Kamis, 31 Mei 2012

ANALISIS PERBANDINGAN CIVIL SOCIETY, ETNISITAS DAN NEGARA DI INDONESIA DAN MALAYSIA


PERBANDINGAN CIVIL SOCIETY, ETNISITAS DAN NEGARA DI INDONESIA DAN MALAYSIA


MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Individu Pengganti
UAS Mata Kuliah Civil Society.


Disusun oleh:
Kariena Febriantin
170410080043



DAFTAR ISI

Halaman Judul         
Daftar Isi        
BAB I. PENDAHULUAN  
1.1.Latar Belakang    
1.2.Kajian Pustaka     
A.    Civil Society   
B.     Etnisitas: Sebuah Konsep
C.     Etnis dan Konflik
BAB II. PEMBAHASAN
A.    Etnis dan Konflik di Indonesia dan Malaysia
B.     Civil Society di Indonesia dan Malaysia
C.     Hubungan Civil Society, Negara dan Etnisitas 
D.    Arah dan Prospek Civil Society dalam Wacana Etnisitas
BAB III. PENUTUP
A.    Kesimpulan          
B.     Saran       
DAFTAR PUSTAKA        



DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:
-          Alfian. 1985. “Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia”. Jakarta: LP3ES.
-          Barth, Fredrik, 1988, ”Kelompok Etnik dan Batasannya”, Jakarta:UI‑Press, Diterjemahkan oleh Nining I. Soesilo.
-          Coppel, Charles A., 1994. Tionghoa Indonesia dalam Bisnis, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
-          Daliman, A. 1999. “Reorientasi Pendidikan Sejarah melalui Pendekatan Budaya Menuju Transformasi Masyarakat Madani dan Integrasi Bangsa”, Cakrawala Pendidikan. Edisi Khusus Mei Th. XVIII No. 2.
-          Farkan, H. 1999. “Piagam Medinah dan Idealisme Masyarakat Madani”. Bernas, 29 Maret.
-          Gellner, E. 1995. “Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan”. (Terjemahan Hasan, I) Bandung: Mizan.
-          Graaf, H.J. de & Th. Pigeaud, 1998. “Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Historisitas dan Mitos”. Yogyakarta: Tiara Wacana.
-          Greif, Stuart W. 1991. “WNI: Problematik Orang Indonesia Asal Cina”, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
-          Habibie, B.J. 1999. Keppres No. 198 Tahun 1998 Tanggal 27 Februari 1999. Jakarta.
-          Hamim, Thoha. 2000. “Islam dan Civil Society (Masyarakat madani): Tinjauan tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-          Harsoyo, 1988, “Pengantar Anmtropologi”, Bandung: Bina Cipta.
-          Hefner, R.W. 1998. “Civil Society: Cultural Possibility of a Modern Ideal Society”, Vol.35, No, 3 Maret/April.
-          Hikam, A. S. 1999. “Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society”. Jakarta: Penerbit Erlangga.
-          In Guan, Lee Hock (ed.), 2004. “Civil Society in South East Asia”. NIAS Press.
-          Kartodirjo, S. 1999. “Multi-Dimensi Pembangunan Bangsa: Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan”. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
-          Kleden, I. 1986. “Sikap Ilmiah dan Kritik dan Kebudayaan”. Jakarta: LP3S.
-          Kompas, 14 Maret 2001, “Asimilasionisme vs Multikulturalisme”.
-          Kubitscheck, Hans Dieter (Ed.), 2004. “Ethnic Minorities and Politics in Southeast Asia”. Berlin: Peter Lang.
-          Ling, Tan Swie, 2000, “Peran Tionghoa di Indonesia Dahulu dan Sekarang”, Makalah dalam Seminar Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia di Jakarta.
-          Magnis-Suseno, F.1998. “Mencari Makna Kebangsaan”. Yogyakarta: Kanisius.
-          Mangunwijaya, Y. B. 1998. “Menuju Republik Indonesia Serikat”. Jakarta: Gramedia.
-          Mitakda, J. 2000. “Etnosentrisme: Akar dan Tantangannya”. Basis. Np.6-10. Mei.
-          Möller, Frida, DeRouen, Karl, Bercovitch, Jacob, Wallensteen, Peter, 2007. “The Limits of Peace: Third Parties in Civil Wars in Southeast Asia”, 1993-2004. Negotiation Journal. Vol. 23, No. 4, pp. 373-391.
-          Nordholt, N. S. 1999. “Civil Society di Era Kegelisahan”. Basis. Np. 3-4. Maret.
-          Paris, Roland, 2004. At War’s End. Building Peace After Civil Conflict. London: Cambridge University Press.
-          Ramasamy, P, 2004. “Civil Society in Malaysia – An Arena of contestations?”
-          Reynal-Querol, Marta, 2002. “Ethnicity, Political Systems, and Civil Wars. Journal of Conflict Resolution”. Vol.46, No.1, pp.29-54.
-          Rüland, Jürgen, 2005. “The Nature of Southeast Asian Security Challenges. Security Dialogue”. Vol. 36, No. 4, pp. 545-563.
-          Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online. 5 November 1999.
-          Suharto, E. 2002. “Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers dalam Mewujudkan Masyarakat yang Berkeadilan”. (http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm). Diakses pada tanggal 13 Desember 2011.
-          Verma, Vidhu, 2002. “Malaysia – State and Civil Society in transition”. London: Lynne Rienner.
-          Wahid, Abdurrahman. 1999. “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam”. (http:/artikel.isnet.org/Islam/Paramadina/Konteks/Universalisme.html). Diakses pada tanggal 13 Desember 2011.
-          Wahid, Abdurrahman. 2000. “Tuhan Tidak Perlu Dibela”. Yogyakarta: LkiS.
-          Welsh, Bridget – Suffian, Ibrahim – Aeria, Andrew, 2007. “Malaysia Country Report. Working Paper Series: No. 46. Asian Barometer: A Comparative Survey of Democracy, Governance and Development”. Global barometer: Working Paper Series.
-          Wilmott, Donald E., 1960, The Chinese of Semarang: A Changing Minority in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press.
-          Wiriadinata, Debora, 1998, Chinese Indonesian Dilema: The Younger Generation of Chinese Indonesia, Search for Identity, Thesis Ohio University.
-          Yaapar, Salleh, 2005. “Negotiating Identity in Malaysia: Multi-Cultural Society, Islam, Theatre and Tourism in Asian Journal of Social Science”. Vol. 33, No. 3 pp. 473-485.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
            Sebagai buntut dari perang bersenjata Dingin konflik antar negara menurun secara global, sementara bersenjata konflik intra-negara meningkat secara dramatis. Selama tahun 1990-an lebih dari 90% dari semua konflik bersenjata yang ada digolongkan sebagai perang saudara (Paris, 2004:1). Dengan meletusnya perang etnis di Eropa, Asia dan Afrika, peran etnis juga dipilih sebagai faktor sentral bagi konflik bersenjata di pasca era perang Dingin (Joireman, 2003:1). Dalam perkembangan ini, masyarakat internasional dan spektrum yang luas dari bidang penelitian, ternyata perhatian mereka terhadap intra-negara resolusi konflik dan manajemen. Dengan jatuhnya komunisme dan sejumlah perubahan lain, seperti munculnya demokrasi baru, interaksi global yang meningkat di dunia yang semakin tidak aman, dan peningkatan yang signifikan dari LSM global, fokus secara luas berpaling ke arah peran masyarakat sipil sebagai unsur penting atau mitra dalam intra-negara membangun proses perdamaian (Edwards, 2004:2). Singkatnya, berbagai, politisi dan cendekiawan praktisi di seluruh dunia diantisipasi bahwa civil society akan menjadi pusat penting untuk inisiasi dan keberlanjutan proses perdamaian. Sebagai sebuah konsep civil society dapat digambarkan sebagai suatu bidang sosial, diposisikan antara individu dan negara non-pemerintah dan non-profit dimana kegiatan dan nilai-nilai kesopanan dipraktekkan (Belloni, 2001:168).
            Civil society secara luas telah disahkan sebagai suatu bidang yang vital untuk proses demokratisasi, supremasi hukum, dan menghormati hak asasi manusia itu demikian diantisipasi bahwa masyarakat etnis terpecah akan mencapai perdamaian yang berkelanjutan meskipun civil society (Belloni, 2001:163). Selama sejarah pentingnya dan karakteristik civil society telah diperiksa dan diperdebatkan oleh para filsuf Barat banyak dan ilmuwan sosial. Pentingnya masyarakat sipil dalam masyarakat di dunia Barat namun belum dihasilkan jumlah yang sama dari penelitian (Edwards, 2004:10). Asia adalah benua terpadat di planet, dan perang sipil di Asia sebagian besar ditemukan di Asia Tenggara (Möller, DeRouen, Bercovitch, Wallensteen, 2007:376). Dengan pengembangan Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang kemungkinan konflik bersenjata antara bangsa-bangsa di wilayah itu secara signifikan berkurang (Rüland, 2005:546). Kemajuan serupa belum tercapai tentang intra-negara resolusi konflik (Vatikiotis, 2006:29), seperti perang sipil di Asia Tenggara cenderung berkepanjangan dan bermunculan (Möller et al, 2007:376). Misalnya, munculnya kekhawatiran dan intensifikasi konflik internal di Indonesia. Di negara tetangga seperti Malaysia intra-konflik belum pernah meletus. Malaysia bukannya telah berhasil menghindari berkepanjangan namun malah muncul kembali konflik kekerasan etnis (Reynal-Querol, 2002:29-30).
            Berangkat dari sebuah sejarah. Sejarah bangsa Indonesia telah banyak melukiskan berbagai kenyataan dan pengalaman yang bisa menghadirkan sebuah kedewasaan bangsa. Sejak gerakan reformasi digulirkan, wacana tentang perubahan bangsa mulai dikampanyekan. Satu hal yang menjadi wacana publik adalah civil society. Pemikiran ke arah civil society semakin gencar digelar dan dapat disimpulkan bahwa ini lahir dari semacam frustasi sosial akibat tekanan kebijakan pemerintah yang kurang berpihak dengan rakyat.
            Terlepas dari persoalan ini kita mungkin bisa menyimak, mengingat, bahkan mengalami sendiri sebagai rakyat apa yang terjadi saat ini. Mungkin pemerintah benar dengan Undamg-undang Otonomi Daerah, dimana setiap daerah diberikan peran tendensial yang memungkinkan adanya kekuatan rakyat untuk berperan sendiri dalam mensejahterakan hidupnya. Namun kenyatan berbicara lain. Pilkada di daerah rusuh, korupsi di daerah, pencabutan hak sebagai gubernur, pemecatan terhadap anggota DPRD tanpa mengacu pada konstitusi, pemberontakan laten terhadap kelompok tertentu dan lain sebagainya telah menjadi berita di hampir semua channell televisi dan mass media lainnya.
            Wacana diatas mungkin bisa memberikan satu gambaran tentang bangsa Indonesia secara keseluruhan. Saat ini ketika demokrasi diagungkan, kebebasan sebagai rakyat mulai dimanfaatkan. Kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat akhirnya menjadi sebuah pergerakan yang menunjukkan identitas sebagai “rakyat”. Banyak kelompok yang terbentuk, entah itu kelompok etnik maupun kelompok massa lainnya. Kenyataan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok itu berada dalam sebuah kendali, cita-cita, dimana tatanan nilai yang diperjuangkan berdasarkan budaya sendiri bahkan akhirnya membentuk sebuah kekuatan frontal yang mengagungkan kelompoknya sendiri.
            Kita boleh percaya dan boleh tidak akan adanya kemerosotan moral humanistik yang kini menampilkan dirinya.            Tragedi Ambon, Poso, Aceh terjadi berdasarkan hal-hal tragis bisa saja terjadi kembali tetapi peristiwa-peristiwa tersebut terlalu cepat berlalu dan terlupakan. Namun perlu disadari bahwa kita ditegur untuk terpaksa bertanya tentang motor penggerak kemanusiaan kita. Disini juga realitas jati diri sebagai bangsa yang merdeka dan demokratis dipertanyakan.
            Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar terkadang bisa menghancurkan kesatuan bangsa ini. Keragaman budaya yang telah dipersatukan dalam kompleksitas kebudayaan nasional bukan tidak mungkin telah menjadi bagian yang sulit bahkan menjadi tantangan dalam pembentukan civil society. Etnosentrisme, primordialisme, rasisme bahkan menjadikan segenap rakyat Indonesia berpola pikir sempit dan tidak mau peduli dengan bangsanya sendiri.
            Perwujudan sebagai satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa memang sejak tahun 1928 telah dikumandangkan. Bahkan sebelum itu, ketika era kebangkitan bangsa bergulir, hakikat sebagai satu bangsa menjadi landasan perjuangan para pahlawan intelektual masa itu. Memang hal ini bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak sengketa atau konflik dalam kenyataan sehari-hari yang terjadi didasarkan oleh adanya prasangka budaya dan keagungan primordialisme yang membentuk sebuah aliran etnosentris yang negatif (sebuah aliran yang non-univesality).
            Mengkaji akan banyaknya keragaman suku bangsa dan budaya Indonesia maka dihadirkan sebuah wacana sebagai pemecahan masalah yang menjadi tolok ukur dalam pemberdayaan civil socety. Bukanlah hal yang mustahil pemberdayaan civil society dibangun dari adanya kesatuan konsep budaya, yang menunjukkan bahwa ini bukan ras tertentu atau etnis tertentu tetapi segenap bangsa Indonesia yang menghadirkan sebuah label sebagai satu etnis bangsa atau satu ras atau satu suku yakni Indonesia. Konsep ini bukanlah sebuah konsep baru tetapi hanya merupakan iktisar dari wacana tentang kebudayaan nasional, kebudayaan yang merupakan rangkuman dari kebudayaan daerah dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa yang dilandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
            Keragaman budaya Indonesia dimanifestasikan dalam keragaman pola pikir dan perilaku masyarakat. Masing-masing manusia Indonesia memang berbeda. Namun perbedaan itu bisa disatukan dalam sebuah konteks rasa, pola pikir, dan perilaku sebagai satu kesatuan. Demokrasi yang berkembang di Indonesia memberikan andil untuk perumusan kesamaan persepsi sebagai bangsa. Kajian demokratisasi yang bertolok ukur dari pemberdayaan masyarakat yang beradab memang berjalan sesuai dengan frame yang ada. Namun terkadang para pelaku demokrasi termasuk rakyat sendiri melupakan sebuah identitas bangsa bahwa bangsa Indonesia ini terdiri dari bermacam-macam suku bangsa.
            Rakyat Indonesia masih sulit melepaskan tradisi kesukuan di atas pamor primordialisme dan etnosentrisme yang sempit. Logikanya ketika tradisi itu diagungkan maka keangkuhan identitas suatu suku menjadi awal malapetaka sengketa nasional entah itu secara laten maupun terbuka.
            Pembentukan civil society dimanifestasikan dalam sebuah aktivitas dan partisipasi masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Disini masyarakat dapat dikatakan beradab. Namun terkadang keadaan ini malah menghancurkan masyarakat itu sendiri. Generalisasi ini bukannya tanpa fakta. Sterotype dan prasangka masing-masing etnik atau suku atau ras bisa menciptakan chaos.
            Kenyataan yang dipaparkan di atas memang bukanlah sesuatu yang baru. Tetapi bagi penulis ini adalah sebuah permasalahan yang faktual sepanjang masa sebelum bangsa ini merasa, berpikir, dan berperilaku sebagai satu bangsa. Memang ini sangat sulit ketika pemberdayaan civil society dibentengi oleh sebuah tradisi kesukuan antar satu dengan yang lainnya. Akan tetapi itu semua bukanlah sebuah ‘sad ending’. Pergerakan demokrasi yang dilabeli oleh pemberdayaan civil society masih berada dalam sebuah usaha ke arah pemberdayaan dan pertumbuhan. Dengan dilatarbelakangi oleh permasalahan diatas, maka penulis mencoba membuat makalah dengan tema “Civil Society, Etnisitas dan Negara”, yakni mengenai pemberdayaan civil society yang dipertemukan oleh kesatuan bangsa/negara dalam kerangka kebudayaan yang beragam ini. Etnosentrisme dan rasisme yang menjadi tantangan dalam sebuah pemberdayaan civil society bisa dihindari. Konsep etnosentrisme dan rasisme bukanlah sesuatu yang negatif, mengandaikan bangsa/negara ini memahami benar apa itu sebuah kesatuan bangsa/negara. Dalam hal ini kesatuan pandangan budaya sebagai satu bangsa/negara, satu tanah air, satu bahasa, dalam wacana etnisitas nasional.
            Ini bukanlah sesuatu yang mustahil yang menghadirkan keberadaan konsep sebagai sebuah bangsa di antara beribu bangsa lain yang ada di muka bumi ini. Pemberdayaan civil society dalam kesadaran etnis sebagai satu bangsa akan meningkatkan daya juang bangsa ini. Wacana etnisitas yang terlepas dari etnosentrisme sempit memberikan prospek dan arah pada pemberdayaan peradaban manusia Indonesia dalam meningkatkan peran serta untuk berkompetisi secara sehat menanggapi perkembangan global dengan negara lain.adapun makalah ini akan membandingkan bagaimana perkembangan civil society, etnisitas dan negara antara Indonesia dengan Malaysia, yang dilandasasi oleh pemikiran, bahwa makalah ini dapat menjelaskan peran civil society dalam kaitannya dengan konflik etnis di Indonesia dan Malaysia.

1.2  Kajian Pustaka
A.    Civil Society
A.1  Terminologi Civil Society
      Kata civil society sebenarnya berasal dari konsep Yunani yakni koinia politika yang menjelaskan sebuah komunitas politik dimana warga citizen terlibat langsung dengan pemerintahan polis. Orang yang pertama kali mencetuskan istilah civil society ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani Kuno. Civil society menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka kota dipahami bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat peradaban dan kebudayaan (Hikam, 1999). Terlepas dari akar kata di atas, Adam Ferguson memahami civil society sebagai sebuah visi etis dalam sebuah solidaritas sosial. Demikian juga Hegel mendefenisikan civil society sebagai sebuah lembaga sosial yang berada di antara keluarga dan negara, yang dipergunakan oleh warga sebagai ruang untuk mencapai pemuasaan kepentingan individu dan kelompok. Alexis de Tocqueville menyatakan civil society dapat dimengerti sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dalam ciri-ciri kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, dan kemandirian berhadapan dengan negara. Tocqueville juga menekankan di sini adanya dimensi kultural yang membuat civil society dapat berperan sebagai kekuatan penyeimbang, yakni semacam keterikatan dan kepatuhan terhadap norma-norma dan tradisi yang ditanamkan dalam masyarakat tertentu (Hikam, 1999).
      Hefner (1998) menyatakan bahwa civil society merupakan masyarakat modern yang bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat yang semakin plural dan heterogen. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks, penuh persaingan, dan perbedaan.
      Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa civil society merupakan suatu kehidupan sosial yang menjamin kesinambungan interaksi dan solidaritas sosial yang dilandasi oleh keberadaan kultur atau tradisi atau norma dalam masyarakat tersebut. Disini pluralitas dalam suatu masyarakat memberikan satu kebebasan dalam partisipasinya terhadap suatu kondisi global untuk menjamin sebuah peradaban.
      Konseptualisasi masyarakat sipil telah terlibat sejak filsuf klasik jaman dahulu, namun konsep masyarakat sipil hanya baru-baru mencapai internasional pusat panggung. Sebagaimana disebutkan di atas beberapa perkembangan menjelang akhir perang dingin dan berbagai aliran di era pasca perang Dingin berikut luas kembali kepentingan bagi masyarakat sipil. Meskipun ambiguitas yang masyarakat sipil ditegakkan di kalangan sangat berbeda dan keadaan politik di spektrum (Kaldor, 2003:2). Hari ini  masyarakat sipil umumnya dijelaskan sebagai lingkup kegiatan kolektif sukarela mencakup kepentingan bersama, tujuan, dan nilai-nilai peradaban (Pouligny, 2005:497). Lingkup ini selanjutnya dibedakan dari lembaga negara, pasar, dan keluarga. Batas-batas yang kabur, kompleks dan dinegosiasikan dalam realitas masyarakat sipil mengelilingi suatu cakupan luas ruang, aktor dan bentuk kelembagaan (Pouligny, 2005:497). Setelah semua, orang dapat sekaligus menjadi warga negara, konsumen, pekerja dan pemilih (Edwards, 2004:24). Meskipun masyarakat sipil adalah sebuah fenomena multifaset organisasi "CIVICUS" (Dunia Aliansi untuk Partisipasi Masyarakat) telah berhasil melakukan jalan melanggar penelitian masyarakat sipil dalam lebih dari dua puluh negara (Keane, 2003:4).
      Menurut organisasi ini masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai "lingkup lembaga, organisasi dan individu terletak di antara keluarga, negara
dan pasar, di mana orang mengasosiasikan secara sukarela untuk memajukan umum
kepentingan" (Holloway, 2001:6). Selain itu juga perlu untuk sekali lagi ulangi bahwa baik masyarakat sipil maupun sektor masyarakat yang berbeda terisolasi fenomena (lihat Gambar 1). Mereka agak saling terkait dalam upaya mereka untuk mempromosikan kesopanan (Holloway, 2001:7).
      Gambar 1. Civil society as an overlapping and interconnected sphere within the sectors of society. (Source: Holloway, 2001:7)

      Persepsi masyarakat sipil multifaset selanjutnya berasal dari konseptual variasi dari masyarakat sipil dari waktu ke waktu (Kaldor, 2003:16). Sejak klasik filsuf zaman kuno telah disebut masyarakat sipil dalam wacana seputar sifat dari masyarakat yang baik, hak dan kewajiban warga negara, praktek
politik dan pemerintah, dan bagaimana individu otonomi harus seimbang
dengan kebutuhan kolektif (Edwards, 2004
:6). Filsuf Hegel berpendapat bahwa G.W.F masyarakat sipil bukanlah pra-diberikan "alami" ekspresi kebebasan, melainkan historis dibangun lingkup kehidupan etis yang mencakup ekonomi, sosial kelas, korporasi dan institusi (Keane, 1998:50).
      Menurut Hegel sipil masyarakat tidak dapat memberikan stabilitas dan harmoni sosial otonom, sebagai banyak interaksi dan pertarungan dalam masyarakat sipil bisa juga menyebabkan konflik kekerasan. Hegel dengan demikian menggarisbawahi bahwa negara modern adalah diperlukan pengatur masyarakat sipil (Keane, 1998:50). Hegel memisahkan negara dan keluarga dari masyarakat sipil, tapi dia tidak membedakan ekonomi pasar dari sipil masyarakat. Filsuf Antonio Gramsci dalam dibuat kontras perbedaan ini, dan
lebih lanjut berpendapat bahwa masyarakat sipil adalah bola antara negara dan kelas-terstruktur
ekonomi (Keane, 1998:15). Menurut Gramsci masyarakat sipil dijunjung tinggi oleh budaya lembaga, seperti asosiasi sukarela, sekolah dan universitas, media dan gereja-gereja. Melalui lembaga-lembaga masyarakat sipil, Gramsci berpendapat, negara mempertahankan posisi hegemonik dengan sosialisasi ideologi dan nilai-nilai di kalangan kelas pekerja, dan dengan demikian mendapatkan persetujuan populer (Kaldor, 2003:21). Pada saat yang sama Gramsci ditegakkan bahwa masyarakat sipil tidak selalu merupakan lingkup kontrol negara hegemonik, tetapi juga sebagai sebuah situs yang kuat potensi untuk memberontak terhadap koersif negara. Pemberontakan ini dapat dilakukan oleh aktivisme melalui budaya lembaga dalam masyarakat sipil (Kaldor, 2003:21; Edwards, 2004:8). Hegel dan dengan demikian digarisbawahi Gramsci keuntungan serta risiko dengan masyarakat sipil.
      Dalam era pasca perang dingin konsep yang lebih kontemporer masyarakat sipil terutama peningkatan aspek menguntungkan masyarakat sipil. Sebagian besar konsep-konsep ini mengacu pada karya sejarawan Alexis de Tocqueville. Sebagai Edwards (2004:10) menulis: "Ini adalah Alexis de Tocqueville hantu yang berkeliaran di lorong-lorong Dunia Bank ...". Menurut de Tocqueville dan kebebasan individu masyarakat yang baik hanya bisa dilindungi melalui apa yang disebut "expedients demokratis" (Kaldor, 2003:19). Ini termasuk pemerintahan sendiri-lokal, pemisahan gereja dan negara, pers bebas, pemilu tidak langsung, peradilan yang independen dan disebut asosiasional hidup. De Tocqueville disebut kehidupan asosiasional sebagai jaringan di sipil kehidupan yang orang bisa bergabung untuk memberikan layanan yang berbeda dan kegiatan budaya.
      Kegiatan-kegiatan sipil akan mengurangi pengaruh lembaga-lembaga sentralisasi dan memungkinkan cek pada kekuasaan negara, yang pada gilirannya akan melindungi pluralisme dan kesetaraan (Kaldor, 2003:19-20). Akun-akun filosofis yang disebutkan dalam berbagai cara mengintegrasikan atau membedakan masyarakat sipil dalam kaitannya dengan struktur negara. Peneliti Mary Kaldor (2003) dan John Kean (2003) namun berpendapat bahwa semakin pentingnya globalisasi harus dimasukkan dalam konseptualisasi saat sipil masyarakat. Otonomi individu, self-organisasi dan ruang swasta tidak hanya menjadi nilai penting dan gol selama berakhirnya komunisme di Eropa, namun di seluruh dunia negara-negara otoriter ditantang (Kaldor, 2003:4). Sebagai global keterkaitan tumbuh selama era ini batas-batas masyarakat sipil sehingga mulai mengikis (Kaldor, 2003:5). Sebagai contoh, jumlah LSM internasional telah meningkat secara dramatis dan diperkirakan bahwa organisasi ini menyalurkan lebih modal daripada PBB (Keane, 2003:5).
      Gagasan peradaban selanjutnya bervariasi lintas budaya. Ini tidak hanya menggarisbawahi bahwa masyarakat sipil global secara sosial dibangun, tetapi interaksi sosial, dimensi dan dampak masyarakat sipil jauh melampaui konseptualisasi negara Barat sentris masyarakat sipil (Keane, 2003:12;19-21).

A.2  Esensi dan Karakteristik Civil Society
      Munculnya eksperimen demokrasi melalui pemberdayaan civil society setidaknya perlu dipahami esensi dari makna civil society itu sendiri. Hikam (1999) memaparkan beberapa esensi makna civil society, sebagai berikut:
1.      Adanyai ndividu dan kelompok mandiri dalam masyarakat. Kemandirian itu diukur terutama mereka berhadapan dengan negara.
2.      Adanya ruang publik bebas sebagai tempat wahana dan kiprah politik bagi warga negara.
3.      Kemampuan masyarakat dalam mengimbangi kekuatan negara, kendati tidak melenyapkannya secara total.
      Esensi ini kemudian dilengkapi oleh Bahmueller (dalam Suharto, 2002) yang mengemukakan, ada beberapa karakteristik civil society, di antaranya:
1.      Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif ke dalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2.      Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3.      Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4.      Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5.      Tumbuh kembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rezim-rezim totaliter.
6.      Meluasnya kesetiaan dan kepercayaan, sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7.      Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.

A.3  Tantangan Civil society
      DuBois dan Milley (dalam Suharto, 2002) mengemukakan ada beberapa tantangan dalam civil society. Tantangan-tantangan tersebut hendaknya menjadi sebuah kewaspadaan dalam terbentuknya civil society yang berkesinambungan. Tantangan-tantangan tersebut dapat dideskripsikan seperti di bawah ini.
1)      Sentralisme versus Lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam paham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme dan keadilan sosial.
2)      Pluralisme versus Rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan dibandingkan dengan upaya untuk mengeliminasi kharakter etnis, pluralisme budaya, dan berjuang untuk memelihara integritas budaya. Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3)      Elitisme versus komunalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat. Sementara itu komunalisme adalah perasaan superioritas yang berlebihan terhadap kelompoknya sendiri dan memandang kelompok lain sebagai lawan yang harus diwaspadai dan kalau perlu dibinasakan.

B.     Etnisitas: Sebuah Konsep
B.1  Etnosentrisme, Primordialisme dalam Wacana Etnisitas
      Webber (dalam Mitakda, 2000) membedakan antara etnik grup dari ethnic membership. Grup etnik adalah kelompok yang terikat oleh kesamaan turunan, sosok fisik, adat istiadat, ataupun suatu memori atas penjajahan dan migrasi. Pertalian darah bagi Webber tidak terlalu mendasar untuk merekatkan tali ikat kelompok etnik. Tanpa hubungan darah kelompok etnik bisa terbentuk. Juga tindakan-tindakan sosial yang nyata tidak sekaligus menciptakan dan menciri khaskan grup etnik ini. Hal ini berbeda dengan corak etnik lain yakni keanggotaan etnik yang hanya memberikan peluang untuk mengorbankan kelompok saja khususnya kelompok partai. Ciri utamanya adalah komunitas politik. Webber tidak menggubris soal cara membentuk dan bentuk komunitas politik ini. Nyata bahwa kesadaran atau kesukuan tidak dibentuk untuk pertama-tama oleh pertalian leluhur yang sama, tetapi justru oleh pengalaman-pengalaman politik. Hal ini kini tampak telah menjadi sumber keyakinan yang menetap dalam suku pada umumnya.
      Webber menggarisbawahi kombinasi corak subyektif dan obyektif dari etnisitas. Webber memang berayun di antara dua kutub yang membentuk suatu kelompok etnik. Baginya naluri pemersatu kelompok etnik itu diayun oleh faktor-faktor politis dan peristiwa masa lampau tetapi sekaligus juga oleh kesatuan budaya dengan perbedaan-perbedaan biologis yang sekaligus memberikan batas afiliasi etnik. Dalam konteks ini bahasa menjadi penting. Bahasa bukan saja dipandang sebagai satu perekat kuat dari kelompok etnik dan keanggotaan kelompok etnik. Bahasa juga adalah pembawa dan pemelihara kepemilikan budaya yang khusus dari kelompok yang menyebabkan sikap saling memahami menjadi mungkin dan mudah. Hilang dan lemahnya salah satu faktor akan mengancam daya kekuatan etnik bahkan menyebabkan satu etnik hilang dari muka bumi. Tentang daya kekuatan etnik ditentukan oleh beberapa faktor. Webber menulis:
…mengambil bagian dalam memori politik, atau bahkan lebih penting lagi pada masa-masa awal dimana ada tautan erat dengan kultur lama ataupun juga pemberdayaan pertalian keluarga dan kelompok lain baik dalam komunitas yang baru maupun tua atau hubungan-hubungan lain yang masih bertahan (Mitakda, 2000).
           
      Salah satu unsur pengendapan dari analisis Webber tentang asal-usul kelompok etnik adalah corak pasifitas individu dibentuk oleh suatu daya di luar dirinya sendiri. Pandangan ini mengingatkan kita akan concience collective-nya Emille Durkheim. Tali pertautan yang mengikat kelompok etnik ini disebut oleh Clifford Gerth dengan istilah keterlekatan primordial. Dengan ikatan Primordial menunjukkan ada suatu ikatan yang diberi tanpa dikehendaki sang individu. Individu adalah bagian darinya. Individu justru lahir dalam komunitas yang partikular dimana dia berbicara dari dialek yang bersangkutan dan mengikuti adat istiadat setempat (Mitakda, 2000).
      Apa yang masyarakat rasa sebagai pantas dan bernilai dan tidak bisa ditelusuri kembali ke keputusan individu atau preferensi. Tidak seorangpun dapat memutuskan secara otonom sesuatu yang bernilai atau tidak. Penghargaan kita tidak dapat diciptakan atau dibuat, tetapi tergantung pada sesuatu yang melampaui kemampuan individu. Ikatan primordial adalah hadiah kebudayaan bagi seorang individu yang sifatnya tidak terlukiskan. Di dalam lingkungan ini dia merasa lebih aman pun dalam semua ketidak pastian perubahan yang terjadi di sekitarnya. Ikatan ini lebih semata-mata tautan natural.
      Masih banyak konsepsi tentang etnisitas yang dibicarakan filsuf-filsuf dan antropolog sosial tetapi di sini hanya mengacu pada beberapa pembatasan. Enam corak dalam kelompok etnik (Mitakda, 2000) yakni:
1.      Satu nama diri yang umum untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan esensi dari komunitas atau grup tersebut.
2.      Suatu fakta tentang permoyangan, leluhur yang lebih dari sekedar fakta yakni suatu mitos yang mengandung ide tentang asal-usul bersama.
3.      Ada unsur yang turut ambil bagian dalam memori-memori masa lampau.
4.      Memiliki satu atau lebih unsur-unsur budaya yang sama yang tidak selalu diklasifikasikan dalam agama, adat istiadat, dan bahasa.
5.      Ada suatu tautan dengan tanah air.
6.      Ada suatu rasa solidaritas pada kelompoknya.
      Keseluruhan etnosentrisme dan primordialisme ini mengacu kepada satu konsep yakni etnisitas. Etnisitas dibedakan dari ras, yang menekankan perbedaan biologis yang dicirikan oleh warna kulit. Etnisitas mengartikan suatu cita rasa dalam mana seorang termasuk dalam suatu komunitas khusus yang anggota-anggotanya memiliki tradisi yang sama. Tradisi mencakup semua makna simbolik seperti seni, agama, bahasa, dan komponen budaya lainnya. Harus ditekankan di sini bahwa fenomena etnisitas ini tidak identik dengan ras dan etnosentrisme. Etnisitas lebih mengacu kepada sebuah kekuatan dalam integritas, suatu keadaan yang menyatukan beragam komponen etnik dalam satu persepsi.

C.    Etnis dan Konflik
      Pada akhir 1990-an ada 5000 kelompok etnis yang hidup di dunia independen negara (Kymlicka, 1998:9). Toleransi antara kelompok etnis dapat menantang atas hal-hal seperti otonomi, hak bahasa, pendidikan, nasional simbol dan representasi politik (Kymlicka, 1998:9), tetapi kekerasan etnis konflik jarang terjadi sebagai kelompok yang paling etnis berjuang untuk hak-hak dan kemajuan tanpa kekerasan berarti (Joireman, 2003:1). Kekerasan etnis konflik seperti di Rwanda, bekas Yugoslavia dan Irlandia Utara meskipun menggarisbawahi pentingnya konseptualisasi etnis.
      Banyak faktor-faktor subyektif berkontribusi terhadap pembentukan identitas etnis. Budaya, kenangan dan rasa solidaritas semuanya memainkan peran dalam etnis konstruksi, dan faktor-faktor ini bervariasi menentukan kombinasi variabel identitas yang diprioritaskan dan disosialisasikan (Joireman, 2003:10). Individu dapat bentuk etnis mereka berdasarkan identitas yang berbeda atau beberapa. Konstruksi etnis dengan demikian dapat didasarkan pada berbagai identitas seperti agama, bahasa, ras, milik daerah, dan adat istiadat. Etnis tidak fenomena konstan. Etnis bisa menghilang dari waktu ke waktu dan berasimilasi ke dalam kelompok yang lebih besar, namun
etnis juga dapat muncul kembali
, seperti revitalisasi identitas Maya di
Amerika Tengah (Joireman, 2003:57-58). Kelompok etnis tambahan dapat
dibangun karena kategorisasi kelompok lain. Hal ini dapat terjadi ketika kelompok-kelompok yang dipersalahkan karena penyakit-penyakit sosial atau dipilih sebagai "orang lain" dalam rangka untuk mengotorisasi atau mengaktifkan ketidaksetaraan sosial ekonomi, yang secara teratur terjadi selama kolonialisme (Joireman, 2003:64). Etnisitas bukan fenomena yang berbeda, juga tidak secara intrinsik penyebab perang. Kebanyakan konflik etnis dilakukan melalui lembaga-lembaga politik dan saluran. Kekerasan  namun dapat menjadi faktor ketika perjuangan ataupersaingan antara kelompok etnis posisinya di luar arena politik (Joireman, 2003:146).
      Menghubungkan Civil Society dan Konflik Etnis Masyarakat sipil secara luas ditegakkan sebagai ruang multidimensi kesopanan dan antikekerasan, tetapi masyarakat sipil juga dapat berisi kantong ketidaksopanan (Keane, 2003:12-13). Penelitian oleh ilmuwan politik Ashutosh Varshney (2001:362) dalam masyarakat multikultural di India merupakan upaya pertama untuk menetapkan penelitian grounded hubungan antara masyarakat sipil dan konflik etnis.
      Varshney (2001:366) membedakan antara konflik etnis dan etnis kekerasan. Seperti yang telah diperkenalkan di atas konflik etnis ada di semua masyarakat majemuk karena untuk pertarungan lebih dari mis hak politik, kebutuhan materi atau ruang. Etnis konflik yang mengambil bentuk dilembagakan, misalnya parlemen representasi atau kekerasan aktivisme, karena itu dibedakan dari kekerasan etnis. Ketika konflik etnis
bergerak di luar bidang kekerasan institusional dapat meledak dalam berbagai
bentuk dan intensitas, misalnya kerusuhan ras, intra-state konflik atau perang saudara. Dari perspektif ini, Varshney (2001:365) menerapkan perdamaian etnis panjang. Perdamaian etnis dengan demikian tidak adanya konflik, tetapi tidak adanya kekerasan etnis.
      Untuk memperjelas hubungan antara masyarakat sipil dan konflik etnis Varshney (20001:363) membedakan antara dua bentuk kebalikan dari masyarakat sipil: antaretnis dan intra-etnis bentuk keterlibatan asosiasional. Antar-etnis keterlibatan dianggap memupuk perdamaian dan toleransi. Dalam
antar-etnis masyarakat kelompok etnis yang berbeda hidup berdampingan dan
berinteraksi secara damai.
      Dalam lingkup toleransi antar-etnis masyarakat diikat bersama melalui
kegiatan sehari-hari dan interaksi, dan dengan demikian kemungkinan kekerasan etnis adalah
dikurangi. Intra-etnis bentuk asosiasi Namun kurang berhasil dalam memecahkan bawah stereotip negatif antara kelompok etnis. Dalam komunitas orang-orang ini terutama berinteraksi dalam kelompok etnis  mereka sendiri. Hal ini cenderung memperkuat negatifstereotip dan meningkatkan risiko permusuhan antara kelompok-kelompok etnis (Varshney,
2001:375). Probabilitas perdamaian etnis sehingga meningkat jika masyarakat sipil adalah
disusun oleh interaksi antar-etnis dan pertunangan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Etnis dan Konflik
1)      Etnis dan Konflik di Indonesia
      Tampaknya yang paling terkena dampaknya dengan adanya program pembauran yang dicanangkan pemerintah Orde Baru di masa lampau adalah kelompok etnik Tionghoa. Salah satu akibat cukup fatal yang terjadi pada program pembauran yang tidak dapat berjalan mulus karena sarat dengan muatan politis itu adalah peristiwa sekitar bulan Mei 1998 yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda khususnya bagi kelompok etnik Tionghoa.
      Siapakah sebenarnya orang Tionghoa di Indonesia itu? Pertanyaan sederhana ini tidak mungkin bisa dijawab secara gegabah. Yang jelas bisa dipastikan bahwa  mereka ini sudah sangat berbeda dengan orang Tionghoa yang ada di daratan Cina. Jauh sebelum abad XX, orang Tionghoa yang datang di bumi Nusantara telah mengasimilasikan diri dengan penduduk asli, bahkan pernah terjadi pada suatu periode mereka lebur dalam kehidupan penduduk asli,  sehingga ciri-ciri mereka hilang sama sekali  dan mereka larut menyatu dengan kebudayaan penduduk asli  (Coppel, 1994:37).
      Kala itu mereka yang datang kebanyakan laki-laki, yang kemudian menikah dengan wanita pribumi dari kalangan muslim. Keturunan mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai Cina/Tionghoa peranakan (Suryadinata, 1994:20),  yang semestinya dibedakan dari Cina Totok. Ciri-ciri  kaum Peranakan ini dapat dengan mudah dibedakan  dari Cina Totok dari bahasa yang mereka gunakan.  Kaum Peranakan umumnya mengunakan bahasa daerah (Jawa,  Sunda, Madura  sebagainya) sebagai bahasa utama, sedangkan kaum Totok  menggunakan  bahasa Cina menurut sukunya, seperti Hokian, Tio Ciu, Hakka, Kanton, Hinghua, Hoklo, Hainan.
      Masalah Tionghoa pada hakekatnya bukanlah monopoli negara Indonesia. Akan tetapi dibandingkan dengan kejadian di negeri-negeri Asia Tenggara  khususnya dan dunia umumnya, apa yang dialami orang-orang Tionghoa di Indonesia tergolong yang paling luar biasa. Berbagai tindak diskriminatif  terhadap orang-orang Tionghoa/Cina  telah dilakukan oleh pemerintah sejak masa kolonial  hingga sekarang. 
      Di masa  kolonial ada Undang-undang Agraria (1870) yang melarang  orang-orang Asing (termasuk Cina) bergerak di bidang pertanian. Puncak tragedi  orang Tionghoa di Indonesia terjadi dengan terjadinya Pembantaian orang Cina  oleh Kompeni VOC tahun 1740 di Batavia, yang kemudian meluas menjadi Geger Pacinan atau Perang Cina di Jawa. Sementara itu, perubahan situasi di Cina Daratan terbukti juga berpengaruh terhadap sikap dan orientasi orang Cina di Indonesia. Kebangkitan Nasional di Daratan Cina pada awal Abad XX, telah  mendorong munculnya perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada tanggal 17 Maret 1900, disusul berdirinya sekolah-sekolah dasar Tionghoa dengan sistem modern, dengan bahasa pengantar bahasa Mandarin.  Lembaga-lembaga ini ternyata begitu efektif untuk “Men-Cinakan kembali” orang-orang yang disebut Cina Peranakan (Tan Swee Ling, 2000:3).
      Pada sisi lain pengisolasian pemukiman orang Tionghoa oleh pihak Kolonial, sehingga terbentuk kampung-kampung Cina atau Pecinan (China Town), ditambah stratifikasi sosial versi kolonial yang membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yakni kelas satu untuk orang  Eropa,  kelas dua untuk Orang-orang Timur Asing (termasuk Tionghoa) dan pribumi sebagai klas terendah, barangkali juga menjadi salah satu faktor penyebab munculnya  dis-integrasi dan konflik-konflik sosial di  masa-masa kemudian.
      Setelah Indonesia  merdeka, sikap diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa  nampaknya masih terus berjalan, misalnya adanya pesetujuan  antara Menlu RRC  Chou En Lai dan  Menlu RI  Soenaryo mengenai penghapusan  dwi kewarganegaraan, PP. No. 10 Tahun 1959 tentang  larangan orang Tionghoa asing  berusaha di luar ibukota kabupaten, juga kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang “asimilasionis” yang tujuan utamanya adalah berkurangnya penggunaan bahasa Cina. Contoh lain ialah, adanya peraturan KASAD bulan April 1958  yang menutup semua surat kabar yang terbit dengan huruf selain Latin dan Arab, juga adanya larangan/pembatasan  penggunaan bahasa Cina  di tempat-tempat terbuka dan mendesak orang WNI Keturunan tidak lagi menggunakan bahasa Cina. Di masa Orde Baru, bahkan keluar Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 yang intinya bahwa agama dan adat istiadat Tionghoa hanya diijinkan dipraktekkan di lingkungan keluarga. Perayaan hari-hari  besar keagamaan dan adat kalaupun akan dilangsungkan secara terbuka, tidak boleh dilakukan secara menyolok. Hal itu akan diatur oleh Departemen Agama dan Jaksa Agung. Baru dengan keluarnya UU No. 5/1969 maka agama Budha dan Konghucu diakui memperoleh status resmi, walaupun  dalam prakteknya berbagai pembatasan  tetap diberlakukan. Masalah yang berbau diskriminatif lain, misalnya  adanya  larangan iklan dengan tulisan Mandarin,  film dengan bahasa Mandarin, peraturan  tentang perubahan nama (Desember 1966)  dan lain-lain.  
      Di awal kemerdekaan, secara umum  keberadaan  orang Tionghoa dapat dibedakan menjadi  tiga kelompok. Pertama, adalah  kelompok yang berorientasi  ke Indonesia, dari kelompok ini banyak tokoh yang begitu gigih  memperjuangkan terbentuknya nation  and character building  di Indonesia. Kedua, kelompok yang  berorientasi ke Tiongkok, diantara mereka ini adalah sekitar 40.000 orang Tionghoa yang di tahun 1949 menolak tawaran kewarganegaraan  pemerintah RI dan memilih pulang ke negeri leluhur. Ketiga, adalah  kelompok Tionghoa yang berorientasi ke  Barat (Greif, 1991:11).
      Walaupun pada saat ini barangkali sudah amat sulit untuk menemukan orang Tionghoa Indonesia yang masih merasa bukan sebagai orang Indonesia, namun kenyataannya, keraguan etnik lain, khususnya kaum pribumi terhadap  ke-nasionalan orang-orang Tionghoa belum juga  hilang. Sebaliknya dikotomi pri dan non pribumi telah menjadi komoditas yang sangat baik bagi  isu-isu SARA di masa pemerintahan Orde Baru.
      Walaupun banyak upaya telah dilakukan, baik oleh  tokoh-tokoh  pribumi ataupun sebaliknya  dari kalangan non pri untuk membuktikan kesungguhan  akan ke-Indonesia-annya, namun nampaknya belum membuahkan hasil yang  diharapkan. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan kebijakan pemerintah  Orde Baru, yang dalam prakteknya justeru  mengetrapkan standar ganda  terhadap  orang-orang Tionghoa. Di satu sisi khususnya sektor ekonomi orang-orang Tionghoa diberi peluang, yang sebenarnya tidak lain juga demi kepentingan penguasa, pada sisi lain secara politik dan kultural mereka ditekan. Dampak kebijakan itu adalah adanya perbedaan sosial ekonomi yang begitu menyolok antara pri dan non pri, yang akhirnya bermuara pada munculnya kecemburuan sosial dan isu SARA dan berpuncak pada tragedi  bulan Mei 1998.  
      Dengan demikian menjadi tanda tanya besar bagi kita  semua, bagaimana sebenarnya keberadaan orang-orang Tionghoa di tengah-tengah masyarakat Indonesia? Apakah peraturan yang diskriminatif dan standar ganda, yang berlaku  sejak jaman kolonial hingga masa Orde Baru masih tepat akan diberlakukan  hingga sekarang ataukah mungkin dihapuskan seluruhnya? Tentunya  semua itu memerlukan wacana pemikiran yang komprehensif. Sejalan dengan era keterbukaan di masa sekarang, barangkali peraturan yang diskriminatif itu harus dihapuskan, namun yang penting memang harus ada peraturan umum yang melindungi golongan  yang terpinggirkan. Kenyataannya  selama ini orang-orang Tionghoa selalu menjadi  korban kebijakan-kebijakan yang keliru. Masalah inilah yang mendasari ide untuk mereposisi keberadaan etnik Tionghoa di dalam proses integrasi nasional yang mungkin dapat dilakukan melalui pendekatan multikulturalisme.
      Begitu pelik dan rumitnya persoalan etnik Tionghoa di Indonesia, sehingga tidak mengherankan ketika pada tahun 1991 di Cornel University   berlangsung simposium dengan tema “The Role of  the Indonesian  Chinese in Shaping Modern Indonesian Life”, muncul pernyataan:
            “The culture identity and the position of the Chinese population group within Indonesian society is a contentian one. The Masalah Cina (Chinese problem)  issue has been hotly discussed within Indonesia society itself and has inevitably resulted in such crucial question as wether the Indonesian Chinese are intitled their own culture identity or should instead seek integration or even assimilation into Indonesian culture”.
      Di era  Indonesia Baru sekarang, dimana pemerintah jelas-jelas sedang gigih mengupayakan agar Republik ini menjadi negara yang menjunjung  tinggi supremasi hukum, berkeadilan, demokratis, peduli akan HAM dan menyikapi perbedaan sebagai rakhmat Tuhan  Yang  Maha  Esa,  nampaknya kebijakan  terhadap etnik Tionghoa  juga ditinjau kembali. Terbitnya Keppres No. 6 tahun 2000 dan Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 2006 merupakan angin segar bagi  orang Tionghoa yang selama era Orde Baru secara fisik maupun psikis telah menderita, karena dijauhkan dari segala anasir yang berhulu pada budaya leluhur mereka. Adanya kebijakan itu diharapkan membuat Naga Nusantara itu bangkit dari tidur panjangnya.   
      Dengan demikian era reformasi ini sesungguhnya lebih memberi peluang bagi semua pihak, tidak terkecuali etnik Tionghoa, untuk membuktikan diri sebagai pewaris sah Republik tercinta. Akan tetapi peluang baik ini tidak mustahil  bisa menjadi hambatan proses integrasi, terutama jika kiprah mereka salah langkah sehingga tumbuh kesan bahwa orang Tionghoa Indonesia justru  semakin eksklusif. Untuk itulah reposisi etnik Tionghoa di Era Indonesia Baru perlu dilaksanakan dengan penuh kehati-hatian, agar upaya mensinergikan keanekaragaman potensi etnik dapat berjalan sesuai harapan.
      Tahun 1960 Willmott telah menerbitkan hasil penelitiannya tahun 1954-1955 dengan judul “The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia’’. Ada banyak yang bisa dimanfaatkan dari hasil penelitian ini. Masalahnya ialah bahwa profil masyarakat Tiuonghoa Semarang di tahun limapuluhan ini tentunya berbeda dengan masyarakat Tionghoa Semarang di masa kini. Di samping itu masyarakat Tionghoa Semarang tidak bisa dianggap merepresentasikan seluruh orang Tionghoa di Indonesia. Mengingat kenyataan bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia begitu majemuk, maka diperlukan upaya untuk memperoleh gambaran (profil) dari mereka.
      Sejalan dengan pernyataan Willmott bahwa di wilayah Asia Tenggara masyarakat Tionghoa terbentuk sejalan dengan atau berdasarkan bahasa utama mereka, maka Oetomo dalam disertasinya berjudul “The Chinese of Pasuruan: Their Language and Identity” (1987) menemukan adanya tiga tipe masyarakat Tionghoa Indonesia berdasarkan penggunaan bahasa keakraban dan bahasa solidaritas sehari-hari mereka. Pertama, mereka yang menggunakan bahasa daerah, antara lain masyarakat Cina di Jawa, Madura, Sumatera Barat, Bali dan Ujung Pandang, kedua, mereka yang menggunakan bahasa Melayu lokal, misalnya orang Tionghoa yang tinggal di Jakarta, Menado, Kupang dan Sorong, dan ketiga, mereka yang menggunakan bahasa Cina, misalnya Hakka dan Tio Ciu di Kalbar, Hokian di Riau Kepulauan, Kreol dengan anasir dilaek Cina yang menonjol di Bangka dan Belitung. 
      Mengingat besarnya fungsi bahasa sebagai penanda ciri identitas atau kebanggaan komunitas dan pengaruh bahasa terhadap kebudayaan, pandangan serta sikap hidup komunitas penuturnya, maka pemetaan etnik Tionghoa di Indonesia perlu dilakukan dalam  hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan gambaran lebih rinci mengenai profil masyarakat Tionghoa Indonesia. 
      Penelitian yang termasuk mutakhir dilakukan oleh Debora Wiriadinata berjudul “Chinese Indonesian Dilema: The Younger Generation of Chinese Indonesian, Search  for Identity” yang dilakukan di empat kota besar, yaitu  Surabaya, Bandar Lampung, Bandung dan Jakarta, telah menemukan dilema yang dihadapi  oleh generasi muda Cina Indonesia. Sebagai orang Tionghoa Indonesia umumnya mereka mengaku kebingungan untuk memilih, apakah akan tetap mempertahankan ciri kecinaan (keturunan) mereka yang khas, atau harus meninggalkan samasekali semua yang diperoleh dari leluhur mereka dan sepenuhnya melebur ke dalam masyarakat mayoritas. Di satu sisi mereka merasa bahwa sebagai WNI di tengah bangsa yang sebenarnya multi etnik ini, kebudayaan dan hak politik mereka telah diingkari. Namun di sisi lain, mereka bangga sebagai orang Tionghoa, antara lain dikarenakan status ekonomi mereka yang tinggi, sekalipun mereka tidak merasa terlindungi dari agresivitas kelompok mayoritas yang sewaktu-waktu dapat timbul.
      Dari hal di atas dapat dilihat bahwa mereka itu sebenarnya kuat, sebab berbagai tekanan yang mengecilkan atau meminggirkan mereka ditanggapi dengan penuh perjuangan sehingga mereka tampak semakin lebih kuat dan tidak merasa terpinggirkan. Dari sinilah seharusnya mereka diberikan penghargaan atas prestasi dan jasa-jasanya sejak masa lampau, serta diberikan kesempatan untuk mengembangkan segala apa yang mereka miliki bersama-sama dan bahu-membahu dengan etnik lainnya, asal tidak mengarah pada eksklusifisme dan konservatifisme. Hal yang perlu dihapuskan adalah pandangan stereotipe terhadap mereka dan sebaliknya, yang tentu sangat tidak kondusif di masa sekarang dan berpotensi memicu konflik sosial.

2)      Etnis dan Konflik di Malaysia
      Malaysia adalah masyarakat multikultural yang dibuat oleh Melayu, Cina, India dan kelompok pribumi. Melayu adalah kelompok mayoritas, Cina merupakan sekitar 30% Dari populasi, dan India membuat sekitar 12% dari total populasi (Verma, 2002:9). Masyarakat majemuk di Malaysia saat ini dapat ditelusuri ke kebijakan kolonial Inggris di Semenanjung Malaysia. Dalam rangka untuk merangsang ekonomi penguasa Inggris membawa imigran dari Cina dan India untuk memasok sektor-sektor tenaga kerja bahwa orang-orang Melayu lokal tidak mampu atau enggan untuk bekerja dalam (Verma, 2002:25). Orang Cina membawa mis kompetensi dalam bisnis organisasi, keterampilan teknologi dan kewirausahaan. Para imigran India pekerja kontras direkrut dari bagian termiskin dari masyarakat, karena mereka bersedia bekerja untuk upah yang lebih rendah (Verma, 2002:25). Melayu terlibat dalam kegiatan pertanian, sementara Cina memperluas kegiatan mereka dan menjadi terkemuka dalam perdagangan, perdagangan dan perbankan (Verma, 2002:26).
      Intra-etnis masyarakat muncul, yang terutama dibagi dengan spesialisasi tenaga kerja dan kegiatan ekonomi. Perpecahan etnis juga merupakan akibat dari faktor-faktor lain seperti perbedaan bahasa, adat istiadat, dan agama. Komunitas imigran tidak tidak berinteraksi satu sama lain, atau dengan orang-orang Melayu lokal (Verma, 2002:26).
      Menjelang Perang Dunia periode nasionalis Kedua Melayu semakin mulai menantang ini divisi sosial. Divisi ini telah menciptakan dasar untuk konflik etnis di masa depan. Konflik antara kelompok-kelompok etnis meningkat setelah proyek pembangunan bangsa dimulai setelah kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1957. Pertanyaan seperti bagaimana negara Malaysia harus terorganisir masih merupakan sumber konflik politik berulang antara tiga utama kelompok etnis.
      Etnisitas dan konflik menjadi isu sentral perhatian ketika Malaysia konstitusi harus dibuat pada tahun 1957. Tatanan kolonial intra-etnis perpecahan masyarakat telah sangat terpinggirkan kelompok mayoritas etnis Melayu. Survei dari 1970-an menunjukkan bahwa 75% rumah tangga di bawah garis kemiskinan adalah Melayu (Verma, 2002:62). Orang Melayu sehingga menuntut perlindungan konstitusional dengan menegaskan hak-hak khusus (Verma, 2002:29). Ini termasuk hak perlindungan bahasa, agama, dan kuota dan penerimaan ke pelayanan publik. Sebagai imbalannya kewarganegaraan Malaysia diberikan kepada semua etnis komunitas. Pada tahun 1957 pemerintah koalisi juga didirikan yang disebut Front Nasional (NF). Koalisi ini tetap berkuasa sejak pembentukannya.
      Hari koalisi terdiri dari 14 partai, dan sebagian didasarkan pada etnisitas
(Welsh, Suffian, Aeria, 2007:5). Konflik etnis telah hampir tanpa pengecualian
telah dilakukan melalui jalur politik di Malaysia. Etnis konflik hanya memburuk menjadi kekerasan parah selama kerusuhan 13 Mei 1969 antara ras Melayu dan Cina (Verma, 2002:29). Meskipun volatil ketegangan etnis Malaysia belum mengalami konflik intra-negara atau perang saudara, yang posisi Malaysia sebagai kasus yang unik di Asia Tenggara.

B.      Civil Society
1)      Civil Society di Indonesia
      Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya.  Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.
      Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies), sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof.  Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam.  Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.
      Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Habibie mengeluarkan Keppres No. 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu lembaga dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi.  Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM).
      Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian, pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM.
      Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas’oed (Republika, 3 Maret 1999), yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, di samping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.
      Ketegangan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka.  Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut.  Sedangkan, kerusuhan sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), di samping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.
      Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi, 1999).  Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan.  Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara.  Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKIS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.
      Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik.  Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila.
      Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, di samping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999:17).
      Dalam pandangan Gus Dur, Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk negara yang terkait oleh konteks ruang dan waktu sehingga Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam dan Nabi tidak melontarkan ide suksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000:16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru, tapi untuk mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan (Schacht, 1979:541).
      Pandangan pluralisnya didasarkan pada sejarah kehidupan Nabi sendiri yang terbuka terhadap peradaban lain, di samping tentunya sifat universalisme Islam.  Dalam Islam ada lima jaminan dasar, seperti yang tersebar dalam literatur hukum agama, sebagaimana dikatakan Wahid (1999:1) sebagai berikut: (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi.
      Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu, Gus Dur sangat mendukung dialog antaragama/antarimam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembaga yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antaragama.  Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan, dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesama.
      Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri.  Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional.  Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren (Rumadi, 1999:3). Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).
      Setelah reformasi penerapan civil society sendiri di Indonesia dapat dikatakan bahwa apa yang disebut dengan civil society di Indonesia masih belum dapat ditemukan. Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia baru saja atau tengah menghadapi proses transformasi sosial, di satu pihak dan di pihak lain, kekuasaan negara sangatlah besar terhadap masyarakatnya. Berbicara masalah civil society selalu akan berbicara tentang transformasi sosial yang akan membawa masyarakat pada suatu tahap.
      Di Indonesia sendiri praktik-praktik civil society masih sangat jauh dari indikator ideal. Dalam hal ekonomi misalnya, masih banyak terjadi ketimpangan kesejahteraan di beberapa wilayah bagian Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat pluralistik. Atau lebih tepat disebut masyarakat yang sangat tinggi tingkat fragmentasi sosialnya.inilah yang menjadi penghambat tumbuh dan berkembangya civil society di Indonesia.
      Praktik civil society diawali dari sejarah panjang Negara Indonesia pada pilihan strategi pembangunan masa Orde Baru. Pada saat itu “stabilitas Politik Beku” telah membawa bangsa ini ke dalam kehidupan politik yang cenderung menjauh dari proses demokrasi. Meskipun kompensasi dari strategi ini telah ditempuh dengan memaksimalkan pertumbuhan ekonomi yang menakjuban (rata-rata 7%), namun keadilan dalam pengertian substansial hamper tidak pernah tercapai. Kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakberdayaan bagi lapisan masyarakat bawah selalu mewarnai dalam setiap tahapan pembangunan. Nahkan program pemberdayaan masyarakat hanya sekedar sebagai retorika politik negara dari pada sebagai gerakan nyata dari lapisan masyarakat. Terbukti ketika kekuatan politik kaum buruh, petani, cendekiawan, aktivis LSM, dan kelompok professional mengalami marginalisasi.
      Pasca reformasi 1998, terdapat tiga pertanyaan utama yang perlu dirumuskan terkait kondisi Bangsa pasca reformasi ini. Pertama, dapatkah bangsa ini memanfaatkan momentum transisi dalam rangka mewujudkan transformasi sosial menuju kehidupan politik yang lebih demokratis? Kedua, demokrasi sosial cenderung dibangun atas penguatan civil society, maka syarat apa sajakah yang harus dipenuhi? Ketiga, manajemen sosial seperti apa yang dapat digunakan untuk mengelola civil society yang hendak diciptakan di Indonesia? Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut sebenarnya pembahasan diawali dengan melihat usaha negara dalam reformasi birokrasi yang ada. Usaha yang begitu dibanggakan pada saat itu adalah transparansi, yaitu pembentukan pemerintahan yang bersih melalui kekuatan kontrol publik.
      Penguatan masyarakat madani (civil society) yang dapat digunakan sebagai kontrol publik secara hakiki dapat dirumuskan sebagai berikut: pengelompokan anggota-anggota masyarakat sebagai warga negara yang mandiri dapat dengan bebas dan bertindak secara aktif dalam tataran wacana maupun praktiknya mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan. Pada masa ini, maka artikulasi kepentingan dapat disalurkan baik melalui individu ataupun kelompok tanpa ada tekanan dari pemegang kekuasaan. Manajemen negosiasi akan mewujudkan rekonsiliasi nasional sebab kekuatan oposisi dapat ikut berperan dalam pemerintahan. Bila ini mampu terwujud, pemerintahan akan tumbuh kembali dan secara otomatis akan memperbaiki kondisi ekonomi yang ada. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi akan disertai dengan pemerataan kesejahteraan sehingga dimensi keadilan mewarnai dalam setiap fase pembangunan masyarakat. Itulah manfaat dari penguatan civil society dalam negara.

2)      Civil Society di Malaysia
      Pembentukan negara Malaysia modern dan dominasi terus menerus oleh
NF-pemerintah telah berkembang pemeriksaan Malaysia menjadi sebuah sistem politik hibrida
terdiri dari kedua fitur demokratis dan otoriter dan lembaga (Welsh, Suffian, Aeria, 2007:4). Negara Malaysia dengan demikian sangat terpusat, dan hal ini telah terkendali dan melemahkan masyarakat sipil (Verma, 2002:135). Kebebasan sipil seperti kebebasan berkumpul, ucapan dan organisasi politik yang terbatas dan diatur (Welsh, Suffian, Aeria, 2007:4). Pemerintah telah terus dirasionalisasikan ini macam kontrol dengan mempertahankan bahwa kebebasan sipil dibatasi diperlukan dalam untuk meminimalkan kemungkinan konflik kekerasan antara kelompok-kelompok etnis.
      Metode pemaksaan berat seperti penyiksaan belum diterapkan oleh pemerintah, meskipun metode penahanan secara periodik telah digunakan dalam rangka untuk menahan politik oposisi. Negara Malaysia masih terutama mengandalkan pada sensor diri dan tak terucapkan batas dalam hal organisasi politik (Welsh, Suffian, Aeria, 2007:4). Meskipun negara latihan pengekangan yang lebih dari kekuatan-kekuatan oposisi kontrol terhadap masyarakat sipil tidak total (Ramasamy, 2004:210). Masyarakat isu bahwa negara mengabaikan atau menahan telah semakin dipolitisasi dihadiri oleh LSM. Organisasi-organisasi ini kritis terhadap negara koersif, dan suara pendapat mereka di beberapa hal, seperti negara demokrasi, pelanggaran hak asasi manusia, membatasi kebebasan pers, dan penyangkalan hak-hak budaya (Ramasamy, 2004:209). "Gerakan kesadaran Nasional", "Angkatan Belia Islam", dan "Asosiasi Dewan Sekolah Cina" adalah contoh dari rezim tersebut kritis LSM. Peran LSM tersebut tidak begitu saja sebagai rezim telah mencoba untuk negatif label organisasi-organisasi ini sebagai "anti-pembangunan" atau sebagai organisasi asing yang disponsori dengan motif tersembunyi (Ramasamy, 2004: 209).
      Tidak seperti partai-partai oposisi aktor rezim kritis dan organisasi sipil
masyarakat tidak memiliki alat politik formal untuk langsung menantang negara
dominasi. Kemampuan masyarakat sipil untuk mempengaruhi agenda kebijakan koalisi NF tersebut, atau dukungan elektoral yang populer untuk sistem demokrasi otoriter, telah terhindarkan terbatas. Masyarakat sipil sehingga tidak berhasil menantang posisi hegemonik lembaga negara di Malaysia. Meskipun oposisi partai politik dan fungsi masyarakat sipil dalam lingkup sosial yang berbeda kekuatan-kekuatan Namun telah menemukan dasar umum terhadap rezim dengan advokasi dan mendukung hak asasi manusia dan pengembangan demokrasi. Kenyataan bahwa partai oposisi dan LSM dapat berfungsi dan mencoba untuk menantang hegemoni negara mencerminkan perubahan sosial ekonomi yang cepat bahwa Malaysia telah mengalami selama dua dekade terakhir (Ramasamy, 2004:210). Terutama tiga tren telah memungkinkan bagi masyarakat sipil untuk memperluas peran di Malaysia. Cepat pembangunan ekonomi menciptakan permintaan untuk orang-orang berpendidikan, yang menimbulkan suatu baru kelas menengah. Ini kelas menengah mulai menantang kontrol rezim dan dipengaruhi oleh reli untuk demokrasi dan good governance. Partai-partai oposisi dan beberapa LSM sehingga bisa datang bersama-sama untuk mempromosikan penyebab demokratisasi dan tantangan dominasi negara. Koalisi NF-pemerintah yang dominan juga agregat skandal korupsi, kurangnya pemerintahan yang baik, dan penggunaan hukum yang represif. Dan kegiatan ini tidak populer lainnya telah paradoks juga memperkuat alasan untuk demokratisasi lebih lanjut di Malaysia (Ramasamy, 2004:210). Akhirnya, Malaysia secara alami dipengaruhi oleh perkembangan global, seperti penurunan global rezim demokratis (Ramasamy, 2004:210).
      Ini dan tren lainnya telah menjadi hal yang vital dalam upaya demokratisasi lebih lanjut di Malaysia, tetapi meskipun tren, seperti perubahan rezim koersif di Malaysia terus untuk menahan masyarakat sipil.
C.    Hubungan Civil Society, Negara dan Etnosentrisme
1)      Hubungan Civil Society, Negara dan Etnosentrisme dalam Sejarah Indonesia
      Menurut sejarah peradaban (civilization), etnosentrisme merupakan manuskrip yang universal, antara lain indosentrisme, sinosentrisme, javanosentrisme, dan sebagainya. Hubungan antar etnik memerlukan proses mentransendensi kebudayaan etnik satu sama lain. Kerangka yang mencakup dua atau lebih etnisitas bersifat meta etnik, hal yang baru kita dapati pada zaman modern, mulai dari masa kolonialisme abad ke-19.
      Perjuangan civil society di Indonesia pada awal pergerakan kebangsaan dipelopori oleh Syarikat Islam (1912) dan dilanjutkan oleh Sultan Syahrir pada awal kemerdekaan (Norlholt, 1999). Jiwa demokrasi Sultan Syahrir ternyata harus menghadapi kekuatan represif baik dari rezim orde lama di bawah pimpinan Soekarno maupun rezim orde baru di bawah pimpinan Soeharto, tuntutan perjuangan transformasi menuju peradaban bangsa pada era reformasi ini tampaknya sudah tidak terbendungkan lagi.
      Dalam memasuki milenium III, tuntutan akan masyarakat yang beradab di dalam negeri oleh kaum reformis yang anti status quo menjadi semakin besar. Civil society yang mereka harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik, dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar (Nordholt, 1999), jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah, menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati hak-hak asasi manusia (Farkan, 1999).
      Manfaat yang diperoleh dengan terwujudnya civil society ialah terciptanya masyarakat Indonesia yang demokratis. Selain itu menurut Daliman (1999), dengan terwujudnya civil society, maka persoalan-persoalan besar bangsa Indonesia, seperti: konflik-konflik suku, agama, ras, etnik, golongan, kesenjangan sosial, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan pembagian "kue bangsa" antara pusat dan daerah, saling curiga serta ketidakharmonisan pergaulan antarwarga dan lain-lain yang selama orde baru lebih banyak ditutup-tutupi, direkayasa dan dicarikan kambing hitamnya; diharapkan dapat diselesaikan secara arif, terbuka, tuntas, dan melegakan semua pihak, suatu prakondisi untuk dapat mewujudkan kesejahteraan lahir batin bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa dapat dicegah.
      Guna mewujudkan civil society dibutuhkan motivasi yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat. Hal ini mendukung pendapat Daliman (1999) yang intinya menyatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang beradab diperlukan proses dan waktu serta dituntut komitmen masing-masing warganya untuk mereformasi diri secara total dan selalu konsisten dan penuh kearifan dalam menyikapi konflik yang tidak terelakan. Tuntutan terhadap aspek ini sama pentingnya dengan kebutuhan akan toleransi sebagai instrumen dasar lahirnya sebuah konsensus atau kompromi.
      Ciri utama civil society adalah demokrasi. Demokrasi memiliki konsekuensi luas di antaranya menuntut kemampuan partisipasi masyarakat dalam sistem politik dengan organisasi-organisasi politik yang independen sehingga memungkinkan kontrol aktif dan efektif dari masyarakat terhadap pemerintah dan pembangunan.

2)      Civil Society vs Etnisitas dalam Sejarah Indonesia: Sebuah Perjalanan
      Sudah disinyalir dan dipaparkan didepan (dalam landasan konseptual) keragaman bangsa Indonesia telah menjadikan bangsa ini besar. Sejak zaman dahulu perjuangan ke arah peradaban masyarakat bukan merupakan sebuah adopsi dari barat atau dari timur tengah. Pergerakan era kebangkitan bangsa yang dicetuskan oleh berdirinya Budi Utomo menjadi tonggak berdirinya sebuah paradigma kehidupan dalam wacana civil society. Sumpah pemuda 1928 akhirnya mempublisitaskannya dalam kancah pergerakan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.
      Kekuatan para pemuda di arena kebangkitan bangsa bukan dimotori oleh kesukuan yang sempit tetapi lebih digerakkan oleh kekuatan nasionalis yang menyuarakan persatuan dan kesatuan dalam kerangka berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu yakni Indonesia. Ini adalah sebuah implikasi dari keberadaan perjuangan kerajaan masa lalu dan mitos-mitos yang sudah mentradisi. Persatuan dan kesatuan dalam tatanan kerakyatan yang merdeka menyatupadukan sebuah kekuatan frontal untuk membentuk identitas sebagai bangsa.
      Memang pembentukan identitas bangsa telah dipengaruhi oleh kolonialisme. Kolonialisme yang bertahun-tahun menggerayangi wajah Indonesia memberikan identitas baru dalam jiwa bangsa. Penanaman demokrasi yang pernah diterapkan hanya merupakan sebuah penjajahan. Kaum kolonial lupa bahwa kesatuan Hindia Belanda terbetuk dari keragaman dari suku dan bangsa.
      Terlepas dari peran kolonialisme dalam pembentukan sebuah masyarakat, kita melihat jiwa yang berkembang di antara kaum cendikiawan pra kemerdekaan yang sangat mengupayakan persatuan. Lahirnya era Kebangkitan Bangsa telah menjadikan etnosentrime bukanlah etnosentrisme sempit yang mengupayakan keagungan pribadi rakyat Indonesia dalam identitas sebagai suku Jawa, atau Ambon, atau Flores, atau Batak, tetapi lebih sebagai satu kesatuan sebagai etnik Indonesia.
      Perjalanan pembentukan civil society dalam kultur bangsa/negara yang majemuk ini bukanlah sesuatu yang gampang. Konflik horizontal dan primordialisme yang bermula dari stereotype tetap membuahkan konflik yang secara beruntun terjadi sejak zaman pra kemerdekaan bahkan sampai sekarang.
      Titik tolaknya adalah bahwa kesatuan bangsa ini belum didasarkan pada sebuah kesatuan perasaan dan pola pikir sebagai individu ber-etnik Indonesia. Ketiadaan persepsi ini sehingga dalam perjalanan sejarah bangsa, civil society masih merupakan sebuah konsep tanpa praksis, sebuah konsep yang masih berada dalam sebuah idealisme yang siap dicetuskan oleh kaum pintar atau cendekiawan yang punya intensi khusus untuk persoalan ini.

3)      Hubungan Civil Society, Negara dan Etnisitas di Malaysia
      Konsep ideal konsensus politik di Malaysia harus dihasilkan melalui proses pengelolaan musyawarah masyarakat. Konsensus melalui musyawarah masyarakat lebih holistik dan mampu mencerminkan dan melayani orang dalam kepentingan, seperti, kebijakan publik dan politik budaya. Konsep atau metode akan menjadi yang terbaik untuk melindungi umum yang baik dari masyarakat dari manipulasi apapun terutama dari negara. Oleh karena itu, tanggung jawab masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa jenis konsensus politik akan menguntungkan orang-orang dari ras yang berbeda di Malaysia.
      Namun, Malaysia tidak memiliki civil society yang kuat, yang dapat bersama-sama mengawasi dan menyeimbangkan kekuasaan pemerintah. Menurut Hassan (2002), sebagian besar masyarakat sipil atau LSM di Malaysia, kecuali Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) dan Dongjiaozong, tidak memiliki basis massa, yang meninggalkan mereka dengan daya tawar sedikit dengan negara, bahkan jika mereka vokal dan sampai batas tertentu berpengaruh dalam mereka advokasi dan penyebaran pendapat atas bidang yang luas hak-hak hukum dan manusia. Beberapa LSM tidak dapat menyadari bahwa, secara paradoks, penguatan civil society akan memperluas partisipasi politik membutuhkan prasyarat memperkuat negara (Marcussen, 1996). Dari sudut pandang, karena negara Malaysia terus berkomitmen melakukan pemilihan umum yang reguler, dengan ruang yang tersedia untuk LSM dan kelompok-kelompok politik lainnya tetap penanda penting kemungkinan untuk meningkatkan civil society.
      Gerakan civil society Malaysia juga mencoba untuk melaksanakan demokrasi deliberatif dalam melibatkan dengan pemerintah terutama dalam mempengaruhi kebijakan publik dan proses pengambilan keputusan. Peran civil society dan cara-cara mereka mempengaruhi proses, dapat dilihat dari
Hendriks (2002) argumen atau pemetaan mikro dan
makro deliberatif demokrasi. Namun, hubungan negara- civil society di Malaysia tergantung pada isu-isu yang mereka usung dan juga merupakan kemauan pemerintah dalam menerima proses musyawarah dan pandangan kritis dari masyarakat sipil.
      Hubungan masyarakat negara-sipil dapat ditandai, menghubungkan dengan proses demokrasi deliberatif mikro dimana baik negara maupun masyarakat sipil berkolaborasi dalam menangani isu-isu seperti lingkungan, kesejahteraan, perempuan, pemuda, dan pengembangan anak. Pemerintah
memiliki organisasi yang terlibat seperti Federasi
Asosiasi Konsumen Malaysia (FOMCA), Dewan Organisasi Wanita National, Asosiasi Komite Serikat Cina, dan lain-lain untuk berpartisipasi dalam perdebatan dan musyawarah pada pengembangan dan kebijakan publik. LSM yang berkolaborasi paling berhasil dengan pemerintah adalah non-politik, seperti Dewan AIDS Malaysia, Malaysia Nature Society (MNS), dan World Wide Fund untuk Malaysia (WWF). LSM perjuangan untuk hak asasi manusia seperti SUARAM, aliran, dan Hak Asasi Manusia Persatuan Malaysia (Hakam, Asosiasi Hak Asasi Manusia Malaysia) juga telah diundang dalam pertemuan-pertemuan seperti yang diadakan oleh SUHAKAM. Kadang-kadang, LSM harus menggunakan berbagai cara agar mereka dapat terlibat dalam proses musyawarah. Misalnya, untuk LSM dan lembaga di Sabah, seperti Organisasi Mitra Masyarakat (PACOS), kurangnya kapasitas untuk mempengaruhi kebijakan publik, tetapi, bersama dengan organisasi seperti Pusat Kekhawatiran Orang Asli (COAC) dan Asosiasi Orang Asli Semenanjung Malaysia (POASM), telah mampu mengkomunikasikan ide-ide kepada pemerintah mengenai kondisi Orang Asli (Masyarakat adat) dan budaya mereka (Verma, 2004).
      Selain itu, LSM yang memiliki hubungan erat dengan pemerintah seperti Majlis Belia Malaysia (MBM, Dewan Pemuda Malaysia), Gabungan Penulis Nasional (GAPENA) Gabungan Pelajar Melayu dan Semenanjung (GPMS)
memiliki kesempatan lebih banyak untuk mendapatkan diundang dalam proses
musyawarah. LSM di Malaysia telah menjadi lebih kuat, dan mereka tumbuh advokasi bekerja dalam lingkaran kebijakan dan media telah menyebabkan beberapa keberhasilan penting seperti di lobi untuk memberlakukan UU KDRT dan menyiapkan SUHAKAM. Mereka berlangsungnya partisipasi dan musyawarah di bidang perlindungan konsumen, ekonomi dan sosial pembangunan, hak-hak perempuan, lingkungan, dan hak asasi manusia telah memungkinkan mereka untuk beroperasi secara efektif dan untuk berkomunikasi dengan pemerintah, media dan lembaga-lembaga (Verma, 2004).
      Proses mikro bisa menjadi yang paling efektif dalam memberikan kontribusi pandangan, saat konsensus dalam proses pengambilan keputusan, dan menghasilkan kebijakan untuk kebaikan bersama. Namun, ada masalah dengan pendekatan musyawarah demokrasi mikro dalam kaitannya dengan hubungan negara-civil society di Malaysia. Masalahnya adalah ketika pemerintah mengundang masyarakat sipil yang mendukung, tidak ada pandangan yang kritis dari masyarakat sipil. Cohen tidak menyebutkan bahwa deliberatif mikro demo-birokrasi membutuhkan proses gratis dan sama antara pihak prosedur deliberatif menghilangkan kesenjangan yang ada.
      Oleh karena itu, ada konsep yang sangat tidak mungkin setuju untuk
tidak menyetujui praktek dalam hubungan negara-masyarakat sipil dimana negara selalu suka untuk menunjukkan otoritas dalam membuat keputusan akhir, meskipun fakta bahwa orang-orang dan masyarakat sipil disfavoured dengan keputusan tersebut, seperti dalam kasus kenaikan harga BBM pada tahun 2008. Kecuali pandangan pemerintah yang kebetulan sama, atau sedikit mirip dengan masyarakat sipil, seperti di penghujatan kasus antara Asosiasi Ulama Muslim Malaysia (MSAM) dan sekuler-liberal, pemerintah tiba-tiba mendukung sekuler-liberal terhadap MSAM. Niat dalam mengundang LSM untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang paling mungkin adalah untuk berkonsultasi saja. Ada juga kekhawatiran bahwa partisipasi civil society dalam proses itu untuk melegitimasi kebijakan yang telah direncanakan.
      Pada proses, demokrasi deliberatif makro, sebaliknya pendukung bahwa masyarakat sipil berpartisipasi dalam masyarakat dan bekerja di luar dan menentang negara dalam oposisi politik. Pertarungan non-negara yang diprakarsai oleh sejumlah LSM yang berpikiran kritis dan sangat dipolitisir. LSM seperti Suara Rakyat Malaysia (SUARAM), Aliran Kesedaran Negara (aliran), Hak Asasi Manusia Malaysia Asosiasi (Hakam), ABIM, Jemaah Islah Malaysia (JIM), Dongjiaozong, dan Pusat Inisiatif Perdamaian (CENPEACE) telah memanfaatkan ruang publik dan telah kritis terhadap kebijakan negara pada berbagai macam isu-isu. Banyak dari mereka telah bahagia dengan negara demokrasi di Malaysia, kurangnya hak asasi manusia, membatasi kebebasan pers, penolakan hak-hak budaya kepada masyarakat etnis tertentu, dan penggunaan represif hukum oleh rezim (Verma, 2004).
      Masyarakat sipil di Malaysia telah menjadi yang sah sebagai saluran partisipasi sosial dan politik dan untuk mempengaruhi pembentukan kebijakan dan opini publik. Tanda-tanda perubahan mulai muncul selama periode Reformasi menyusul penangkapan Anwar pada tahun 1998. Kontribusi bahwa masyarakat sipil Malaysia yang baru lahir dibuat dengan anti-authoritarian perjuangan tahun 1990-an secara luas diakui hari ini. Sejak itu, mahasiswa, intelektual, profesional asosiasi, kelompok agama, dan juga oposisi pihak telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai otoriter sifat pemerintah.
      Dalam proses ini beberapa kelompok telah mulai mengadopsi sikap yang lebih radikal pada isu-isu hak asasi manusia dan reformasi peradilan. Tapi dalam menangani dengan LSM, pemerintah selalu menyatakan bahwa mereka tempat keamanan nasional di atas semua kekhawatiran lainnya, karena pandangan LSM sebagai peleceh pemerintah keluar memicu ketidakpuasan (Verma, 2004). LSM yang mengadopsi pendekatan makro demokrasi deliberatif, cenderung mengasosiasikan dengan partai-partai oposisi.
      Sebagai contoh, pada pemilu 2008 umum, politik analis, James Wong mengatakan bahwa: Adanya tradisional oposisi yang telah kini bergabung dengan masyarakat sipil, mahasiswa, wartawan independen dan LSM (Kuppusamy, 2008). Beberapa aktivis peserta di bawah bendera Partai Aksi Demokratik (DAP) dan di antara mereka adalah Charles Santiago, koordinator Koalisi terhadap Privatisasi yang telah berjuang untuk mencegah privatisasi air dan menghentikan bisnis besar dari menaikkan harga sumber daya alam. Lainnya, seperti Tian Chua dan Sivarasa Rasiah Partai Keadilan Rakyat (PKR), yang digunakan untuk terlibat dengan SUARAM. Manusia hak pemimpin melihat keikutsertaan LSM dalam umum pemilu sebagai penting dan yang menambahkan dimensi baru ke partisipatif politik. Yap Swee Seng, direktur eksekutif dari SUARAM, percaya bahwa "Pemilihan umum adalah waktu bagi LSM untuk mendorong agenda masyarakat sipil dan membuat mereka mendengar suara .... Tujuan utamanya adalah untuk memastikan yang kuat, multi-partai oposisi yang lebih baik dapat menjaga konstitusi dan kepentingan rakyat (Kuppusamy, 2008).
      Dengan hasil yang baik untuk oposisi di 2008 pemilihan umum, banyak mantan aktivis LSM memenangkan pemilu seperti Tian Chua dan Sivarasa Rasiah di Parlemen kursi, dan Elizabeth Wong, mantan Hakam yang
aktivis, memenangkan PKR di kursi negara bagian perakitan dan telah
telah ditunjuk sebagai Penasehat Eksekutif di Selangor ini Pakatan Rakyat (PR) pemerintah negara bagian. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan masyarakat sipil sekarang memasuki politik nyata dalam berjuang untuk kekuasaan. Mungkin, ini adalah cara terbaik untuk melayani rakyat dan perjuangan untuk apa yang mereka yakini. Masalah dengan pendekatan deliberatif makro, demokrasi di Malaysia adalah bahwa, perhatian sedikit atau tidak ada telah dibayarkan kepada organisasi-organisasi ini karena keberadaan mereka penting untuk negara. Seringkali pandangan dan argumen LSM tersebut yang berpikiran kritis diberhentikan oleh negara atas dasar bahwa mereka anti-development yang disponsori oleh beberapa lembaga asing untuk mengikut dari beberapa motif tersembunyi (Ramasamy, 2004). Pemerintah mengontrol media mainstream, sehingga ruang dalam ruang publik sangat terbatas untuk LSM kecuali dalam dunia maya Internet (lihat selanjutnya bagian pada media baru). Pemerintah melecehkan kritik dari LSM dengan menggambarkan  mereka sebagai marjinal dan keluar dari sentuhan dengan masyarakat massa.
      Namun, dalam jangka waktu efektivitas kontribusi dalam pengambilan keputusan proses, pendekatan makro kadang-kadang lebih efektif dalam arti tertentu di Malaysia. Misalnya, Pemerintah mengecam LSM-publik diselenggarakan diusulkan pengadilan pada penyalahgunaan kekuasaan polisi: Mahathir mengklaim bahwa beberapa LSM sengaja menantang pemerintah untuk mengambil tindakan terhadap mereka dan mengancam bahwa ia akan melakukannya, jika mereka telah melanggar hukum (Milne dan Mauzy, 1999). Namun, melalui kampanye secara terus-menerus dan dengan tekanan pemerintah, Perdana Azizuddin 8405 Menteri, Abdullah Ahmad Badawi, menyetujui pembentukan Komisi Kerajaan untuk Meningkatkan Operasi dan Manajemen Kerajaan Malaysia Polisi, yang disetujui oleh Raja pada tanggal 4 Februari, 2004 di bawah Komisi Penyelidikan UU, 1950. Dalam Laporan halaman 576, disampaikan kepada Perdana Menteri pada tanggal 29 April, dan yang dirilis ke publik pada 12 Juni 2005, Komisi membuat 125 rekomendasi berfokus pada tiga bidang utama reformasi, pengurangan kejahatan, memberantas korupsi dan mengamati hak asasi manusia di kepolisian yang negara (Amnesty International Malaysia, 2007). Ini adalah bukti bahwa musyawarah makro konstan dapat mempengaruhi pemerintah dalam menerapkan kebijakan diprioritaskan oleh orang, tetapi sebelumnya tidak dalam agenda pemerintah.
      Cendekiawan seperti Habermas mengakui bahwa dalam rangka untuk
Pendekatan makro akan berfungsi dengan baik, perlu
dibantu oleh media. Masalahnya adalah bahwa Malaysia tidak memiliki media yang bebas. Namun, revolusi saat industri media dan teknologi melalui pengenalan
Internet bertanggung jawab dalam menciptakan ruang publik baru
untuk musyawarah umum. Media baru ini mampu memperkuat penggunaan pendekatan makro, ditambah, juga berhasil dimanfaatkan dalam mengubah opini publik, seperti apa yang telah terjadi di Malaysia selama 2008 pemilihan umum (Azizuddin, 2009).
      Malaysia pasti membutuhkan sebuah gerakan masyarakat sipil yang kuat yang dapat menjamin keberhasilan musyawarah publik dan dapat memeriksa dan menyeimbangkan kekuasaan negara. Dalam Malaysia, LSM telah berusaha untuk memberikan yang demokratis masyarakat yang dianggap politik apatis atau bodoh hak-hak fundamental mereka dan tugas. Secara khusus, masyarakat Malaysia didesak untuk menjadi lebih sadar tentang bagaimana dan mengapa kebebasan dibatasi, yang kepentingannya dilayani oleh curbs pada kebebasan, apa yang adalah konsekuensi dari konsentrasi kekuasaan dengan eksekutif, bagaimana orang harus menanggapi pengebirian yang demokrasi dan apa alternatif yang tersedia untuk penggunaan mereka yang berkomitmen untuk kebebasan yang lebih besar dan keadilan (Chandra, 1986). Loh (2003) berpendapat bahwa, Malaysia kecewa dengan partai politik dan politik elektoral memiliki pilihan untuk terlibat bukan dalam resmi politik. Apa yang telah membuat pilihan ini mungkin, ia menyarankan, adalah proliferasi dari LSM sejak tahun 1980 dan mereka meningkatkan impor politik sejak akhir 1990-an. Tidak hanya organisasi-organisasi ini menawarkan tempat untuk partisipasi di luar jalur politik elektoral, tetapi keterlibatan LSM dengan partai politik oposisi membantu untuk memperkaya pihak-pihak serta mempercepat proses reformasi politik.
      Kampanye publik oleh civil society adalah salah satu contoh terbaik dari metode musyawarah. Kampanye publik adalah pendekatan yang lebih sipil dan damai tanpa kekuatan atau kekerasan berarti dalam berlatih. Sebagian besar kampanye adalah untuk publik, mobilisasi pendidikan dan lobi. Misalnya, kampanye tanda tangan adalah ketika anggota dan pendukung LSM terlibat dalam pengumpulan nama, tanda tangan dan kartu identitas (IC) nomor dari sebagai individu sebanyak mungkin. Petisi yang kemudian dikirim ke departemen pemerintah terkait. Ini metode tidak tampaknya sangat berkhasiat, bagaimanapun, ini adalah tidak terjadi dan kadang-kadang bekerja dalam mempengaruhi publik kebijakan ketika LSM dikirim lebih dari 70.000 tanda tangan di 1981 bertentangan dengan amandemen Undang-Undang Masyarakat. Sementara fakta bahwa RUU ini dengan yang ditarik dua kali dan mengalami perubahan substansial menunjukkan bahwa kampanye secara keseluruhan, apakah karena permohonan atau tidak, memiliki beberapa efek, pada akhirnya hanya yang paling kontroversial klausul telah dihapus (Tan dan Singh, 1994; Weiss, 2004).
      Masyarakat sipil juga memanfaatkan media cetak dan Internet untuk menyebarkan pandangan mereka dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, aliran menghasilkan majalah bernama Aliran Bulanan dan SUARAM menghasilkan setiap tahunnya Laporan Human Rights. Kedua LSM telah juga menerbitkan banyak buku dan koran. Mereka bahkan memiliki website mereka sendiri, http://www.aliran.com dan http://www.suaram.net. Melalui publikasi dan internet, aliran berhasil mempromosikan agendanya keadilan sosial, reformasi politik dan multi-agama dan dialog multi-etnis. SUARAM juga dapat melaporkan dan memantau pelanggaran hak asasi manusia di Malaysia dan wilayah. Namun, akses kelompok-kelompok di mainstream media telah diblokir karena kecemasan pada nama pemerintah bahwa LSM dapat mempengaruhi opini publik dalam menantang pemerintah. Selain itu, masyarakat sipil terus mengatur forum dan seminar, mengundang pejabat pemerintah untuk ikut berpartisipasi dalam debat dan diskusi. Sebagai contoh, Era Konsumen teratur
menyelenggarakan konferensi tentang kinerja Manusia
Komisi Hak Malaysia (SUHAKAM), tentu saja dalam membahas masalah hak asasi manusia.
      SUHAKAM yang komisaris mengambil bagian dalam kertas presentasi dan juga memperdebatkan edisi terbaru hak asasi manusia di Malaysia.
Oleh karena itu, peran masyarakat sipil adalah penting untuk menciptakan
sistem demokrasi deliberatif yang tepat di Malaysia dimana kebebasan berbicara politik dilindungi untuk kebaikan orang-orang.
      Mudah diucapkan daripada dilakukan di mengelola isu sensitif. Permusuhan rasial, merosot menjadi kebencian rasial, adalah berkelanjutan ancaman di Malaysia. Ini dapat ditemukan dalam sikap tertentu non-Melayu partai oposisi yang berbasis di enam puluhan. Mereka menentang status Melayu, bukan Inggris, Mandarin/Kanton atau Tamil, sebagai tunggal resmi dan bahasa nasional negara karena kebijakan ini membahayakan sekolah vernakular, khususnya sekolah Cina dan sekolah-sekolah India yang menggunakan bahasa mereka sendiri sebagai bahasa resmi di sekolah. Demikian juga, pihak Melayu dari periode yang sama marah atas kewarganegaraan yang diberikan kepada non-Melayu pada seperti dasar liberal dan ingin Melayu kedaulatan dipulihkan (Chandra, 1986). Kekerasan dari konflik rasial pada 13 Mei 1969, dan masalah hubungan multiras mengakibatkan pemerintah mengambil inisiatif kebijakan utama melibatkan deklarasi formal dari sebuah ideologi nasional disebut Rukunegara di 31 Agustus 1970. Itu dirancang untuk menjadi dasar untuk menciptakan sebuah konsensus tentang komunal masalah dengan menetapkan prinsip-prinsip yang dapat dipanggil untuk menahan tuntutan yang lebih ekstrim dari etnis chauvisnis (Sarana, 1991).
      Di Malaysia, ada pandangan bahwa orang Melayu sebagai tanah anak-anak harus membela hak istimewa dan melestarikan sejarah karakter dan kedaulatan Melayu asli dari lahan. Non-Melayu, bagaimanapun, permintaan hak yang sama dalam sesuai dengan gagasan demokrasi modern dan populer
kedaulatan (Ikmal, 1992). Salah satu kasus terbaru yang
telah memicu krisis antara ras di Malaysia adalah Tuntutan isu Suqiu. Pada tanggal 16 Agustus 1999, beberapa bulan sebelum pemilihan umum 1999, sebelas LSM Cina membentuk kelompok lobi yang disebut Organisasi Komite Banding Pemilihan Malaysia Cina dan meluncurkan tujuh belas poin tuntutan pemilu mereka. Tuntutan Suqiu dapat dibagi menjadi dua jenis. Pertama, Suqiu mendukung sejumlah mirip dengan yang dipromosikan oleh tujuan lainnya yang universal kelompok dan yang dimasukkan ke Alternatif Depan (BA atau Barisan Alternatif, sebuah koalisi oposisi pihak). Ini termasuk pembesaran demokrasi hak, penghapusan korupsi, kronisme, dan nepotisme; perlindungan kebebasan berbicara, pers, perakitan dan asosiasi, dan mencabut undang-undang seperti Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA), Undang-Undang Rahasia Resmi (OSA), Undang-Undang hasutan (SA), dan Undang-Undang Printing Presses and Publications (PPPA).
      Di sisi lain, Cina menekankan kekhawatiran untuk kesetaraan ekonomi, pendidikan, budaya, dan politik hak-hak. Para Suqiu juga merekomendasikan bahwa langkah-langkah diambil untuk menghapuskan semua aspek Bumiputera/non-Bumiputera dichotomisation (atau khusus Hak Melayu) sebagaimana tercantum dalam Pasal 153 dalam Federal Konstitusi. Dalam hal kebijakan ekonomi itu menganjurkan menghapuskan sistem kuota didasarkan pada ras dan mengganti dengan alat-diuji geser skala; dan akhirnya adalah mendukung menghapus sistem kuota berbasis ras untuk masuk universitas (Lee, 2002). Namun, pada pidato hari nasional yang disampaikan pada tanggal 31 Agustus 2000, publik Mahathir bernama Suqiu sebagai salah satu dari ekstremis Cina kelompok dan mengklaim kelompok itu menggunakan taktik komunis.
      Setiap penghapusan hak-hak khusus, menurut Mahathir, akan menyebabkan kekacauan sosial dan ketidakstabilan politik dan akan dianggap sebagai langsung tantangan bagi supremasi politik Melayu (Chin, 2001). Dia
memperingatkan orang-orang, yang ia sebut ekstrimis, bukan untuk
mempolitisasi isu bahasa, pendidikan, dan kuota di pelayanan publik dengan meningkatkan isu-isu rasial.
      Selama periode Abdullah Ahmad Badawi sebagai perdana menteri, Malaysia Bar Council mengadakan nasional konferensi untuk membahas rancangan undang-undang yang mengusulkan pembentukan komisi antar-iman nasional pada Februari 2005. Fungsi utamanya yaitu akan membantu pemerintah membuat kebijakan yang jelas dan koheren untuk memungkinkan lebih besar antar hubungan serta menghindari konflik yang timbul dari kesalahpahaman (Yeoh, 2005). Selain itu, akan diberdayakan untuk menentukan apakah atau tidak ada setiap pelanggaran kebebasan beragama, hati nurani dan berpikir dalam konteks Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konstitusi Federal. Sebuah longgar koalisi LSM Muslim, yang disebut Koordinasi Sekutu Komite LSM Islam (ACCIN), memboikot konferensi, dengan alasan bahwa antar-iman komisi, jika didirikan, akan merebut fungsi keagamaan yang ada berwenang. Secara khusus, hal itu ditandai proposal dibawa oleh Dewan Konsultatif Malaysia dari Buddhisme, Kristen, Hindu dan Sikh (MCCBCHS) yang memungkinkan Muslim hak untuk meninggalkan Islam, untuk memfasilitasi murtad melalui pengadilan sipil dan ketentuan-ketentuan konstitusional, dan untuk meninjau agama, hanya sebagai melayani sendiri untuk non-Muslim dan anti-Islam.
      Setelah konferensi, Perdana Menteri Abdullah mengumumkan bahwa pembahasan mengenai usulan pembentukan komisi antar-iman akan disimpan
karena perdebatan sengit reportted di pers. Dia
berpendapat bahwa badan hukum, jika menghendaki menjadi ada, akan menjadi kemunduran bagi persatuan agama di negara ini. Sebaliknya, ia menyarankan bahwa peristiwa lebih mempromosikan antar-agama dialog diatur, dan didorong memperkuat ras keharmonisan melalui open house selama festival utama dirayakan oleh berbagai ras (Yeoh, 2005). Gatsiounis (2006) berpendapat bahwa jika masa lalu adalah indikasi, Abdullah akan mengklaim toleransi dan kesatuan sebagai abadi ciri-ciri dari orang-orang Malaysia. Ia akan bersumpah oleh Islam Hadhari, interpretasi politik dan ideologis dari iman yang menekankan moderasi dan teknologi dan saing ekonomi.
      Namun, ada yang sangat realitas yang berbeda berlangsung jaga Abdullah, salah satu yang menimbulkan pertanyaan tentang komitmen terhadap Islam Hadhari dan mungkin memiliki implikasi yang luas untuk model Islam demokrasi. Muslim garis keras telah tumbuh lebih vokal pada tahun 2006, menunjukkan di forum-forum yang diselenggarakan oleh koalisi LSM, yang dikenal sebagai Pasal 11; yang menginginkan pemerintah untuk meletakkan berat badan di belakang konstitusi Malaysia, yang menjamin kesetaraan dan kebebasan beribadah, sebagai tertinggi hukum tanah. Pasal 11 adalah yang bersangkutan bahwa syariah (hukum Islam) pengadilan baru-baru ini diambil keutamaan lebih dari pengadilan sipil di sejumlah kontroversial keputusan.
      Para garis keras juga menentang upaya untuk membentuk Komisi Antar-Iman untuk meningkatkan pemahaman antara berbagai agama Malaysia. Yang terbaru Protes datang pada tanggal 22 Juli 2006 di negara bagian Johor Bahru. Seperti Pasal 11 berkumpul di sebuah ballroom hotel lantai atas, sekitar 300 Muslim cemberut dari balik garis polisi di pintu masuk hotel, mengacungkan tanda-tanda bahwa membaca,Jangan menyentuh sensitivitas Muslim, Hancurkan anti-Muslim, dan Kami siap untuk mengorbankan diri sendiri untuk Islam. Dari pendekatan lunak mendorong dialog antara Azizuddin dengan pihak yang disengketakan, Abdullah telah melihat cukup dan telah mengambil pendekatan keras dengan mengatakan "Jangan memaksa pemerintah untuk mengambil tindakan ke Pasal 11 (Gatsiounis, 2006). Ia memperingatkan dan menuduh Pasal 11 dari bermain sampai isu-isu agama dan mengancam untuk menghancurkan itu Malaysia keseimbangan sosial yang rapuh dengan menyorot sensitif' isu-isu yang tidak harus dibicarakan secara terbuka.
      Abdullah telah mengeluarkan peringatan keras kepada media untuk  berhenti melaporkan isu yang terkait dengan masalah agama. Ia juga tidak mengesampingkan dengan menggunakan ISA, yang memungkinkan untuk penahanan tanpa batas waktu tanpa pengadilan, terhadap Pasal 11 anggota harus mereka melanjutkan kegiatan mereka. Abdullah sikap terhadap Pasal 11 dapat dibaca sebagai itu sesuai dengan keyakinan Mahathir bahwa kebebasan berekspresi yang lebih besar akan mencadangkan antar-etnis ketegangan. Namun, menurut Gatsiounis (2006), posisi Abdullah kurang meliputi dan dapat dilihat sebagai menerapkan aplikasi miring selektif: itu adalah untuk memungkinkan segmen bermusuhan komunitas Muslim untuk menggunakan kebebasan berbicara untuk menentukan batas-batas kebebasan berbicara. Saya melihat, kedua belah pihak, kelompok garis keras dan Pasal 11, harus duduk di dekat pintu forum untuk membahas dan menyelesaikan masalah ini.
      Pemerintah dapat menjadi agen netral dalam membimbing forum karena jika semua masing-masing pihak tidak menyelesaikan hal ini isu sensitif, itu akan memberikan implikasi negatif bagi masa depan hubungan ras di Malaysia.

D.    Arah dan Prospek Civil Society dalam Wacana Etnisitas
      Civil society merupakan sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang demokratis, pluralistis, transparan, dan partisipatif dimana peran infra dan supra struktur berada dalam keseimbangan yang dinamis. Berbagai perubahan–perubahan sosial politik yang cukup signifikan terjadi oleh sementara orang dipandang sebagai pendorong proses demokratisasi dan perkembangan civil society. Namun, sebagian pendapat mengatakan prospek masyarakat ini dalam tahun-tahun mendatang kelihatannya belum serba pasti. Ada perkembangan tertentu yang menggembirakan, kondusif, dan mendukung bagi pencipta civil society, tetapi pada saat yang sama ada juga perkembangan dan indikasi tertentu yang kurang menggembirakan yang pada gilirannya dapat menjadi tantangan bagi perkembangan peradaban masyarakat itu sendiri.
      Disini kita dapat melihat banyak terjadi pergeseran nilai sosial dan politik dalam tatanan masyarakat sebagai siklus perubahan dimana kita tengah berada pada titik memulai kembali pembentukan civil society dengan menyatukan kembali perbedaan-perbedaan menjadi sebuah pengakuan atas pluralitas yang stabil dan dinamis, yang di dalamnya masyarakat memiliki ruang untuk bernapas dengan komitmen kemanusiaan dan keadilan.
      Akan tetapi harus diakui, membangun sebuah masyarakat yang berperadaban, maju dan bermartabat dalam ikatan persamaan dan persaudaraan sejati memerlukan kerangka dan pendekatan yang lebih bersifat evolusioner dari pada revolusioner. Dalam wacana pendekatan terhadap budaya memberikan arah yang frontal dan signifikan untuk membentuk sebuah pembaruan dalam pemberdayaan civil society. Adalah mustahil untuk menegakkan sebuah pluralitas yang berakar dari kesamaan dan persaudaraan sejati jika penghormatan pada martabat dan nilai kemanusiaan jika pendekatan sosio-kultur tidak pernah digalakkan.
      Arah civil society yang dibangun dalam wacana etnisitas ini memberikan sebuah prospek tendesial dan fungsional dalam membentuk horisontalitas yang dinamis dan mengukuhkan sebuah masyarakat yang lebih berbudaya. Namun arah ini bukan memisahkan suku dan bangsa dalam sebuah dikotomi tetapi dijabarkan dalam sebuah kesatuan pandangan sebagai bangsa Indonesia.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Etnisitas merupakan sebuah perangkat yang membentuk adanya kesatuan identitas sebagai individu berkelompok. Sejarah telah membuktikan bahwa peran perbedaan dalam budaya bukan menjadi halangan dalam menciptakan masyarakat peradaban. Civil society mengandaikan adanya satu kesepakatan nasional untuk menjamin demokratisasi rakyat yang lebih bertanggung jawab. Peradaban bangsa memang pantas dipertanyakan ketika kekuatan yang tercermin menggadaikan peradaban itu sendiri.
            Keadaan Indonesia yang plural bukan mustahil akan menghalangi pemberdayaan civil society. Namun perlu diingat perbedaan ini akan menguatkan bangsa itu sendiri ketika masing-masing rakyat Indonesia memiliki satu paham dalam konteks etnisitas yang universal sebagai etnik Indonesia. Keberadaan sebagai etnis Indonesia ini sudah tentu akan menjamin sebuah kekuatan mental yang membantu peningkatan daya saing bangsa dalam menyikapi perkembangan global dewasa ini. Jika segenap komponen bangsa Indonesia berada dalam konteks sebagai sebuah kesatuan yang berbudaya yang sama, berbahasa yang sama, bertanah air yang sama maka pantas dikatakan bahwa civil society versus etnisitas bukanlah konsep utopia.
            Dengan adanya politik asimilasi dan diskriminasi etnik di era Orde Baru dan pemerintah sebelumnya, ternyata hanya menghasilkan konflik-konflik sosial yang berkepanjangan dan cukup memilukan, yang tentu dapat mengancam proses integrasi nasional.
            Pendekatan multikulturalism kiranya merupakan sebuah tawaran strategis untuk mengubah model pendekatan lain yang pernah ada. Karena pendekatan ini merupakan model baru yang cukup baik tetapi belum banyak teruji, maka pemerintah seyogyanya merapkan politik kubudayaan yang arif dengan menyedia-kan sarana prasarana dapat berupa himbauan moral, dorongan atau dalam bentuk peraturan perundangan yang kondusif. Kalaupun nantinya akan terjadi proses akulturasi atau asimilasi biar terjadi dengan sendirinya dan tidak dapat dipaksakan.
            Eksistensi etnis ini sepenuhnya juga harus dihargai dan kita hormati, termasuk kehadirannya sebagai warga negara. Harapannya mereka tentu juga akan sepenuhnya menghargai etnik-etnik lain di sekitarnya, dan mau turut serta dalam mendorong terciptanya proses integrasi nasional yang permanen dan mau mendorong terwujudnya masyarakat madani di negara Republik ini.

B.     Saran
            Mungkin mudah bila kita menempatkan wacana civil society dalam setiap kampanye-kampanye tentang demokrasi. Konsep etnisitas yang dipaparkan oleh penulis bukanlah konsep baru. Ini sudah ada sejak perjuangan pra kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hal yang dapat penulis paparkan sebagai saran:
1.      Pembentukan kesadaran sebagai bangsa yang beragam dari segi budaya yang pada akhirnya bisa menimbang satu kesatuan yang memberikan kekuatan mental untuk tetap bersatu.
2.      Menciptakan satu keadaan yang tidak memutlakkan primordialisme dan etnosentrisme yang sempita sehingga pertentangan antar etnik ataupun antar kelompok massa dapat dengan mudah dihindarkan.
       Beberapa catatan praktis yang bisa dipaparkan disini:
1.      Dialog berkesimbungan antara pemerintah dan elemen budaya seperti tetua adat dari suku terkecil sampai kelompok etnik modern.
2.      Pemerintah memberikan awasan kepada radikalisme kelompok yang sudah mengancam integritas bangsa.
3.      Tindakan keras kepada kelompok yang mengatasnamakan rakyat tetapi terlihat jelas hanya mementingkan kelompok dan idelisme kelompoknya sendiri.
4.      Menjadikan wacana ini sebagai sebuah konsep yang bisa diajarkan disekolah-sekolah sebagai bagian dari pendidikan demokrasi yang berkesinambungan. Hal ini membentuk akar yang kuat dalam sebuah perumusan civil society yang utuh. Namun wacana yang diajarkan hendaknya berdasarkan sebuah perumusan yang tepat sasar bukan adopsi dari pendidikan barat.
5.      Amandemen konstitusi. Ini adalah sesuatu yang urgen dalam pembentukan sebuah keteraturan budaya, tradisi, yang akhirnya bisa membentuk konsep etnisitas bukan hanya sekadar padangan kesatuan suku tertentu tetapi lebih kepada kesatuan sebagai bangsa Indonesia (etnik Indonesia).
            Hal-hal di atas memang bukan sesuatu yang aktual namun bila kita melihat secara lebih nyata lagi perbedaan budaya masih saja menjadi sumber konflik yang bisa saja terjadi. Karena itu bila kesadaran sebagai ‘satu’ dalam budaya yang sama ditanamkan secara dini, maka hal itu akan dengan mutlak menjadikan bangsa ini sebagai sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang bisa berkompetisi secara sehat dan positif dengan bangsa lain. Akhirnya penulis hanya bisa menulis dan sebagai implementasinya semuanya hanya terserah dari seluruh komponen bangsa yang memiliki loyalitas dan dedikasi penuh terhadap jati dirinya sendiri sebagai bangsa yang merdeka.