bahwa LSM dapat mempengaruhi
opini publik dalam menantang pemerintah. Selain itu,
masyarakat sipil terus mengatur forum dan seminar,
mengundang pejabat pemerintah untuk ikut berpartisipasi
dalam debat dan diskusi. Sebagai contoh, Era Konsumen teratur
menyelenggarakan konferensi tentang kinerja Manusia Komisi Hak Malaysia (SUHAKAM), tentu saja dalam membahas masalah hak asasi manusia.
menyelenggarakan konferensi tentang kinerja Manusia Komisi Hak Malaysia (SUHAKAM), tentu saja dalam membahas masalah hak asasi manusia.
SUHAKAM yang komisaris mengambil bagian dalam kertas presentasi dan juga
memperdebatkan edisi terbaru hak asasi manusia di
Malaysia.
Oleh karena itu, peran masyarakat sipil adalah penting untuk menciptakan sistem demokrasi deliberatif yang tepat di Malaysia dimana kebebasan berbicara politik dilindungi untuk kebaikan orang-orang.
Oleh karena itu, peran masyarakat sipil adalah penting untuk menciptakan sistem demokrasi deliberatif yang tepat di Malaysia dimana kebebasan berbicara politik dilindungi untuk kebaikan orang-orang.
Mudah diucapkan daripada dilakukan di mengelola isu
sensitif. Permusuhan rasial, merosot menjadi kebencian rasial,
adalah berkelanjutan ancaman di Malaysia. Ini dapat ditemukan dalam sikap
tertentu non-Melayu partai oposisi yang berbasis di
enam puluhan. Mereka menentang status Melayu,
bukan Inggris, Mandarin/Kanton atau Tamil, sebagai
tunggal resmi dan bahasa nasional negara karena
kebijakan ini membahayakan sekolah vernakular, khususnya
sekolah Cina dan sekolah-sekolah India yang menggunakan bahasa mereka sendiri sebagai bahasa resmi di sekolah.
Demikian juga, pihak Melayu dari periode yang sama marah
atas
kewarganegaraan yang diberikan kepada non-Melayu pada seperti
dasar liberal dan ingin Melayu kedaulatan dipulihkan
(Chandra, 1986). Kekerasan dari konflik rasial pada 13
Mei 1969, dan masalah hubungan multiras
mengakibatkan pemerintah mengambil inisiatif kebijakan
utama melibatkan
deklarasi formal dari sebuah ideologi nasional
disebut Rukunegara di 31 Agustus 1970. Itu dirancang
untuk menjadi dasar untuk menciptakan sebuah konsensus tentang
komunal masalah dengan menetapkan prinsip-prinsip yang
dapat dipanggil
untuk menahan tuntutan yang lebih ekstrim dari etnis
chauvisnis (Sarana,
1991).
Di Malaysia, ada pandangan bahwa orang Melayu sebagai tanah
anak-anak harus membela hak istimewa
dan melestarikan sejarah karakter dan kedaulatan Melayu asli dari
lahan. Non-Melayu, bagaimanapun, permintaan hak yang sama
dalam sesuai
dengan gagasan demokrasi modern dan populer
kedaulatan (Ikmal, 1992). Salah satu kasus terbaru yang telah memicu krisis antara ras di Malaysia adalah Tuntutan isu Suqiu. Pada tanggal 16 Agustus 1999, beberapa bulan sebelum pemilihan umum 1999, sebelas LSM Cina membentuk kelompok lobi yang disebut Organisasi Komite Banding Pemilihan Malaysia Cina dan meluncurkan tujuh belas poin tuntutan pemilu mereka. Tuntutan Suqiu dapat dibagi menjadi dua jenis. Pertama, Suqiu mendukung sejumlah mirip dengan yang dipromosikan oleh tujuan lainnya yang universal kelompok dan yang dimasukkan ke Alternatif Depan (BA atau Barisan Alternatif, sebuah koalisi oposisi pihak). Ini termasuk pembesaran demokrasi hak, penghapusan korupsi, kronisme, dan nepotisme; perlindungan kebebasan berbicara, pers, perakitan dan asosiasi, dan mencabut undang-undang seperti Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA), Undang-Undang Rahasia Resmi (OSA), Undang-Undang hasutan (SA), dan Undang-Undang Printing Presses and Publications (PPPA).
kedaulatan (Ikmal, 1992). Salah satu kasus terbaru yang telah memicu krisis antara ras di Malaysia adalah Tuntutan isu Suqiu. Pada tanggal 16 Agustus 1999, beberapa bulan sebelum pemilihan umum 1999, sebelas LSM Cina membentuk kelompok lobi yang disebut Organisasi Komite Banding Pemilihan Malaysia Cina dan meluncurkan tujuh belas poin tuntutan pemilu mereka. Tuntutan Suqiu dapat dibagi menjadi dua jenis. Pertama, Suqiu mendukung sejumlah mirip dengan yang dipromosikan oleh tujuan lainnya yang universal kelompok dan yang dimasukkan ke Alternatif Depan (BA atau Barisan Alternatif, sebuah koalisi oposisi pihak). Ini termasuk pembesaran demokrasi hak, penghapusan korupsi, kronisme, dan nepotisme; perlindungan kebebasan berbicara, pers, perakitan dan asosiasi, dan mencabut undang-undang seperti Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA), Undang-Undang Rahasia Resmi (OSA), Undang-Undang hasutan (SA), dan Undang-Undang Printing Presses and Publications (PPPA).
Di sisi lain, Cina menekankan kekhawatiran untuk kesetaraan ekonomi,
pendidikan, budaya, dan politik hak-hak. Para Suqiu juga
merekomendasikan bahwa langkah-langkah diambil untuk menghapuskan semua
aspek Bumiputera/non-Bumiputera
dichotomisation (atau khusus
Hak Melayu) sebagaimana tercantum dalam Pasal 153 dalam Federal Konstitusi. Dalam hal kebijakan ekonomi itu menganjurkan
menghapuskan sistem kuota didasarkan pada ras
dan mengganti dengan alat-diuji geser skala; dan akhirnya
adalah mendukung menghapus sistem kuota berbasis ras
untuk masuk universitas (Lee, 2002). Namun, pada
pidato hari nasional yang disampaikan pada tanggal 31 Agustus 2000,
publik Mahathir bernama Suqiu sebagai salah satu dari
ekstremis Cina kelompok dan mengklaim kelompok itu menggunakan
taktik komunis.
Setiap penghapusan hak-hak khusus, menurut Mahathir, akan menyebabkan kekacauan sosial dan
ketidakstabilan politik dan akan dianggap sebagai
langsung tantangan bagi supremasi politik Melayu (Chin, 2001). Dia
memperingatkan orang-orang, yang ia sebut ekstrimis, bukan untuk mempolitisasi isu bahasa, pendidikan, dan kuota di pelayanan publik dengan meningkatkan isu-isu rasial.
memperingatkan orang-orang, yang ia sebut ekstrimis, bukan untuk mempolitisasi isu bahasa, pendidikan, dan kuota di pelayanan publik dengan meningkatkan isu-isu rasial.
Selama periode Abdullah Ahmad Badawi sebagai perdana
menteri, Malaysia Bar Council
mengadakan nasional konferensi untuk membahas rancangan undang-undang yang
mengusulkan pembentukan komisi antar-iman nasional pada Februari 2005. Fungsi
utamanya
yaitu akan membantu pemerintah
membuat kebijakan yang jelas dan koheren untuk memungkinkan lebih besar antar
hubungan serta menghindari konflik yang timbul dari
kesalahpahaman (Yeoh, 2005). Selain itu, akan
diberdayakan untuk menentukan apakah atau tidak ada
setiap pelanggaran kebebasan beragama, hati nurani dan
berpikir dalam konteks Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia dan Konstitusi Federal. Sebuah longgar
koalisi LSM Muslim, yang disebut Koordinasi Sekutu
Komite LSM Islam (ACCIN), memboikot konferensi,
dengan alasan bahwa antar-iman komisi, jika
didirikan, akan merebut fungsi keagamaan yang ada
berwenang. Secara khusus, hal itu ditandai proposal
dibawa oleh Dewan Konsultatif Malaysia dari
Buddhisme, Kristen, Hindu dan Sikh (MCCBCHS)
yang memungkinkan Muslim hak untuk meninggalkan Islam,
untuk memfasilitasi
murtad melalui
pengadilan sipil dan ketentuan-ketentuan konstitusional, dan untuk meninjau
agama, hanya
sebagai melayani sendiri untuk non-Muslim dan anti-Islam.
Setelah konferensi, Perdana Menteri Abdullah mengumumkan bahwa pembahasan mengenai usulan
pembentukan komisi antar-iman akan disimpan
karena perdebatan sengit reportted di pers. Dia berpendapat bahwa badan hukum, jika menghendaki menjadi ada, akan menjadi kemunduran bagi persatuan agama di negara ini. Sebaliknya, ia menyarankan bahwa peristiwa lebih mempromosikan antar-agama dialog diatur, dan didorong memperkuat ras keharmonisan melalui open house selama festival utama dirayakan oleh berbagai ras (Yeoh, 2005). Gatsiounis (2006) berpendapat bahwa jika masa lalu adalah indikasi, Abdullah akan mengklaim toleransi dan kesatuan sebagai abadi ciri-ciri dari orang-orang Malaysia. Ia akan bersumpah oleh Islam Hadhari, interpretasi politik dan ideologis dari iman yang menekankan moderasi dan teknologi dan saing ekonomi.
karena perdebatan sengit reportted di pers. Dia berpendapat bahwa badan hukum, jika menghendaki menjadi ada, akan menjadi kemunduran bagi persatuan agama di negara ini. Sebaliknya, ia menyarankan bahwa peristiwa lebih mempromosikan antar-agama dialog diatur, dan didorong memperkuat ras keharmonisan melalui open house selama festival utama dirayakan oleh berbagai ras (Yeoh, 2005). Gatsiounis (2006) berpendapat bahwa jika masa lalu adalah indikasi, Abdullah akan mengklaim toleransi dan kesatuan sebagai abadi ciri-ciri dari orang-orang Malaysia. Ia akan bersumpah oleh Islam Hadhari, interpretasi politik dan ideologis dari iman yang menekankan moderasi dan teknologi dan saing ekonomi.
Namun, ada yang sangat realitas yang berbeda berlangsung jaga Abdullah, salah
satu yang menimbulkan pertanyaan tentang komitmen terhadap Islam Hadhari
dan mungkin memiliki implikasi yang luas untuk model
Islam demokrasi. Muslim garis keras telah tumbuh lebih
vokal pada tahun 2006, menunjukkan di forum-forum yang
diselenggarakan oleh koalisi LSM, yang dikenal sebagai Pasal 11; yang menginginkan
pemerintah untuk meletakkan berat badan di belakang konstitusi Malaysia,
yang menjamin kesetaraan dan kebebasan beribadah, sebagai
tertinggi hukum tanah. Pasal 11 adalah yang bersangkutan
bahwa syariah (hukum Islam) pengadilan baru-baru ini
diambil keutamaan lebih dari pengadilan sipil di sejumlah kontroversial
keputusan.
Para garis keras juga menentang upaya untuk
membentuk Komisi Antar-Iman untuk meningkatkan pemahaman
antara berbagai agama Malaysia. Yang terbaru
Protes datang pada tanggal 22 Juli 2006 di negara bagian
Johor Bahru. Seperti Pasal 11 berkumpul di sebuah ballroom
hotel lantai atas, sekitar 300 Muslim cemberut dari balik garis polisi di
pintu masuk hotel, mengacungkan tanda-tanda bahwa
membaca,
“Jangan
menyentuh sensitivitas Muslim, Hancurkan anti-Muslim, dan
Kami siap untuk mengorbankan diri sendiri untuk Islam”. Dari pendekatan lunak mendorong dialog antara
Azizuddin dengan pihak yang disengketakan, Abdullah telah melihat cukup
dan telah mengambil pendekatan keras dengan mengatakan "Jangan memaksa
pemerintah untuk mengambil tindakan ke Pasal 11” (Gatsiounis, 2006). Ia memperingatkan dan menuduh Pasal 11 dari
bermain sampai isu-isu agama dan mengancam untuk menghancurkan itu Malaysia
keseimbangan sosial yang rapuh dengan menyorot sensitif'
isu-isu yang tidak harus dibicarakan secara terbuka.
Abdullah telah mengeluarkan peringatan keras kepada media untuk berhenti
melaporkan isu yang terkait dengan masalah agama. Ia juga tidak
mengesampingkan dengan menggunakan ISA, yang memungkinkan untuk penahanan
tanpa batas waktu tanpa pengadilan, terhadap Pasal 11 anggota harus mereka
melanjutkan kegiatan mereka. Abdullah sikap terhadap
Pasal 11 dapat dibaca sebagai itu sesuai dengan keyakinan
Mahathir bahwa kebebasan berekspresi yang lebih besar akan mencadangkan antar-etnis ketegangan. Namun, menurut Gatsiounis
(2006), posisi Abdullah kurang meliputi dan dapat
dilihat sebagai menerapkan aplikasi miring selektif: itu
adalah untuk memungkinkan segmen bermusuhan komunitas
Muslim untuk menggunakan kebebasan berbicara untuk menentukan batas-batas kebebasan
berbicara. Saya
melihat, kedua belah pihak, kelompok garis keras dan
Pasal 11, harus duduk di dekat pintu forum untuk membahas dan menyelesaikan masalah ini.
Pemerintah dapat menjadi agen netral dalam membimbing
forum karena jika semua masing-masing pihak tidak
menyelesaikan hal ini isu sensitif, itu akan memberikan implikasi negatif bagi
masa depan hubungan ras di Malaysia.
D.
Arah dan Prospek Civil Society
dalam Wacana Etnisitas
Civil society merupakan sebuah tatanan
kehidupan masyarakat yang demokratis, pluralistis, transparan, dan partisipatif
dimana peran infra dan supra struktur berada dalam keseimbangan yang dinamis.
Berbagai perubahan–perubahan sosial politik yang cukup signifikan terjadi oleh
sementara orang dipandang sebagai pendorong proses demokratisasi dan
perkembangan civil society. Namun,
sebagian pendapat mengatakan prospek masyarakat ini dalam tahun-tahun mendatang
kelihatannya belum serba pasti. Ada perkembangan tertentu yang menggembirakan,
kondusif, dan mendukung bagi pencipta civil
society, tetapi pada saat yang sama ada juga perkembangan dan indikasi
tertentu yang kurang menggembirakan yang pada gilirannya dapat menjadi
tantangan bagi perkembangan peradaban masyarakat itu sendiri.
Disini
kita dapat melihat banyak terjadi pergeseran nilai sosial dan politik dalam
tatanan masyarakat sebagai siklus perubahan dimana kita tengah berada pada
titik memulai kembali pembentukan civil
society dengan menyatukan kembali perbedaan-perbedaan menjadi sebuah
pengakuan atas pluralitas yang stabil dan dinamis, yang di dalamnya masyarakat
memiliki ruang untuk bernapas dengan komitmen kemanusiaan dan keadilan.
Akan
tetapi harus diakui, membangun sebuah masyarakat yang berperadaban, maju dan
bermartabat dalam ikatan persamaan dan persaudaraan sejati memerlukan kerangka
dan pendekatan yang lebih bersifat evolusioner dari pada revolusioner. Dalam
wacana pendekatan terhadap budaya memberikan arah yang frontal dan signifikan
untuk membentuk sebuah pembaruan dalam pemberdayaan civil society. Adalah mustahil untuk menegakkan sebuah pluralitas
yang berakar dari kesamaan dan persaudaraan sejati jika penghormatan pada
martabat dan nilai kemanusiaan jika pendekatan sosio-kultur tidak pernah
digalakkan.
Arah
civil society yang dibangun dalam
wacana etnisitas ini memberikan sebuah prospek tendesial dan fungsional dalam
membentuk horisontalitas yang dinamis dan mengukuhkan sebuah masyarakat yang
lebih berbudaya. Namun arah ini bukan memisahkan suku dan bangsa dalam sebuah
dikotomi tetapi dijabarkan dalam sebuah kesatuan pandangan sebagai bangsa
Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etnisitas
merupakan sebuah perangkat yang membentuk adanya kesatuan identitas sebagai
individu berkelompok. Sejarah telah membuktikan bahwa peran perbedaan dalam
budaya bukan menjadi halangan dalam menciptakan masyarakat peradaban. Civil society mengandaikan adanya satu
kesepakatan nasional untuk menjamin demokratisasi rakyat yang lebih bertanggung
jawab. Peradaban bangsa memang pantas dipertanyakan ketika kekuatan yang
tercermin menggadaikan peradaban itu sendiri.
Keadaan
Indonesia yang plural bukan mustahil akan menghalangi pemberdayaan civil society. Namun perlu diingat
perbedaan ini akan menguatkan bangsa itu sendiri ketika masing-masing rakyat
Indonesia memiliki satu paham dalam konteks etnisitas yang universal sebagai
etnik Indonesia. Keberadaan sebagai etnis Indonesia ini sudah tentu akan
menjamin sebuah kekuatan mental yang membantu peningkatan daya saing bangsa
dalam menyikapi perkembangan global dewasa ini. Jika segenap komponen bangsa
Indonesia berada dalam konteks sebagai sebuah kesatuan yang berbudaya yang
sama, berbahasa yang sama, bertanah air yang sama maka pantas dikatakan bahwa civil society versus etnisitas bukanlah
konsep utopia.
Dengan
adanya politik asimilasi dan diskriminasi etnik di era Orde Baru dan pemerintah
sebelumnya, ternyata hanya menghasilkan konflik-konflik sosial yang berkepanjangan
dan cukup memilukan, yang tentu dapat mengancam proses integrasi nasional.
Pendekatan
multikulturalism kiranya merupakan sebuah tawaran strategis untuk mengubah
model pendekatan lain yang pernah ada. Karena pendekatan ini merupakan model
baru yang cukup baik tetapi belum banyak teruji, maka pemerintah seyogyanya
merapkan politik kubudayaan yang arif dengan menyedia-kan sarana prasarana
dapat berupa himbauan moral, dorongan atau dalam bentuk peraturan perundangan
yang kondusif. Kalaupun nantinya akan terjadi proses akulturasi atau asimilasi
biar terjadi dengan sendirinya dan tidak dapat dipaksakan.
Eksistensi
etnis ini sepenuhnya juga harus dihargai dan kita hormati, termasuk kehadirannya
sebagai warga negara. Harapannya mereka tentu juga akan sepenuhnya menghargai
etnik-etnik lain di sekitarnya, dan mau turut serta dalam mendorong terciptanya
proses integrasi nasional yang permanen dan mau mendorong terwujudnya
masyarakat madani di negara Republik ini.
B. Saran
Mungkin
mudah bila kita menempatkan wacana civil
society dalam setiap kampanye-kampanye tentang demokrasi. Konsep etnisitas
yang dipaparkan oleh penulis bukanlah konsep baru. Ini sudah ada sejak
perjuangan pra kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hal yang dapat penulis
paparkan sebagai saran:
1.
Pembentukan kesadaran sebagai bangsa
yang beragam dari segi budaya yang pada akhirnya bisa menimbang satu kesatuan
yang memberikan kekuatan mental untuk tetap bersatu.
2.
Menciptakan satu keadaan yang tidak
memutlakkan primordialisme dan etnosentrisme yang sempita sehingga pertentangan
antar etnik ataupun antar kelompok massa dapat dengan mudah dihindarkan.
Beberapa catatan praktis yang bisa
dipaparkan disini:
1.
Dialog berkesimbungan antara pemerintah
dan elemen budaya seperti tetua adat dari suku terkecil sampai kelompok etnik
modern.
2.
Pemerintah memberikan awasan kepada
radikalisme kelompok yang sudah mengancam integritas bangsa.
3.
Tindakan keras kepada kelompok yang
mengatasnamakan rakyat tetapi terlihat jelas hanya mementingkan kelompok dan
idelisme kelompoknya sendiri.
4.
Menjadikan wacana ini sebagai sebuah
konsep yang bisa diajarkan disekolah-sekolah sebagai bagian dari pendidikan
demokrasi yang berkesinambungan. Hal ini membentuk akar yang kuat dalam sebuah
perumusan civil society yang utuh.
Namun wacana yang diajarkan hendaknya berdasarkan sebuah perumusan yang tepat
sasar bukan adopsi dari pendidikan barat.
5.
Amandemen konstitusi. Ini adalah sesuatu
yang urgen dalam pembentukan sebuah keteraturan budaya, tradisi, yang akhirnya
bisa membentuk konsep etnisitas bukan hanya sekadar padangan kesatuan suku
tertentu tetapi lebih kepada kesatuan sebagai bangsa Indonesia (etnik
Indonesia).
Hal-hal di atas memang bukan sesuatu
yang aktual namun bila kita melihat secara lebih nyata lagi perbedaan budaya
masih saja menjadi sumber konflik yang bisa saja terjadi. Karena itu bila
kesadaran sebagai ‘satu’ dalam budaya yang sama ditanamkan secara dini, maka
hal itu akan dengan mutlak menjadikan bangsa ini sebagai sebuah bangsa yang
besar. Bangsa yang bisa berkompetisi secara sehat dan positif dengan bangsa
lain. Akhirnya penulis hanya bisa menulis dan sebagai implementasinya semuanya
hanya terserah dari seluruh komponen bangsa yang memiliki loyalitas dan
dedikasi penuh terhadap jati dirinya sendiri sebagai bangsa yang merdeka.